Aku berlarian kecil untuk mencapai ruangan kelasku yang ada di ujung lorong ini. Tertulis di papan pada bagian atas pintunya adalah Kelas Rat.
Di akademi terdapat delapan tingkatan kelas. Diurutkan dari yang terbaik: Lion, Wolf, Eagle, Snake, Raven, Dog, Cat, Rat.
Kelas ditentukan dari pencapaian—reputasi, kepandaian, kekuatan, dan kepribadian murid. Setiap kelas dapat diisi 32 murid.
Setiap kelas terakhir seseorang di akademi, akan menentukan posisinya saat di organisasi nanti. Ada berbagai pekerjaan yang dibatasi padanya dengan pangkat.
Jadi, lulusan Kelas Rat akan sedikit kesusahan mencari pekerjaan di organisasi. Jika tidak ada bantuan dari kelas lain yang memberikan mereka rekomendasi kepada atasan, mereka hanya akan melakukan pekerjaan publik.
Oh, ya. Meski aku berada di kelas itu, aku diberikan sebuah keistimewaan. Di mana, jika aku memiliki hasil—pencapain dan yang lainnya—yang sama derajatnya dengan kelas lain, maka aku akan dianggap seperti berada di kelas itu.
Bisa dibilang, seharusnya aku berada di Kelas Lion, tetapi karena dianggap akan meresahkan kelas tersebut jika aku ada, aku dipaksa duduk di bangku Kelas Rat. Nasib menjadi Laki-laki Di Akademi Roh Perempuan.
Ah, ini ia pintunya. Sebelum memasukinya, aku akan mengatur nafas terlebih dahulu. Seharusnya, Guru Grace masih belum tiba.
"Untung sempat …."
"Sempat apa?"
Tunggu, biarkan aku mengatur nafas lagi terlebih dahulu. Tunggu sebentar, bukankah Guru Grace seharusnya belum pernah berpapasan denganku di lorong?
"Roh Kontrak-ku memiliki kemampuan untuk melakukan Teleport. Cukup sedetik bagiku dari sana sampai ke sini."
Ia seakan-akan membaca pikiranku saja saat menaikkan kacamata birunya …. Namun yah, aku tidak menyangka ia bisa melakukan itu.
"Lagian, seharusnya dalam waktu kurang dari sepuluh menit kaubisa sampai ke kelas ini meski berada di lantai delapan. Jadi, apa yang membuatmu terlambat?"
"Membantu gadis manis yang kebetulan berpapasan denganku di lorong."
Entah karena jawabanku yang disambili mengacungkan jempol kanan atau hal lainnya, Guru Grace membuang nafasnya.
"… Berdiri di luar kelas hingga pelajaran berakhir. Jangan coba-coba untuk bolos! Kalau ketahuan, hukumanmu kutambah!"
Tidak usah berteriak seperti itu, aku masih belum terlalu jauh darimu. Pelajaran saja bisa terdengar dari luar sini.
"Yah, selama tidak ketahuan aman, 'kan?"
"Aku dengar itu! Jadi jangan mencoba untuk macam-macam!"
***
Lambat sekali rasanya waktu berjalan. Satu jam pelajaran tadi terasa seperti 60 menit telah berlalu.
"… Yah, untung saja tidak ke ruangannya lagi. Karena ini sudah tengah hari, rasa lapar menyerangku kembali, seperti pagi hari tadi."
Sambil sesekali membuang nafas, aku berjalan di lorong akademi setelah lonceng istirahat berbunyi.
Ratusan bisikan bisa terdengar di sekitarku. Sebuah hal yang pasti akan dilakukan oleh orang-orang ketika dirimu menyalahi kebiasaan. Yah, aku satu-satunya laki-laki di sini soalnya.
Setiap kali melihatku hendak berpapasan dengan mereka, siswi-siswi di sini menjauh. Seakan-akan aku ini seorang berandalan saja ….
"Elkanah …!"
Jauh di belakang, aku mendapati suara seseorang memanggil namaku. Saat berbalik, aku menemukan pemilik suara itu mengejarku dengan berlarian kecil.
"Mau … ke kantin … bersama …?"
Kedua tangannya meremas lutut. Tatapan matanya tertuju ke lantai. Perkataannya terpotong-potong oleh nafasnya yang tidak beraturan.
Ia adalah seorang gadis 16 tahun. Rambutnya yang memiliki warna hitam dikepang ke sebelah kanan. Untuk yang lainnya … kupikir dia tidak memiliki banyak kelebihan dalam hal penampilan.
Kali ini, aku tidak akan menyinggung soal besar kecilnya punya seseorang, oke?
"Aku tidak keberatan."
"Kalau begitu …, ayo!"
Gadis itu kemudian mengangkat wajahnya dan tersenyum. Tanpa pikir panjang ia menarik tanganku untuk bergegas, mengabaikan berbagai tatapan tajam dan bisikan menusuk yang diarahkan kepadaku.
Kantin akademi ini cukup besar. Meski ada seribu orang yang mengungsi di sini, harga makanannya tetaplah selangit. Yah, kalimat pertamaku dengan yang selanjutnya tidak ada hubungannya.
"… Makanannya boleh ditawar, 'kan?"
"Tidak."
Ibu kantin menjawab pertanyaanku tanpa ragu-ragu. Senyum masam di wajahnya melambangkan rasa bermasalahnya pada pertanyaanku tadi.
Aku membuang nafas. Yah, mau bagaimana lagi? Kurasa, aku harus pergi makan di luar.
"Tunggu!"
Saat hendak beranjak pergi, tanganku diraih oleh seseorang. Ia tidak lain adalah gadis yang mengajakku untuk pergi ke sini tadi.
"Untuk hari pertamamu di akademi ini, biarkan aku mentraktirmu."
"Apa tidak masalah? Emm …."
Siapa … gadis ini? Selain Guru Grace dan si Cebol, aku tidak kenal siapa pun di akademi. Berbicara saja aku hanya pernah dengan Guru Grace dan gadis yang kebetulan berpapasan denganku tadi saja.
"Ichijou Hana. Aku belum sempat memperkenalkan diri tadi, ya? Aku duduk di bangku sebelahmu."
"Ah, aku ingat. Namaku Elkanah."
Aku meraih tangan yang diulurkannya. Tangannya itu terasa … cukup dingin. Manusia …? Sepertinya bukan. Sesuatu yang sama tetapi berbeda.
Entah bagaimana, aku mengingat beberapa jan sebelumnya. Tepatnya, saat pertama kali aku masuk ke akademi ini tadi.
****
"Jadi, kamu siswa yang baru itu?"
Sebagai tanggapan untuk pertanyaan yang diberikan oleh gadis berkacamata biru, aku mengangguk pelan.
"Elkanah …. Kamu tidak ada marga, ya? Apa kamu warga biasa yang berasal dari Kekaisaran Novesia—salah satu dari empat negara di Benua Drera?"
"Begitulah."
Di Kekaisaran Novesia, tempat aku berasal, orang-orang yang memiliki marga biasanya hanyalah warga biasa tanpa pangkat apa-apa.
"Kalau begitu …."
Kata-kata gadis itu terpotong oleh suara lonceng pertanda pelajaran pertama sudah dapat dimulai.
"… Ikuti aku."
Kami berdua keluar dari ruangan para guru dan mulai berjalan di lorong. Selagi berjalan bersamaku, ia menjelaskan tempat-tempat yang ada di gedung akademi ini.
Ia menjelaskan kalau tidak ada fasilitas khusus untukku. Jadi akan sangat melelahkan kalau aku harus keluar masuk gedung akademi jika ingin pergi ke kamar mandi.
"Omong-omong, aku adalah wali kelasmu—kelas untuk mereka yang bermasalah, Kelas Rat. Namaku Grace Fabre."
Yah, aku sudah menebak itu—Ia adalah wali kelasku.
"Jadi, ini kelas kita?"
"Ya. Tunggu di sini sebentar."
Guru Grace kemudian masuk ke kelas dan mengatakan beberapa hal yang berhubungan denganku. Aku hanya menatapnya di depan pintu kelas hingga diminta masuk.
"… Perkenalkan dirimu."
Ini ia …. Saat-saat penting yang akan menentukan bagaimana pandangan teman-teman sekelas kepadaku. Kesan pertama.
Semoga tidak ada yang memperebutkanku untuk duduk di sebelahnya atau pelayan nyasar yang tiba-tiba datang dan menindih tubuhku.
"Emm, salam kenal, semuanya. Namaku Elkanah. Aku salah satu dari beberapa laki-laki yang telah melakukan kontrak dengan Roh. Mulai sekarang, mohon bantuannya."
Senyuman memang ekspresi terbaik untuk ditunjukkan pada kondisi seperti ini. Lihat, wajah mereka semua memerah, tanda bahwa pandangan mereka terhadapku itu berupa hal yang baik.
Di antara semua, seseorang mengangkat tangan.
"… Apa kau pernah memakan mobil yang berkarat sebelumnya?"
"Ya enggaklah!"
Astaga, aku refleks mengeluarkan suara keras. Pandangan mereka padaku tadi pasti menurun sedikit karena tadi.
Tetapi … pertanyaan konyol macam apa itu? Mengangkat tangan hanya untuk hal tidak berarti seperti tadi. Kelas ini memang pantas disebut kelas bermasalah. Baru hari pertama saja mereka sudah menunjukkan kebodohan mereka.
Lihat, Guru Grace yang ada di sebelahku saja sampai mendesah panjang sambil menekan pelipisnya.
"… Duduklah di mana pun kamu mau."
Setelah mengangguk, aku berjalan menuju kursi yang kosong. Ada delapan kursi yang kosong di sini. Setiap kursi ada satu meja. Semuanya mengadap papan tulis.
Ada empat baris kursi yang setiap barisnya ada delapan kursi. Kursi yang kuambil adalah kursi baris ketiga dan yang kedua dari sebelah kanan.
"Salam kenal, Elkanah."
"Ya, mohon bantuannya."
***
Ah, benar juga. Aku baru ingat kalau Ichijou tadi sempat mengajakku untuk berbicara. Yah, mungkin karena tadi itu terlalu singkat aku jadi melupakannya.
"Kamu … Kontraktor Roh Laki-laki, 'kan?"
"Eh? Ah, iya."
Tiba-tiba saja pundakku ditepuk pelan oleh seseorang. Entah kenapa aku merasa … jadi orang terkenal di sini.
Orang yang menepuk pundakku adalah seorang gadis … tinggi sekali ia. Aku yang setinggi 180 senti sampai berdongak untuk melihat wajahnya.
Ia memiliki rambut perak pendek yang agak acak-acakan. Kulit putih pucat, mata merah darah, dan telinga yang lancip … sepertinya ia adalah Vampire.
"Baiklah, aku meminta izin untuk menculik dirimu karena perintah dari seseorang. Apa tidak masalah?"
"Iya, tidak apa-apa …. Eh?"
Apa yang dikatakan ….
Ah, kesadaranku …. Sepertinya ia baru saja memukul pundakku. Yah, ini masih untung daripada dipukul di perut. Aku tidak mau makanan yang baru kumakan berhamburan di udara.
Astaga, sempat-sempatnya aku memikirkan hal itu di akhir-akhir kesadaran. Yah, kalau masih sempat … biar kukatakan satu hal ….
Jangan pernah makan bubur dengan kedua tangan ….