"Aku tidak percaya, mereka memberikanku hukuman membersihkan asrama hanya karena melubangi dindingnya. Terlebih, aku tidak terima jika itu harus bersamamu."
Begitulah celotehan yang keluar dari mulut seorang Tuan Putri dari Kerajaan Dafesilo yang kini ia sedang mengepel lantai lorong asrama.
Aku yang mendengar celotehannya sambil mengepel juga cuma dapat membuang nafas lalu melirik gadis itu tanpa ekspresi.
"Apa? Cepat lanjutkan pekerjaanmu!"
Yah, padahal ia sendiri yang dari tadi tidak bisa diam—selalu berceloteh. Bisa-bisanya ia menyuruhku saat sadar lirikan lelahku tadi.
Omong-omong, bangunan di akademi memiliki sistem regenerasi. Dengan bantuan Roh beratribut tanah, bangunan yang berlubang bisa kembali ditambal.
Sekarang adalah malam hari. Kisaran jam delapan malam, kurasa. Aku tidak tahu pasti waktu sekarang karena di lorong lantai tiga Asrama Kelas Dua Lion ini tidak memiliki jam dinding.
Oh ya, soal rasa sakit di tubuhku, itu sudah diredakan dengan Sihir Roh. Sekarang tubuhku tidak merasakan sakit sama sekali.
Dan soal mengapa aku ada di sini, sudah bisa ditebak dari perkataan Tuan Putri yang sedang mengepel lantai berbelakangan denganku.
Karena menyebabkan kekacauan yang tidak perlu dan merusak fasilitas asrama, kami berdua mendapat hukuman dengan membersihkan Asrama Kelas Dua Lion selama tiga malam dua hari. Malam ini termasuk.
Sebenarnya, hukuman tersebut sudah tergolong ringan. Sangat malahan. Jika kami menyebabkan kekacauan di distrik selain asrama dan akademi, pasti berkali-kali lebih parah dari sini.
Dan jika kami menyebabkan kekacauan di luar pulau, maka sekurang-kurangnya, kami diasingkan oleh negara atau dianggap sebagai buronan.
Ada satu hal penting lagi yang terjadi tadi. Dan itu adalah ….
****
"Aku dengar kalau kamu sudah bangun."
Setelah GB pergi, seorang gadis dengan pakaian perawat datang. Sepertinya ia guru yang bertugas di UKS.
Aku tidak bisa memberi komentar pada perkataannya itu, karena sedikit saja aku menggerakkan badan yang ada di dada ke atas, maka rasa nyeri akan menyerang.
Berjalan ke lemari yang berisikan obat-obatan, ia membuka kuncinya dan mulai mencari-cari di sana lalu mengeluarkan … jarum suntik.
Firasatku mengatakan suatu hal buruk.
"Nah, tunjukkan badanmu padaku, lelaki."
Kacamatanya menjadi putih ketika ia mengatakan kata-kata tersebut sambil memasukkan cairan obat ke dalam suntikan itu.
Beberapa saat setelahnya, teriakanku menggema di seluruh gedung akademi. Sampai-sampai GB yang berjalan di lorong kembali memeriksaku.
***
Tidak, tidak. Bukan itu hal pentingnya. Mengapa aku malah mengingat saat-saat rasa nyeriku menghilang karena obat suntik yang berisi air yang telah diberi rapalan Sihir Roh Penghilang Rasa Nyeri itu?
"Kenapa? Geleng-geleng sendiri."
"Bukan apa-apa."
Mendapati pertanyaan yang disertai mata menyipit dari Tuan Putri Kerajaan Dafesilo tadi, aku menggeleng.
Yah, ia pasti berpikiran kalau aku sedang memikirkan dirinya pada siang tadi. Namun nyatanya, aku tidak terpikirkan hal tersebut hingga aku terpikir kejadian itu sekarang.
Bisa dibilang, aku tadi tidak memikirkan soal televisi kemarin, tetapi karena ada yang menyinggung aktris televisi, tanpa sengaja otakku malah memikirkan tayangan kemarin.
"Menjijikkan. Senyum-senyum sendiri."
"Mana ada! Fitnah!"
Baiklah, lupakan masalah itu. Satu hal penting tadi itu adalah ….
****
"Fuhaha! Tidak kusangka kau lemah pada jarum suntik!"
Usai disuntik oleh guru yang bertugas di UKS tadi, aku berjalan berdampingan dengan GB. Ia tertawa keras dari tadi—setelah keluar dari UKS.
Biasanya, aku ikut tersenyum ketika melihat anak kecil bahagia seperti itu, tetapi karena ia bahagia sebab mentertawakanku—juga karena aslinya ia nenek-nenek—aku mengerutkan kening saat meliriknya.
"… Tapi aku benar-benar tidak menyangka, efeknya akan sebaik ini. Rasanya, aku bisa melompat keluar gedung lagi."
"Mau kulempar?"
"Tidak perlu."
Meski aku berkata 'bisa', bukan berarti aku akan melakukannya. Banyak orang seperti itu—bilangnya bisa tetapi tidak mau bergerak untuk melakukannya.
Biasanya, orang itu berkata, 'Kalau aku serius, ranking satu itu bukanlah masalah'. Nyatanya, serius tidak serius hanya akan memberikan perbedaan yang benar-benar hebat.
"Oh, ya. Aku menganjurkan, sebelum tiba ke Distrik Asrama, kau bacalah dokumen yang kuberikan tadi."
Setelah mengatakan itu, GB berjalan lebih dulu, meninggalkanku yang berhenti lalu bergegas kembali ke UKS untuk mengambil dokumen yang ia singgung itu karena tertinggal di sana.
Di perjalanan menuju bangunan Asrama Kelas Rat, aku duduk di kursi panjang dan membaca dokumen yang diberikan si Cebol tadi.
Yah, ia tidak ada di sini, jadi aku bebas mengatainya. Hanya saat berada di dekat dirinya saja aku harus berhati-hati dan mengalihkan pemikirian sesaat.
"… Kenapa tiba-tiba jadi seperti ini?"
Membaca isinya, aku mengerutkan kening tanpa disengaja. Yah, mau bagaimana lagi? Isinya adalah ….
"Padahal yang salah gadis itu karena melubangi dinding asrama. Mengapa aku juga ikut dihukum?"
Meski berkata seperti itu, aku tahu jelas kalau aku juga ikut bersalah soal itu. Namun, menyalahkan kesalahanmu pada orang lain lebih mudah untuk tidak dilakukan.
Di halaman selanjutnya, dikatakan kalau barang-barangku yang ada di Asrama Kelas Rat dipindahkan ke kamar gadis itu. Kemudian, aku dianjurkan untuk menanyakan itu lebih lanjut kepadanya.
***
Namun …, sampai sekarang aku tidak sempat untuk menanyakannya. Setibanya di Asrama Kelas Dua Lion, aku langsung diberi alat pel oleh gadis yang sebenarnya Tuan Putri dari Kerajaan Dafesilo itu.
"Apa? Ingin dikubur hidup-hidup?"
Yah, begitulah Tuan Putri tersebut. Sekali saja ia sadar lirikanku, kata-kata ancaman keluar dari mulutnya.
Padahal, aku hanya ingin menanyakan soal mengapa barangku dipindahkan dan beberapa hal lainnya seperti apa yang diminta oleh GB.
Entah berapa kali sudah, aku menghela nafas dan membuangnya karena hal itu. Galaknya tidak bisa dipalang.
"Apa? Ingin jadi katak penyet?"
Tolong, hentikan! Aku tidak tahan dengan tatapannya yang seperti ingin menggigitku kapan saja.
***
Pada jam sembilan, aku masuk ke kamar gadis itu. Sebelumnya aku tidak terlalu memperhatikan interior yang ada di kamar ini. Cukup tidak terduga, tempat ini sangat luas.
Kamar ini …. Entah kenapa aku ragu untuk menyebut tempat ini kamar. Ini lebih mirip dengan apartemen kelas atas soalnya. Yah, walau aku belum pernah ke sana juga, aku bisa langsung tahu.
Tempat ini memiliki ukuran yang sangat luas. Desain serta warna catnya, sangat mirip dengan yang ada di poster promosi dekorasi rumah idaman.
Semuanya lengkap di sini. Ruang tamu, dapur, kamar mandi, dan yang lainnya. Aku sekarang semakin ragu untuk menyebut tempat ini dengan kamar.
Oh, ada wifi-nya juga!
"Duduklah, aku akan memesan makanan."
Hmm, rasanya ia jadi sedikit ramah setelah masuk ke kamar ini. Yah, meski raut wajah masamnya masih tidak berubah.
Mengambil ponselnya yang tergeletak di atas kasur, ia melakukan sesuatu di sana. Dari kata-katanya tadi, ia seharusnya sedang memesan makanan melalui online.
Usai melakukan itu, ia meletakkan kembali ponsel pintarnya ke kasur. Kemudian, ia berjalan dan duduk di kursi seberangku. Kini, hanya meja makan yang menghalat antara kami.
Keheningan terjadi di antara kami. Memang, aku punya sesuatu yang ingin dikatakan, tetapi kata-kata yang telah kusiapkan itu menghilang entah ke mana sekarang.
"Pertama-tama, namaku adalah Revalia coul Dafesilo. Nama panjang yang ada di depan pintu itu dibuat oleh Kakakku yang bodoh."
Apa? Apa? Tiba-tiba saja ia memperkenalkan dirinya. Tanpa hujan lebat maupun badai. Kakaknya? Siapa yang bertanya?
Karena sepertinya ia melihat ekspresiku yang bertanya-tanya, gadis bernama Revalia membuang nafasnya dalam-dalam.
"… Mulai sekarang, kau akan tinggal di tempat ini. Ingat, ini cuma sampai hukuman kita berdua selesai saja."
Pantas saja barang-barangku dibawa kemari. Rupanya karena itu …. Yah, agak bermasalah bagiku, tetapi karena ini sepertinya perbuatan si Cebol, aku bisa apa?
"Jangan merasa senang karena bisa tinggal di sini dan jangan coba-coba untuk mencuri kesempatan. Aku tidak akan segan-segan untuk menguburmu hidup-hidup ataupun membuat hukuman kita berdua semakin diperpanjang."
"Baiklah, baiklah, aku mengerti dan tidak akan pernah melakukannya. Jadi, tolong jangan terlalu mendekatkan wajahmu!"
Setelah aku mengatakan itu, barulah ia menyingkirkan wajahnya dan kembali ke posisi semula—duduk diam di kursi.
"Satu hal lagi. Nenek loli itu bilang kalau setelah kau menginap di sini sampai hukuman kita selesai, maka gilirankulah untuk menginap di tempatmu hingga akhir pekan."
… Aku tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Semuanya terasa terlalu mendadak. Kupikir, tidak ada masalah. Semua barang yang tidak seharusnya ditunjukkan pada publik yang ada di kamar itu bukanlah milikku, jadi aku aman.
"Dan pada seninnya, kita akan berduel."
Cukup. Biarkan aku tidur sekarang. Dalam sehari, aku sudah diberikan kejadian ini itu secara beruntun. Entah apa saja yang akan terjadi selama sebulan ini nanti.