"… Maaf sudah membuatmu menunggu."
Suara datar dengan perasaan berwibawa yang terkandung di dalamnya terdengar dari lubang yang terdapat pada bangunan Asrama Kelas Dua Lion.
Di sana, berdiri seorang gadis 16 tahun. Ia memiliki rambut biru muda yang terdapat bando hijau padanya. Tatapan matanya yang memiliki iris berwarna emas menatap tajam seperti elang ke arahku.
Berbeda dengan sebelumnya yang hanya memakai handuk putih untuk menutupi sebagian tubuhnya, kali ini ia memakai seragam akademi dengan motif yang agak berbeda dengan kebanyakan siswi.
Blusnya memiliki kain yang lebih terang serta terdapat semacam renda (?) pada bagian sekitar kancingnya. Bagian bawah dadanya, ada pakaian kulit dengan warna seperti blazer akademi—hijau. Blazer akademi miliknya memiliki lengan yang pendek, menunjukkan kulitnya karena sepertinya blusnya itu tidak berlengan.
"Tidak masalah. Seharusnya, akulah yang meminta maaf karena tanpa sengaja melihatmu dalam penampilan seperti itu. Namun rasanya … itu tidak perlu, ya? Kamu tidak akan puas hanya dengan permintaan maaf seperti itu. Harus ada hukuman bagiku, 'kan?"
Gadis itu tidak menjawab. Ia hanya melompat ringan, turun ke tanah secara pelan dengan bagian depan sepatu kanan mendarat terlebih dahulu. Tubuhnya seperti tidak memiliki berat sama sekali.
Menyusulnya, tiga buah bola berwarna ungu melayang dari dalam Asrama Kelas Dua Lion kemudian menetap di sisinya.
Bola yang di tengah lebih besar dari dua yang memutar-mutarinya. Terdapat juga tiga garis horizontal berwarna merah pada bola di tengah itu.
Oh, sepertinya itu tidak sepenuhnya bundar, karena ada detail-detail kecil yang merosok ke dalam. Dua yang lain juga sepertinya lebih ke arah bola berduri.
"Lenyaplah dari hadapanku. Graviti Orb, lempar ia sejauh yang kamu bisa. Buat ia merasakan sakit tidak tertahankan."
Graviti Orb? Apa ia menamai Senjata Elemental-nya? Dari namanya, seharusnya itu berhubungan dengan gravitasi.
Omong-omong, Senjata Elemental adalah senjata yang tercipta dari Roh. Ketika Kontraktor dan Roh-nya memiliki ikatan yang kuat serta mana yang cukup, Roh itu dapat berubah menjadi senjata sesuai bayangan dari Kontraktor-nya.
Astaga, sempat-sempatnya aku menjelaskan hal itu. Padahal, bola itu sedang mengarah kemari.
Dua bola yang kecil berputar lebih cepat dari sebelumnya saat mengambang ke sini.
Hmm, untuk mengatasi itu aku perlu ….
"Medan pelindung!"
Sama seperti sebelumnya, penghalang transparan berwarna hijau muda muncul ketika aku meneriakkan kata-kata tersebut sambil mengarahkan telapak tangan kiri ke depan.
Tidak lama, Senjata Elemental milik gadis itu menghantam Sihir Roh-ku yang bernamakan «Medan Pelindung» dan ….
"Ugh …. Sial …."
Aku menggigit bibirku. Tangan kananku memegang pergelangan tangan kiriku yang sedari tadi rasanya hendak patah.
Rasanya … aku sedang menahan gajah yang jatuh ke arahku dari atas dengan satu tangan. Tidak, mungkin sedikit lebih ringan dari itu. Meski begitu, jika bukan karena Sihir Roh-ku, maka ungkapan sebelumnya cocok.
Penghalang transparan berwarna hijau yang ada di depanku mulai menunjukkan tanda-tanda akan pecah kapan saja. Aku dalam keadaan yang gawat, ya …?
Aku tidak tahu apa yang akan terjadi ketika bola-bola itu menghantam tubuhku. Namun, aku merasa kemungkinan paling ringannya hanya aku yang menghantam bangunan lain yang ada di belakangku hingga menembusnya.
Yah, 'hanya'. Bisa dikatakan, kemungkinan terburuknya berkali-kali lebih mengerikan dari itu.
"Akan kuberi kau satu penawaran yang cukup bagus. Menghilanglah."
Itu namanya bukan pilihan, Nona! Kau ini bagaimana!? Kata-kata itu sangat ingin kukatakan, tetapi … aku tidak bisa berbicara dalam kondisi seperti ini.
Benar-benar gawat …. Medan Pelindung-ku termundur. Cuma beberapa senti bagi bola itu untuk menyentuh batang hidungku.
Aku tidak bisa mundur. Karena, jika aku memindahkan posisi tubuhku sedikit saja, Sihir Roh-ku ini akan menghilang. Kemudian, bola-bola itu akan menghantam wajahku segera.
"Ugh …. Ini perasaanku saja atau …."
Bola-bola ini semakin membesar.
"Kaboom."
Bersamaan dengan kata-kata datar gadis berambut biru muda panjang itu, bola-bola tersebut mengeluarkan cahaya terang.
***
Aku mengedipkan mata berulang kali, menatap langit-langit yang belum pernah kulihat sebelumnya.
Dari selimut putih yang menutup tubuhku, serta dari tirai biru dan lemari obat yang kulihat ketika bangun dari kasur, aku bisa menebak kalau ini adalah UKS.
Pakaianku …. Aku hanya memakai kemeja putih yang sebelumnya dibalut oleh jas hijau bercorak hitam dengan batu zambrud palsu berbentuk segi enam di bahunya atau sebut saja jas akademi.
Meski tidak terlihat luka sedikit pun di tubuh, aku merasakan nyeri yang menyengat hanya dengan sekali gerakan tubuh. Padahal tadi tidak sakit sama sekali.
Pencahayaan di tempat ini agak merah. Mungkin karena cahaya matahari senja yang masuk dari jendela sebelah kiri sana.
Jam sekarang adalah …. Ah, jam tanganku sepertinya rusak. Lalu jam di ruangan UKS ini ada di …. Oh, ada di seberangku. Di sana, jarum pendek mengarah pada angka enam sedangkan yang panjang ke angka dua.
"Apa ar–? Aw!"
Cuma menggerakkan mulut saja, rahangku diserang oleh rasa nyeri. Separah apa tadi hingga membuatku seperti tidak boleh menggerakkan bagian tubuh di atas dada.
Jangan bilang kalau aku juga tidak boleh menoleh. Ah, bahuku agak sakit. Rasanya aku menyesal telah bangun dari tempat tidur ini. Padahal tadi tidak terasa sakit ….
"Sudah bangun?"
Seseorang menyibak tirai yang menghalangiku dari menghadap ke pintu UKS. Ia adalah si Cebol yang kini sedang menyilangkan tangan di depan dada.
"Asal kautahu saja. Jika bukan karena kau yang sedang tidak bisa sembarangan bergerak, maka aku sudah memukul perutmu karena sudah mengataiku seperti itu di pikiranmu."
Dengan alis yang menukik ke bawah dan mata yang menyipit sebagai intimidasi, si Cebol berkata demikian sambil melipat kedua tangan.
"Cebol! Cebol! Pergi ke psikiater sana, sialan! Aku sudah tidak tahan dengan uh ah uh ah-mu itu! Sekalian, menetap sana! Di rumah sakit jiwa!"
Astaga, ia mengamuk. Jika bukan karena tubuhku yang tidak bisa digerakkan seenak jidat, aku sudah melarikan diri dari sini. Namun entah kenapa … rasanya ia salah target. Yah, mengatai orang lain 'Cebol' tidak bisa dianggap dengan stres, 'kan?
"… Ah, maaf, ya. Kau mengingatkanku pada salah satu temanku yang terkena pedofilia soalnya. Yah, untung dia sudah meninggal."
Si Ceb– Direktur Akademi menekan pelipisnya saat mengatakan itu, seolah-olah ingin melupakan orang tersebut.
Yah, entah kenapa, aku juga merasa turut senang dengan kematian orang itu. Baru kali ini kematian seseorang memberiku sebuah ketenangan. Biasanya aku merasa iba.
"Memang. Orang sepertinya pantas mati."
Kata-katanya itu terdengar kejam. Oh, ya. Apa ia memang bisa membaca pikiranku? Bagaimana caranya?
"Roh Kontrak-ku memiliki kemampuan yang berhubungan dengan pikiran. Bisa dibilang, aku bisa membaca pikiran, membuat orang berhalusinasi, membuat kata-kata yang didengar seseorang berbeda dengan yang asli, dan berbagai hal lainnya."
Pantas, ia bisa membaca isi pikiranku. Jadi, aku harus berhati-hati dengan memikirkan sesuatu ketika berada di dekatnya. Jangan sampai memikirkan hal yang kotor.
"Memang benar jika sebaiknya kau jangan memikirkan hal kotor di dekatku. Tapi, kenapa pikiran kotor yang kaumaksud itu bermain lumpur!? Ah, hentikkan! Aku tidak tahan melihat isi pikiranmu yang berguling di lumpur seperti berada di salju!"
He-Hei …, jangan menggucang-guncang ranjangnya. Rasa nyeri tadi jadi menyerangku kembali dengan rasa yang lebih menyengat ….
"Oh, benarkah? Maaf."
Baru kali ini, aku merasa pikiran yang dibaca itu menguntungkan. Aku tidak perlu repot-repot membuka mulut untuk menegur orang.
"Yang repot aku tapinya, terpaksa mendengar isi pikiran orang lain yang biasanya menyebalkan. Itu tidak enak, tahu."
Itu bukan urusanku~
"Kau ini …."
Si Ceb– Direktur Akademi menghela nafas dan membuangnya. Ia lalu memberi tatapan menyipit kepadaku dengan mata yang irisnya berwarnakan perak itu.
"Bisa tidak berhenti mengataiku dengan kata-kata itu? Kau membuatku teringat si Pedofil itu. Panggil saja aku GB (Jiibi) jika tidak bisa memanggilku Direktur Akademi."
Hmm, itu lebih mudah. GB. Goldblade. Singkatan dari marganya. Terdengar aneh untuk sebuah marga bagiku.
"Oh ya, itu bukan marga. Itu adalah julukan yang diberikan oleh organisasi ketika aku menyelesaikan masalah terbesar mereka bersama rekan-rekanku dulu."
Ah~ Pantas saja. Kupikir itu marganya.
"… Baiklah, karena sudah waktunya kembali, aku pergi dulu. Ah, aku hampir lupa. Terima ini."
GB memberiku beberapa dokumen dari kantong blus coklat yang diselimuti jas miliknya yang berwarna hitam dengan garis hijau. Aku tidak tahu kalau itu bisa muat di sana.
"Semua yang terjadi selama kau tidak sadarkan diri gara-gara serangan Tuan Putri Kerajaan Dafesilo itu tertulis di sana."
Dengan kata-kata tersebut, ia pergi meninggalkanku di ruangan ini.