"Ohho, siapakah yang datang ini?"
"Lihatlah Kak Vania, bukankah itu sepupu tersayang mu Kenzo? Haha"
Kenzo yang baru saja datang memasuki rumah Kakek William langsung disambut dengan begitu tak menyenangkan oleh bibi serta kedua sepupunya. Ia hanya akan memainkan drama mengimbangi keluarga bibinya yang penuh dengan tipu muslihat.
"Bibi Raihana, apa kabar?"
"Oh bibi baik, Kenzo sendiri bagaimana denganmu?"
"Kenzo baik baik saja. Dimana kakek?"
"Ken, kamu tidak menyapaku terlebih dahulu? Kamu sudah lama tidak melihat diriku."
Kenzo memejamkan matanya sesaat karena tingkah Vania Marquis, sepupunya yang sungguh tidak menyenangkan dirinya. Ia bergelayut di tubuh Kenzo. Kenzo masih diam saja, ia tidak ingin meributkan perkara ini saat ia baru saja tiba. Sepupunya, Vania masih saja bergelayut ditubuh Kenzo bahkan ia membelai rambut Kenzo dengan penuh rayuan. Kenzo yang sudah tidak tahan, langsung memberanikan diri membentak dan memaksa Vania untuk melepaskan diri darinya.
"Lepaskan!"
"Oh Kenzo, mengapa tidak sopan terhadap kakakku? Dia dengan senang hati menyambut kedatangan mu."
"Heh kalian apakah sudah lupa? Semenjak kejadian dahulu, Kenzo semakin tidak suka dirinya atau bahkan barangnya disentuh orang lain tanpa seizinnya. Apakah belum berubah? Hihi"
Kenzo melepaskan mantel jaz nya lalu sedikit mendorong jauh Vania ke hadapan Bibinya, Raihana dan sepupunya, Gerald Marquis.
"Cukup sudah kalian memainkan drama ini. Saya tidak akan mengikutinya kembali. Saya hanya datang untuk menemui kakek. Jadi, minggir lah."
"Oh, mengapa begitu tiba di Jerman langsung ke sini? Tidak pulang menemui kedua orang tuamu Ken?"
"Tidak ada urusannya denganmu."
"Sepertinya kamu belum tau tentang bibi Shofie yang Ken? Haha."
Kenzo menatap tajam sepupunya, Gerald dan mendekatinya perlahan lalu bertanya apa maksud dirinya berkata. Namun, tepat sesuai perkiraan Kenzo bahwa ia tidak akan begitu saja mudah mengatakannya.
"Apa mau mu?"
"Wah, akhirnya muncul reaksi seperti ini dari sosok Kenzo? Haha."
Kenzo pergi berjalan meninggalkan mereka. Namun, ia berbalik sesaat dan mengatakan sesuatu yang membuat keluarga itu tersinggung dalam sekejap.
"Oh benar apa yang dikatakan Bibi Raihana, saya tidak menyukai barang saya yang sudah disentuh orang lain tanpa izin saya. Jadi, silahkan ambil saja mantel jaz itu. Itu baru saya pakai saat datang ke Jerman hari ini. Harganya melebihi jatah uang bulanan yang diberikan Bibi Raihana pada kalian berdua."
Kenzo menatap sinis dengan ekspresi menyindir mereka. Kenzo merasa puas dengan apa yang ia lakukan pada keluarga itu, "Heh, mereka masih saja tidak berubah. Berani bermain denganku, maka tanggung lah akibatnya."
***
Kakek William telah duduk menunggu Kenzo di ruang kerja setelah makan malam bersama sebelumnya. Kenzo mengetuk pintu dan masuk lalu mengunci pintu setelah mendapat perintah dari kakeknya.
"Ken, kemari lah duduk di samping kakek."
Kenzo mendekat pada kakeknya yang terlihat semakin tua, namun karena kakeknya mantan perwira tertinggi di militer Jerman, kakeknya masih terlihat sehat meski ia menahan sakit dari penyakit jantungnya.
"Kakek sudah tahu apa yang terjadi saat kamu baru saja tiba. Apa kamu baik baik saja? Bagaimana dengan bunda mu?"
"Tenang saja kek, bunda juga baik baik saja. Tapi apa yang sebenarnya terjadi?"
Kakeknya terdiam sesaat lalu menyerahkan amplop coklat berisikan foto foto dan surat kuasa. Kenzo yang mengerti itu langsung melihat dan ia terkejut dengan apa yang sudah ia lihat.
"Kak Garvin, Kak Carl..ini.."
"Benar, mereka berdua memaksa ayah dan bunda mu untuk menyerahkan secara resmi perusahaan yang sudah dirintis mereka sejak menikah. Sebelumnya, ayahmu hanya menyerahkan posisinya pada mereka. Ayah bunda mu tidak bisa melawan mereka dan itu bukti foto kekerasan mereka. Kakek menyusup kamera dirumah mu untuk mengetahui dengan jelas. Begitu kakek tahu, kakek langsung mengajak kedua orang tuamu menginap disini selama 3 hari untuk pemulihan. Namun, ayah bodoh mu itu masih saja tidak ingin melepaskan asetnya pada anak anak kasar mereka hingga rela kembali ke rumah neraka itu. Bunda mu pun mau tidak mau harus mengikuti. Jadi..."
Kakeknya tertunduk ragu untuk melanjutkan kalimatnya. Kenzo yang melihat itu, langsung memotong perkataan Kakek William.
"Kenzo mengerti. Terima kasih Kek."
Kenzo tersenyum tegas dan langsung menganggukkan kepalanya. Sang kakek mengusap cucu tersayangnya, ia sangat tahu bagaimana pertumbuhan cucunya sejak kecil. Bagaimana rasa sakit yang sudah dilalui Kenzo terlebih dahulu untuk mencapai ini semua dengan usahanya.
"Baiklah nak, ini sudah sebulan dan tentu kamu sudah pasti memiliki jawaban atas permintaan kakek. Ini suratnya bila kamu setuju, tanda tangani lah. Meski kakek tahu beban di bahu mu akan bertambah berkali-kali lipat."
Kenzo langsung menandatangani tanpa ragu dan menatap sang kakek yang begitu perhatian padanya sejak kecil. Kakek William termenung sesaat lalu meneteskan air mata hingga membuat Kenzo harus memeluk untuk menenangkannya.
***
Sebelum izin pamit, Kenzo menghampiri kakeknya yang sedang bersantai di taman rumahnya.
"Kakek, Kenzo izin pamit untuk pulang ke rumah. Setelah itu Ken, akan melanjutkan perjalanan bisnis Ken dan kembali ke Jepang."
"Ken, mengapa cabang perusahaan disini tidak kamu jadikan pusatnya saja? Kamu tinggal disini bersama kakek."
"Tidak. Kenzo tidak ingin menjadikannya, karena pasti akan terjadi sesuatu bila itu terjadi. Kakek tenang saja, semua urusan tentang keluarga Dietrich telah Kenzo urus bersama orang orang Kenzo dan orang kakek. Jadi, Kenzo minta kakek tetap diposisi kakek saat seperti sebelumnya."
"Baiklah, kakek mengerti. Ken kecilku, ingatlah kamu kini kepala keluarga Dietrich, disini selalu terbuka untukmu. Jangan ragu untuk pulang ya."
"Kenzo mengerti."
"Oh ya nak, nanti saat bertemu dengan kedua kakakmu. Kamu harus bersiap, meski mereka memegang kendali penuh akan perusahaan ayahmu, tetapi saham perusahaan keluarga kita ada 30% dan itu sama dengan jumlah saham yang mereka rebut dari kedua orang tua mu. Sisanya milik para investor."
"Kakek, Kenzo sudah lama menanamkan saham milik perusahaan Kenzo sendiri senilai 20%. Nama Kenzo diwakilkan oleh direktur disini."
"Wah, sungguh? Ken kecilku sungguh luar biasa, dengan kamu memiliki 50% saham di perusahaan ayahmu. Sungguh sempurna, mereka ada di bawah kendalimu."
"Benar, jika mereka berani berbuat hal yang tidak pantas. Mereka akan berhadapan langsung dengan Kenzo."
"Ken...mereka keluargamu.."
"Kenzo tahu, tapi bagi Kenzo tidak ada bedanya keluarga dan orang lain bila ada kesalahan diantaranya yang diperbuat. Kakek..tenang saja, Ken selalu mempertimbangkan setiap langkah Kenzo."
"Benar, cucuku sangat cerdas dan penuh talenta. Ia sangat sangat sempurna, perfeksionis haha"
Kakek William menepuk bahu Kenzo dengan sangkar kuat dan berulang kali sembari tertawa. Kenzo tersenyum melihat tingkah kakeknya dengan lirih ia berkata, "Ken, tidak akan lagi membiarkan tawa bahagia kakek menghilang. Selanjutnya biarkan Kenzo yang mengurus segalanya."
***
Saat Kenzo tiba di rumah orang tuanya, tak ada satupun yang menyambutnya hanyalah pelayan rumah yang menghampirinya dan berkata semuanya sedang pergi.
Kenzo masuk melihat sekeliling rumah yang sungguh telah berubah setiap saatnya, tiap ia pulang ke rumah ia tidak memperhatikannya. Ia melihat foto foto yang tergantung di dinding ruang keluarga. Namun, benar saja tidak ada foto dirinya. Ada foto dirinya saat ia masih bayi dan kecil umur 3 tahun bersama ayah dan bundanya. Kenzo hanya tersenyum miris melihat keluarganya yang seperti ini padanya.
Kenzo masuk ke kamarnya untuk beristirahat sesaat sambil menunggu kedatangan ayah bundanya. Setelah satu jam, suara ketukan pintu membangunkannya. Kenzo bangkit dan membukanya. Saat pintu terbuka, ia melihat wajah yang sudah ia rindukan, wajah bundanya dengan mata berkaca kaca seolah tak percaya putranya ada dihadapannya.
"Bunda..."
Bundanya mengangguk sambil meneteskan air mata lalu memeluk erat Kenzo. Ia mendengar lirihan bunda Shofienya yang mengucapkan "Ken sayang". Ken tersenyum bahagia, lalu ia meminta bundanya masuk ke kamar untuk mengobrol dengannya.
"Ken apa kabar? Kamu sudah makan siang nak? Kakek bilang kamu tiba di Jerman kemarin. Bunda sangat merindukanmu."
"Ken sudah makan siang. Iya, kemarin Ken tiba dan menginap di tempat kakek karena ada urusan juga di sana. Ken juga merindukan bunda. Bunda baik baik saja kan ya? Dimana ayah?"
"Sayang jangan kamu tanyakan ayahmu lagi. Ia sedang ada rapat dengan pejabat. Mungkin pulangnya malam nanti."
"Dimana kakak pertama dan kedua."
"Mereka..."
Kenzo melihat tatapan kosong bundanya saat akan berbicara tentang kakaknya. Kenzo mengerti sekali akan perasaan itu. Kenzo semakin memantapkan hatinya, bahwa ia tidak akan membiarkan bundanya menderita lagi. Ia akan melawan siapapun dan dengan cara apapun sekalipun itu keluarganya.
"Bunda, 2 minggu lalu Ken ke Qatar untuk perjalanan bisnis sekaligus menyempatkan ke rumah nenek Maria. Ini ada hadiah kalung mutiara dari nenek. Oh ya sebentar... ini Kenzo juga membuat robot khusus untuk bunda, jadi dia bisa menanggapi ketika bunda bicara. Sudah Ken setting bun.."
"Terima kasih sayang. Kamu sangat perhatian pada bunda. Ini akan bunda namai Ken juga hehe."
Bundanya tertawa sambil mengangkat robot kecil yang ia buat untuk bundanya. Kenzo yang memperhatikan tiap ekspresi bundanya, ingin rasanya menangis namun itu tidaklah mungkin. Ia tidak boleh menunjukkan sisi lemahnya kembali pada bunda tercintanya.
***
Saat makan malam, Kenzo duduk disamping bundanya dan makan dengan diam. Seperti biasanya, ia kembali lebih diam pada orang yang tidak ia sukai.
"Adik bungsu, kamu baru tiba hari ini. Apakah akan menginap?"
"Kakak pertama, untuk apa kamu bertanya seperti itu. Bukankah ia akan terus bersembunyi dibalik dinding kakek?"
"Tidak, saya akan menginap."
"Wah, lihatlah AYAH. Kenzo berbicara formal lagi dengan kita."
Kenzo melihat kakak keduanya, Carl menekan ayahnya hingga membuat ayahnya melirik padanya dengan menggelengkan kepala sedikit.
"Kakak pertama dan kedua, jangan khawatir. Kenzo besok pagi akan pergi lagi untuk perjalanan bisnis. Jadi, tidak perlu mengkhawatirkan hidup Kenzo. Hidup Ken sudah baik baik saja selama ini, meski Ken hidup diluar sendirian, yang tidak seperti Kakak pertama dan kakak kedua."
Setelah mengucapkan itu, Kenzo melanjutkan makan dengan santai. Sementara, kedua kakaknya merasa sangat geram akan perkataan Kenzo yang menyindir mereka. Kenzo tertawa bahagia dalam hatinya dengan berkata dalam hati, "Lihatlah siapa yang kalah sekarang. Bingo! Kalian kalah telak haha."