Hari kedua akademi ….
"Huh, kuharap tidak terjadi sesuatu seperti meteor jatuh atau sebagainya ke tempat ini. Jika mau membuat masalah, buatlah kantin memiliki masalah hingga terpaksa menurunkan harga makanan yang ada."
Berjalan di lorong sebelum pelajaran pertama dimulai, aku berceloteh sambil mengabaikan bisikan di sekitar.
Sedikit tidak disangka, kabar tentang aku dan Revalia sekamar sudah tersebar di antara mereka. Kupikir, pelaku penyebaran itu adalah si Cebol.
"Uh!"
"… Huh, pagi-pagi begini kau menuduhku."
Kakiku tiba-tiba ditendang dari belakang. Ketika berbalik, aku menemukan si Ceb– GB di sana.
Seperti biasa, ia menyilangkan kedua tangannya ketika berbicara padaku. Oh, ya. Mengapa ia ada di sini?
"Mau ke ruanganku, lah. Mau ke mana lagi memangnya?"
"Kembali ke penitipan anak. Bersumpah bahwa kamu tidak akan pernah jalan-jalan di lorong akademi lagi sendirian."
Setelahnya, aku menerima tendangan yang sangat kuat darinya hingga menabrak jendela yang ada di persimpangan lorong dan keluar dari gedung akademi.
***
"Adu–du–du–duh …. Sakitnya~ Kuharap aku tidak akan menjadi masokis gara-gara mendapat perlakuan seperti ini setiap hari."
Tanganku memegang kepala, berharap dapat mengurangi sedikit rasa sakitnya. Aku kembali berjalan di lorong akademi, tetapi kali ini adalah lantai satu.
Untung saja, tadi adalah lantai tiga. Tidak sesakit yang kemarin di mana aku dilempar dari lantai tujuh. Oh, ya. Jatuh dari lantai tiga tetaplah sakit.
"Hmm, kalau diingat-ingat …."
Aku merogoh saku dan menemukan ….
"… Ternyata benar."
Di sana, aku menemukan dompet yang pernah dijatuhkan oleh gadis yang tanpa sengaja menabrakku kemarin.
Yah, ini harus dikembalikan. Tidak nyaman rasanya membawa-bawa benda milik orang lain ke sana kemari.
Tempat penitipan barang kalau tidak salah ada di …. Ah, aku melewatkannya. Tenang, tempatnya tidak terlalu jauh dari sini.
Ketika aku berjalan ke sana, mataku menemukan gadis berambut merah kemarin di tempat penitipan barang. Ia nampak cemas untuk beberapa hal.
"Hei~! Mencari ini?"
Setelah menyapanya dari jauh, aku mengeluarkan dompet yang dicari gadis itu dan melemparnya ketika berada dalam wilayah lingkup penangkapannya.
Gadis itu sedikit melewatkan lemparanku karena telalu tinggi. Dompetnya pun melayang sedikit lebih jauh ke belakang.
"Dapat!"
Namun tiba-tiba, gadis lain datang dan menangkap benda tersebut. Ia tersenyum pada kami berdua sambil melambai-lambaikan benda itu.
Rasanya aku ken …. Ah, aku ingat. Ia adalah gadis Vampire kemarin. Ia yang berkata akan menculikku kemarin kemudian berakhir dengan lancar. Tidak sepertiku yang berakhir jadi tukang pel lantai.
"Te-Terima kasih, Selestina …."
"Tidak masalah, umm … Clara Gill, 'kan?"
"I-Iya …."
Apa ini? Apa ini? Rasanya aku dilupakan karena terdapatnya sebuah getaran di hati antara mereka berdua.
Haruskah aku pergi? Yah, tidak ada gunanya aku di sini. Mereka berdua memiliki pembicaraan tersendiri.
Oh, ya. Mengapa gadis berambut merah itu menyebut gadis Vampire yang seharusnya bernama Valeria itu dengan Selestina? Nama depannya kah?
Baiklah, mari tanyakan. Yah, daripada aku nanti tidak bisa tidur karena memikirkan itu, lebih baik aku menanyakannya langsung.
"Hei, kamu … Valeria, 'kan?"
Mereka berdua menoleh kemudian memalingkan wajah ke kiri kanan, seperti mencari orang lain. Jangan bilang kalau aku tidak bisa dilihat.
"Kamu berbicara pada siapa? Padaku? Atau, gadis ini? Atau ada suatu keberadaan yang tidak bisa dilihat oleh kami tapi kamu dapat melihatnya?"
"Padamu. Namamu Valeria, 'kan?"
"Valeria? Siapa yang memiliki nama itu? Rasanya, dari dulu semua orang memanggilku dengan Selestina. Tidak ada yang memanggilku dengan nama yang kamu sebutkan tadi."
Eh? Aku salah, ya? Rasanya ….
—Entah kenapa, aku tiba-tiba teringat salah satu kekuatan Roh Kontrak si Cebol itu. Ia bisa membuat kata-kata yang didengar seseorang berbeda dengan kenyataan. Mungkin inilah yang ia maksud.
"Tunggu pembalasanku nanti, Cebol."
Perasaan malu ketika menanyakan nama perempuan ini tidak akan pernah kulupakan. Eh? Jika aku melupakannya? Hmm, ya sudah.
Eh? Kenapa mendadak aku melayang di udara. Ah, bukan. Mungkin lebih tepat dengan terlempar karena sesuatu yang cepat menabrakku.
Sepertinya … ada kepala seseorang yang menyundul perutku seperti banteng hingga jadi begitu.
"Menunggu sampai 10.000 tahun pun kau tidak akan bisa membalaskan dendammu, Bocah! Dan juga, jika kau berani mengatakan kata-kata saklar di wilayahku, maka bersiaplah untuk sesuatu seperti ini!"
***
Sama seperti sebelumnya, aku berjalan di lorong sambil memusuti kepala yang tadi sempat menabrak dinding.
Kali ini, aku berada di dalam kondisi fokus melampaui batas. Jika tidak begini, maka aku tidak akan sampai ke kelasku karena masalah yang selalu tiba-tiba muncul.
Sekarang, aku baru saja melewati tangga menuju ke lantai dua. Lorong sangat sepi, karena sekarang sudah memasuki jam pelajaran.
Yah, aku sempat tidak sadarkan diri tadi karena kehabisan tenaga. Jika bukan karena kekuatan Roh Kontrak-ku, tulang-tulangku ini sudah patah setelah si Ceb– GB menyudulku tadi. Meski itu kemampuan pasif, manaku disedot setiap kali menerima luka.
Soal seragam … aku tidak tahu pasti. Seharusnya, sekarang seragamku ini sudah tidak bisa dikenali karena kotor. Namun, itu tetap terlihat biasa saja. Yah, meski ada beberapa serpihan kaca yang menempel di sana.
Tiba-tiba, ponselku yang ada di kantong berdering. Ketika kulihat layarnya, terdapat sebuah nomor tidak dikenal menghubungi nomorku ini.
"Halo? Siapa ini?"
"Oh, ini aku."
… Siapa? Cuma mengatakan kata 'aku' tidak akan membuatku langsung tahu siapa yang menghubungiku.
"Thrarfatalin Goldblade, Direktur dari Akademi Roh Emerald. Beberapa orang memanggilku dengan si Ceb– Ehem, GB."
Hmm? Ia menyindirku atau tanpa sengaja mengatai diri sendiri? Mendengar dari suaranya, ia sepertinya tidak sengaja mengatai dirinya sendiri.
"Apa ada sesuatu?"
"Yah, aku mau bilang kalau seragammu yang kemarin sudah usang. Jadi, sekarang diganti dengan yang lebih kuat."
Baik sekali, akademi ini memberikanku seragam baru secara cuma-cuma. Kupikir, mereka akan memarahiku karena merusak itu.
"Ah, jangan berbaik sangka dulu. Pihak akademi tidak akan memberikan seragam secara cuma-cuma padamu. Mereka menggantinya karena dimintai oleh seseorang."
"Seseorang? Siapa?"
Tidak ada jawaban dari GB. Ia cuma diam untuk waktu yang lama. Sudah sembilan menit berlalu sejak ia meneleponku tadi.
Kulihat, panggilan masih berjalan. Suara nafasnya juga masih terdengar di sebelah sana. Hmm, apa yang terjadi, ya?
"Dia—Gadis yang kaucari."
Aku terpaku sebentar. Ketika sadar, aku langsung menanyai GB secara beruntun tetapi ia sudah mematikan teleponnya lebih dahulu.
"… Jadi dia benar-benar ada di sini."
***
"Oh, sial. Mengapa aku dipaksa untuk melakukan ini?"
"Itu karena kau terlambat."
Guru Grace mendorong kacamatanya ke belakang ketika menjawab gerutuanku yang sedang berdiri di depan pintu kelas sambil mengangkat satu kaki serta membawa dua ember yang dipenuhi air.
"Sekali saja kau berani menurunkan kakimu, maka hukumanmu akan kubuat menjadi lebih buruk dari ini dan berlangsung selama sebulan."
"Hei, hei! Bukankah itu terlalu kejam!?"
Yah, mau bagaimana lagi? Sepertinya aku memang layak mendapat hukuman ini. Dari awal, menjadi satu-satunya laki-laki di akademi ini merupakan kesalahan yang tak termaafkan.
*****
Seperti biasa, Thrarfatalin—Direktur Akademi—duduk di mejanya, membolik-balik halaman komik shoujo setelah menyelesaikan pekerjaannya pada hari ini.
Sekali-kali, ia menguap, merasa bosan karena tokoh utamanya sedikit-sedikit saja langsung menangis karena tidak sanggup mendapat cobaan.
"Ah~ Komik-komik seperti ini bagusnya mendapat ending tertabrak truk dan memulai kehidupan baru sebagai mahluk yang berbeda di labirin kuno …."
Matanya mulai menutup, tetapi ia segera bangun dan menepuk kedua pipi, guna tetap terjaga dan bisa bersiap kapan saja pada kondisi darurat yang tiba-tiba terjadi.
Ia ingat, masa-masa keemasannya dulu, di mana ia tidak pernah menutup mata untuk pergi ke dunia mimpi. Sebesar apa pun rasa kantuknya, ia bersumpah tidak akan menghilangkan kesadaran.
Karena, di awal-awal saat ia diutus oleh negara asal untuk mengabdi ke organisasi, ia kehilangan banyak rekannya di perang melawan Shadow di masa lalu, di waktu ketika tidurnya.
Ponselnya yang ada di atas meja berdering. Tanpa pikir panjang ia mengangkatnya dan mendengarkan itu dengan serius.
"Ini saya, Direktur. Terima kasih karena sudah mengatakan itu padanya. Dengan itu, ia akan yakin saya berada di sini."
Thrarfatalin buru-buru membuang nafas lega. Ia pikir, itu datang dari tim pengantau yang ada di laut, mengatakan kalau Shadow lepas dari pengawasan mereka dan meminta untuk bersiaga.
"… Tidak perlu berterima kasih. Jika itu permintaan yang berasal darimu, aku akan melakukannya sebisa mungkin."
Sebuah senyum tersungging secara alami di wajahnya. Bagi Thrarfatalin, gadis yang meneleponnya adalah satu dari banyaknya siswi akademi yang disayanginya. Meski hal tersebut tidak diketahui oleh publik.
"Jadi, apa kau puas dengan itu, Sayang?"
"Ya, saya sangat puas dengan itu. Maaf karena merepotkan Anda setiap saat. Karena sudah tidak ada apa-apa lagi yang perlu saya katakan, sampai jumpa …."
Panggilan pun berakhir. Thrarfatalin meletakkan ponselnya ke tempat semula lalu merebahkan dirinya ke sandaran kursi.
"… Huh, aku cukup tidak paham dengan cara pikir anak itu. Bagaimana ia bisa puas hanya dengan mengatakan itu?"
Kemudian, Thrarfatalin pun melanjutkan bacaannya.