Chereads / Laki-laki Di Akademi Roh Perempuan / Chapter 5 - Hari Pertama Di Akademi (4) - Asrama Kelas Dua Lion

Chapter 5 - Hari Pertama Di Akademi (4) - Asrama Kelas Dua Lion

"Bangunan ke lima, lantai dua, kamar nomor delapan …."

Berjalan sambil memperhatikan peta yang diberikan oleh si Cebol, aku berjalan di salah satu tempat di pulau ini yang disebut dengan Distrik Asrama.

Akademi menyediakan asrama untuk murid-muridnya tinggal. Jadi … sebagai ganti memberi tempat tinggal itu, mereka dengan seenaknya melarang para murid keluar-masuk wilayah akademi.

Oh ya, tentang pulau ini, itu terdiri dari beberapa distrik. Tempatku berada sekarang adalah Distrik Asrama, kota yang kebanyakan gedungnya adalah bangunan asrama.

Saat bejalan di distrik itu, aku sesekali ditanyakan oleh penjaga soal apa yang kuperlukan. Namun ketika aku menunjukkan liontin yang diberikan si Cebol setelah menyuruhku pergi, aku tidak ditanyaikan apa-apa lagi.

Setelah beberapa menit berjalan, aku pun tiba di depan gedung asrama khusus untuk murid-murid kelas dua Lion. Bangunan kelima di sebelah kiri.

Memasukinya, beberapa interior mewah bisa dilihat oleh mataku. Ini lebih seperti … hotel bintang lima.

… Aku memang belum pernah masuk ke tempat itu, sih. Namun aku yakin kalau saat ini aku sedang berada di tempat yang sama dengan itu.

"Apa ada yang kamu tinggal…kan?"

Kepala asrama yang sedang duduk sambil memainkan ponselnya menyapa dan terdiam untuk beberapa alasan yang tidak ingin kusebutkan.

"… Aku datang untuk menjemput seseorang yang ada di lantai dua karena perintah si Ceb– Ehem, Direktur Akademi. Tolong jangan bertanya tentang hal ini lebih lanjut."

Mengeluarkan liontin yang diberikan si Cebol itu, aku mengatakan itu di hadapan Kepala Asrama.

"Ah, saya mengerti …."

Setelah mengangguk, ia menuliskan sesuatu di sebuah buku. Mungkin semacam catatan siapa yang datang dan pergi. Ketat juga, ya?

"Baiklah, semua selesai. Silakan datang ke tempat tujuan kamu. Jika terjadi sesuatu, semuanya merupakan tanggung jawabmu sendiri, ya."

Aku tidak benar-benar mengerti apa maksudnya, tetapi baiklah …, mari temui orang itu.

Sangat berbeda dengan asrama untuk murid-murid Kelas Rat. Bangungan asrama untuk murid-murid Kelas Lion yang merupakan kelas orang-orang hebat sangat berkelas.

Di sini ada lift. Sedangkan kami, untuk naik ke lantai atas harus lewat tangga. Turunnya, harus lompat dari jendela.

Bercanda, mana mungkin pihak akademi membiarkan muridnya melompat dari lantai atas.

Tidak semua orang punya kemampuan tubuh anti gores sepertiku. Ah, mungkin hanya aku yang punya kemampuan itu karena efek dari Roh Kontrak-ku.

Baiklah, sekarang adalah lantai dua. Nomor kamar orang yang harus kubawa ke tempat si Cebol adalah ….

"Delapan …."

Sial, tidak ada angkanya. Semuanya bertulisan dengan nama pemilik yang tinggal di sana.

Kalau aku mengetuknya satu-satu, mungkin bisa. Kamar mana yang ada jawaban dari dalam, maka kamar itulah yang berisi orang yang harus kuculik. Alasannya, semua siswi sekarang berada di kelas mereka kecuali orang itu.

"Permisi …. Apa ada orang? Saya datang untuk menculik Anda karena perintah dari atasan saya."

Entah kenapa rasanya aku memberi sapaan yang bodoh pada pemilik kamar. Yah, tidak ada balasan pada yang satu ini. Mari pindah kamar.

Kemudian, aku pun mengetuk semua pintu yang ada—pintu lift pun ikut kuketuk, meski tanganku dijepit olehnya setelah itu—tetapi aku tetap tidak mendapati balasan apa pun—kecuali tangan yang dijepit pintu lift.

"Apa mungkin aku salah lantai, ya?"

Pemikiran tersebut keluar dari mulutku. Namun, ketika aku menanyakan Kepala Asrama, ia mengatakan kalau aku ada di lantai yang benar.

Oh, ya? Kenapa aku tidak langsung menanyakan di mana kamar nomor delapan kepada Kepala Asrama? Ah, kesalahan kecil seperti ini memang sering terjadi.

"Nomor delapan? Sebentar …. Kalau tidak salah ingat, itu adalah kamar milik siswi yang tidak perlu hadir lagi ke akademi karena sudah menyelesaikan seluruh mata pelajarannya."

Setelah ia merenung cukup lama sambil memain-mainkan rambutnya, hanya informasi tersebut saja yang diberitahukan olehnya.

"Aku sudah tahu hal itu. Yang kutanyakan adalah, di mana kamarnya berada? Bukan siapa yang ada di sana."

"Kamar nomor delapan."

"… Baiklah, aku sudah sangat mengerti dengan penjelasanmu. Jadi, apakah pantas bagi kepalan tanganku ini melayang ke arah wajahmu?"

Kepala Asrama tertawa kecil mendengar itu. Duh, kenapa kami malah melawak di sini? Apakah sekarang dunia sedang ingin mentertawakanku?

"Nama pemilik kamar itu adalah Revalia coul Dafesilo. Di pintu sana seharusnya ada nama yang lebih panjang, tapi aku menyerah untuk mengingatnya. Penulisnya saja sempat salah tulis."

"Oh, baiklah. Terima kasih."

Aku segera melarikan diri ke lantai dua. Yah, akan bermasalah jika aku terlalu lama di sana karena pembicaraan kami tadi sepertinya akan melebar lebih luas jika aku tidak pergi.

***

"Revalia Hifh Coul Larveis Ourd Galfien Erganasia Iil Dafesilo. Astaga, Kepala Asrama tidak berbohong soal namanya."

Aku menggeleng tidak percaya ketika melihat nama yang terpampang di pintu. Entah kenapa aku merasa itu cuma separu dari nama aslinya.

Oh, ya. Aku mau mengakui satu hal. Ternyata … kamar ini adalah kamar pertama yang kuketuk saat tiba di lantai ini.

"… Menyebalkan sekali."

Setelah menghela nafas lalu membuangnya, aku mengetuk pintu itu sekali lagi. Yah, mungkin orang yang ada di dalam tadi telinganya agak bermasalah, jadi ia tidak menjawab.

"Permisi …! Penculik di sini …! Cepatlah tunjukkan dirimu atau kulaporkan kau pada si Ceb– Klienku …!"

Karena aku sudah meninggikan suaraku sedikit, seharusnya ia dapat mendengarnya. Jika ia masih tidak mendengarnya ….

"Kenapa?"

Oh, pintu terbuka. Dan yang menjawab itu adalah … seorang gadis dengan rambut biru muda lembab yang sedang melekat pada kulit putihnya.

"A-Anu …."

Sial, aku kehabisan kata-kata. Dan mau tidak mau, aku harus mengalihkan pandangan. Soalnya, ia baru selesai mandi. Dan yang dipakainya … hanya sebatas handuk putih saja. Itu pun, hanya digunakan untuk menutupi bagian tertentu saja.

Ia masih diam, tidak bergerak sama sekali. Mungkin karena sedang mencerna apa yang saat ini sedang terjadi. Sepertinya ini kesempatan yang tepat untuk melarikan diri sebelum ia sadar dan menggamparku.

"Lari untuk hidup!"

Untung saja jendela terbuka lebar. Jika tidak, aku tidak akan bisa menggunakannya untuk melarikan diri dengan cara keluar dari sana.

Ups, ia sepertinya baru sadar. Buktinya, jendela serta dinding yang ada di sekeliling mendadak hancur berkeping-keping dan terlempar keluar—ke arahku.

"Aww~!"

Sial, sepertinya ada pecahan kaca yang tanpa sengaja tertancap di punggungku. Oh, seragamku robek. Untungnya kulitku masih mulus.

Baiklah, aku sudah mencapai tanah. Yang kuperlukan sekarang hanyalah menghindar dari beton-beton hasil pecahan dinding Asrama Kelas Dua Lion itu.

Hmm, benar juga. Bagaimana kalau menggunakan perisai itu? Sudah agak lama sejak terakhir kali aku memakainya.

"~Empat anak mencari cerita, empat anak terbimbing menuju kenyataan tentang Kota Suram. Ceritamu yang tidak tertulis, kini akan kubuat dengan gayaku! Datanglah kepadaku sebagai perisai kecil, demi melindungi hal yang berharga bagiku!"

Bersamaan dengan kata-kata yang keluar dari mulutku itu, rasa sakit yang menyengat datang dari dadaku. Di sana, sesuatu terlihat bercahaya.

Beberapa detik di akhir rapalan, sebuah perisai kecil hitam dengan empat kristal berbeda warna—merah, kuning, biru, hijau—dan segitiga pada tengah-tengahnya muncul di pergelangan tangan kiriku.

"Medan pelindung!"

Saat aku meneriakkan itu sambil mengarahkan kedua telapak tangan ke depan, penghalang transparan berwarna hijau muda muncul untuk melindungiku dari pecahan-pecahan dinding beton.

Pecahan dinding beton yang menghantam penghalang transparan buatanku menciptakan getaran hebat di udara, hingga aku yang merasakan sedikit getarannya jadi gemetar.

"Entah kenapa … rasanya satu debu dari pecahan dinding beton itu dapat membuat seseorang yang cukup terlatih kesusahan mengangkatnya."

Yah, itu semacam ….

"… Setiap debunya mempunyai berat yang setara dengan benda berat seperti lemari. Huh, apa gadis itu memasangi Sihir Roh di seluruh benda ini?"

Kurasa itulah kenyataannya.

Baiklah, karena sudah tidak ada lagi pecahan dinding yang perlu ditahan menggunakan Medan Pelindung karena semuanya sudah berjatuhan, aku harus mematikan Sihir Roh ini untuk menghemat mana.

"Sekarang … aku harus menghadapi pelaku yang melubangi asrama itu, ya?"

Mataku terarah pada lubang yang ada di bangunan Asrama Kelas Dua Lion. Yah, ia pasti tidak akan diam saja di sana. Mungkin sedang ganti baju sekarang.