Karena masih terlalu pagi, dan aku tidak merasakan kantuk lagi, aku pun memutuskan untuk berjalan-jalan keluar.
Mengambil jaket kulit yang bergelantung di samping lemari dan memakainya, aku pun pergi keluar kamar. Jika tidak memakainya, dingin malam jelas akan menusuk kulitku.
Oh, bodohnya aku. Bukankah ini terlalu pagi? Ya– maksudku adalah terlalu pagi sekarang dan pintu depan asrama sudah pasti masih terkunci rapat.
Jadi, aku memutuskan untuk kembali ke kamar. Namun, saat sampai ke lantai empat yang mana tempat seharusnya kamarku berada, aku mendongak ke tangga di atas.
"Atap terkunci tidak, ya? Aku belum pernah melihat tempat itu, sih …."
Salah satu dari banyak tempat yang sering dijadikan sebagai tempat penembakan. Entah itu penembakan dari seorang pembunuh bayaran, atau penembakan agar bisa menjadikan seseorang pasangannya.
Karena rasa penasaran, aku pun terus melangkahi anak tangga. Hingga pada akhirnya, aku tiba di atap.
Yang menanti di ujung tangga melingkar ini adalah tempat kecil seperti toilet umum—anggap saja begitu—dengan kaca transparan. Saat membuka pintunya, maka pemandangan khas ataplah yang bisa ditemukan.
Seharusnya sekarang dingin, tetapi karena aku memakai jaket, itu tidak terlalu berasa. Langit malam di atas nampak kosong, tidak ada bulan maupun bintang di sana.
Mengalihkan tatapan dari langit ke depan, aku menemukan … seseorang yang sudah mempersiapkan dirinya untuk bertemu dengan sang Pencipta. Ia sudah berada di luar pembatas. Hanya tangannya saja yang masih ada di dalam.
"He-Hei! Apa yang mau kaulakukan di sana!?"
Mendengar panggilanku, ia memalingkan wajah kemari. Wajahnya memang tidak terlihat jelas … tetapi aku tahu bahwa ia tidaklah sedang di dalam masa terpuruk.
Eh? Kalau dilihat-lihat bukankah ia ….
"Ichijou?"
"Hmm? Ah, kupikir siapa, ternyata cuma kamu, Elkanah."
Benar, orang itu adalah Ichijou Hana. Seseorang yang pernah mentraktirku makanan di kantin akademi pada hari pertamaku mengikuti pelajaran.
—'Cuma' Uh, entah kenapa rasanya itu menusuk hatiku. Jadi keberadaanku ini bukanlah apa-apa begitu? Lupakan itu.
Perlahan, aku menghampirinya. Ia juga kembali memasukan tubuhnya ke dalam pembatas atap.
"Apa yang kamu lakukan di sini?"
"Ini sudah jadi kebiasaanku untuk kemari saat teman sekamarku terus-terusan mengigaukan hal yang tidak jelas. Aku merasa merinding saat mendengar kata-kata yang dia igaukan."
Ichijou tersenyum mengatakannya—Ah, salah. Ia memang selalu tersenyum dan hampir tidak pernah merubah ekspresinya itu. Kalau berubah, itu hanya di saat terkejut atau kelelahan saja.
Ia lalu memiringkan kepalanya dan memberikanku tatapan seolah-olah menanyakan hal yang sama.
"Yah, aku hanya tanpa sengaja bangun terlalu pagi. Karena diam di kamar tanpa melakukan apa-apa membuatku bosan yang tidak disertai dengan rasa kantuk, aku mencoba mencari udara segar."
Balasan darinya hanyalah senyuman disertai dengan mata yang tertutup. Itu adalah ekspresi yang sering ditunjukkan olehnya di kelas.
"Pakaianmu cukup tipis. Apa kamu tidak merasa dingin?"
Bagaimanapun, yang dipakainya itu adalah piama berwarna ungu. Cukup tipis, juga cukup pendek, tetapi itu tidak sampai untuk menunjukkan kulitnya yang tidak boleh ditunjukkan secara sembarangan.
"… Kamu memperhatikan pakaianku, ya? Hmm, bagaimana menjawabnya, ya~? Bisa dibilang, aku ini tidak bisa merasakan sakit, nyaman, dingin, panas, dan perasaan lainnya."
Setelah tertawa kecil, ia memberikan penjelasan yang membuatku bertanya-tanya. Dan belum sempat aku menanyakan itu lebih lanjut, ia berbicara :
"Meski terlihat seperti Manusia pada umumnya, aku ini sebenarnya bukanlah Manusia. Aku termasuk Undead, bisa dibilang."
Undead? Seingatku ras tersebut berasal dari Taonher dan memiliki penampilan layaknya tubuh mayat yang busuk. Dan ia, terlihat sangat mulus.
Entah kenapa Ichijou tertawa kecil. Kelihatannya, ia membaca pikiranku karena melihat reaksi yang kutunjukkan.
"… Aku sedang memakai riasan hingga terlihat seperti manusia pada umumnya. Jika aku melepasnya, mungkin kamu akan ketakutan."
"Kalau begitu jangan lakukan. Aku tidak ingin tiba-tiba jadi merasa risih saat berada di dekatmu. Kamu juga tidak mau itu, 'kan?"
Lagi-lagi, senyum ditunjukkannya padaku sebagai balasan. Kali ini, senyum itu terlihat sedikit dipaksakan. Mungkin karena ia teringat masa lalu, pengalaman tentang hal tersebut.
"Benar juga, ya. Aku tidak ingin tiba-tiba temanku melarikan diri dan tidak bisa tidur lagi."
Separah itukah efeknya? Jika hasilnya seperti itu, aku semakin merasa penasaran. Yah, dari awal aku memang penasaran akan hal itu. Tetapi, aku tidak akan memaksakan diri jika pada akhirnya adalah penyesalan.
Meski aku mengatakan itu, nyatanya aku masuk akademi ini untuk mencari tunanganku. Jika akhirnya penyesalan … apakah aku siap untuk menerima akhir itu?
***
Berjalan menuruni tangga, aku sekali-kali menguap. Sepertinya aku jadi agak mengantuk karena terkena udara segar.
Ichijou mengatakan kalau ia akan tetap berada di atap sana, menikmati pemandangan yang ada di bawah. Jadi aku kembali sendirian.
"Seharusnya mereka sudah bangun …."
Menggumamkan itu, aku mengetuk pintu. Terdengar balasan 'Tunggu sebentar …' dari dalam. Yup, mereka memang sudah bangun.
Tanpa menunggu lama, aku membuka pintu. Setelah beberapa saat, aku menutup itu kembali sambil berharap orang yang tanpa sengaja kulihat sedang berganti baju tidak melubangi kamar lagi.
Segera, aku berlari meninggalkan belakang pintu dan kembali ke atap. Kuharap, Revalia melupakan segalanya ketika aku kembali nanti.
Kalau diingat-ingat, warnanya tadi adalah merah mu– Ah, jangan dipikirkan, jangan dipikirkan.
"Ternyata, ia feminim juga …."
Usai menggumamkan itu ketika duduk-duduk di tangga, aku menampar-nampar kedua pipiku. Sudah dikatakan jangan dipikirkan ….
"Sepertinya, aku harus menetap di sini. Setidaknya hingga setengah jam kemudian. Akan berbahaya jika aku kembali."
***
Untunglah, ketika aku kembali Revalia terlihat biasa-biasa saja. Apa mungkin ia tidak sadar tentang hal tadi?
Yah, apa pun itu, aku harus segera mencuci wajah dan tangan karena Freya baru saja menyiapkan sarapan. Kali ini, ia bangun pagi. Mungkin karena ada kami berdua di sini.
"Oh ya, Revalia, apa kamu sadar tadi?"
"Tadi? Kau yang masuk tanpa menunggu persetujuanku? Ya, sangat. Jika bukan karena masih dalam tahap hukuman, aku sudah menguburmu hidup-hidup."
Ah~ Ia tadi sadar dan sekarang masih marah. Karena ia tidak menyerangku dengan pukulan atau sebagainya, maka seharusnya tidak masalah bagiku meminta maaf.
Jadi, aku pun mengaku salah dan meminta maaf. Revalia menghembuskan nafasnya dan berbicara tanpa mengalihkan tatapan dari piring :
"Tidak masalah lagi. Karena sebentar lagi, kau akan benar-benar menyesali perbuatan itu."
Aku sedikit bertanya-bertanya tentang apa yang dimaksudnya. Saat aku melirik Freya, ia memalingkan wajahnya.
Apa-apaan itu? Tetapi yah, mari lupakan pertanyaan di kepalaku ini terlebih dahulu, dan menyantap apa yang terhidang di meja ini.
… Sekali saja suapan sendok menyentuh bibirku, aku langsung merasakan pedas yang sangat tidak bisa ditoleransi.
Tidak tahan dengan pedas itu, aku pun mengeluarkan seluruh suara yang kupunya, hingga membuat seluruh penghuni asrama ini dan sekitar terbangun.
Sepertinya inilah yang dimaksud Revalia dengan menyesal. Aku bersumpah tidak akan masuk kamar sembarangan lagi. Kalau tidak sengaja, sih, apa boleh buat. Beda cerita soalnya.