Lucy menonton dari kejauhan latihan pagi sang ayah dengan musuh bebuyutannya di tengah halaman belakang berpasir mereka sembari mengunyah sarapan.
Aku ingin bergabung .... Pikirnya, agak iri melihat Robin bisa bermain-main seaktif itu dengan ayahnya yang kini seperti kemarin sedang mengejar Robin, satu-satunya perbedaannya adalah sang ayah tidak memiliki senjata kali ini.
"Kau sudah memukulku, Robin!" Teriak sang ayah yang mengejar, "Sekarang giliranku!"
"Tidak, tidak, tidak!" Musuh Lucy protes, "Kau akan membunuhku!" Sekali lagi berlari menghindari tinju sang ayah, kali ini sang musuh berlari ke arah Lucy.
Ingin melihat sang musuh kena tinju sang ayah, Lucy memajukan kakinya, berusaha menjatuhkan si pemuda yang kemudian menyentuh kaki kecilnya itu, dan tidak terjadi apa-apa.
"Aneh, huh?" sahut Quinn yang berjalan keluar dari rumah dengan semangkuk sup sayuran buatan teman satu perjalanannya..
Meski begitu, si pendek yang kini berjalan mendekati Lucy sembari menjelaskan tidak menarik perhatian dirinya karena sahutan yang keluar dari mulut, tapi karena benda ada yang di tangan.
"Aku juga mengalaminya kemarin." Lucy hanya setengah memperhatikan si pembicara yang lanjut menjelaskan, "Berusaha membuatnya tergelincir hanya untuk melihat apa yang akan terjadi, tapi tidak ada yang terjadi."
Semakin dekat Quinn, semakin jelas bahwa Lucy tidak memperhatikan si pendek yang kini sudah berada tepat di depan mata si gadis kecil yang fokus pada mangkuk di tangannya.
Quinn mengernyitkan alisnya, "Kau mau ini?" Menawarkan sarapannya kepada Lucy yang merespons dengan antusias, anak itu menaruh mangkuknya ke bawah dan memanjangkan tangannya ke arah mangkuk Quinn dengan dua anggukan.
Quinn membuang napas berat, "Kau sungguh rakus, huh." Lalu menyerahkan mangkuknya kepada Lucy yang menerima dengan antusias dan mulai lanjut makan, "Ingin jadi seperti ayahmu?"
Lucy mengangguk antusias, membayangkan dirinya bisa tumbuh besar dan kuat seperti sang ayah adalah salah satu cara favoritnya untuk mengisi waktu luang.
Berbeda dengannya, "Lupakan saja." Quinn hanya menggelengkan kepala sembari tertawa menyerah, membiarkan diam datang kepada mereka berdua sampai Quinn kembali ke topik sebelumnya.
"Seperti kataku, dia cukup aneh." Quinn memulai, "Dia bahkan bisa menyentuhmu." Lanjut si pendek yang berusaha menyentuh Lucy, hanya untuk menarik tangannya menjauh karena panas yang terpancar dari tubuhnya.
Lucy tentu saja mengabaikannya, hanya mendengarkan sebagai sedikit terima kasih karena sudah memberikan dia yang belum juga puas tambahan.
Beruntung karena dia tidak perlu mendengarkan lama, Quinn jatuh ke dalam pikiran panjang, kini membiarkan Lucy makan dengan tenang dan menonton kejar-kejaran antara Robin dan George.
Sesuatu yang sudah terjadi selama satu jam lebih dan berhasil membuat Robin menyesal mengikuti perintah George yang sekarang masih mengejarnya.
"Aku hanya memukulmu dengan pelan!" Protes Robin yang melompat menghindari hantaman langsung sang pria perkasa yang menciptakan kawah kecil di tanah.
"Jadi apa!?" Teriak George yang mencarinya di antara debu yang perlahan kembali jatuh ke bawah, "Aku harus diam dan terima saja?!" Melompat mengejar Robin dengan tinju yang dikepal kuat lagi.
Pertukaran dan kejar-kejaran itu terus berlanjut hingga siang hampir tiba, dengan mentari tinggi di langit, dan George sekali lagi berada di atas Robin yang berbaring lemas di halaman belakang rumah sementara mereka.
Namun kali ini, sang pria tidak melepaskannya. Pria itu menarik tinjunya ke belakang, lalu menggerakkannya maju dengan tenaga yang luar biasa.
Robin menutup matanya, mengharapkan sakit hebat yang tidak datang. Dia melihat tinju itu berhenti tepat di depan keningnya yang kemudian dijentik oleh si pria.
"Aw!" Protes Robin yang sekarang memegang keningnya yang berbekas merah tepat di tengah.
"Bangunlah." George mengabaikan protes sakit si pemuda, lebih memilih menawarkan tangannya kepada Robin persis seperti kemarin.
Menerima, "Seorang pria, Robin." Dirinya ditarik bangun dari posisi tidurnya oleh George yang kembali berbicara, "Hanya menyerang saat dia mengharapkan serangan balik."
"Tapi kau yang menyuruhku ...."
"Apakah aku memaksamu?"
"Tidak, tapi ...."
"Robin." George memotong, "Bukankah ini keputusanmu untuk belajar menjadi seorang pria dariku?"
Robin mengangguk.
"Kalau begitu, apa masalahnya?"
Mendengarkan pertanyaan retorika George, Robin menunduk, mulai berpikir dua kali tentang program latihan yang ditawarkan oleh George dan rencananya ke depan.
Diam jatuh kepada mereka semua, mendatangkan suasana senyap canggung yang jelas sekali tidak bisa dibaca oleh Quinn yang melompat berdiri dari kursinya.
"Aha!" Dia tersenyum dan berteriak dengan sangat bahagia, seakan baru saja menyelesaikan salah satu misteri terbesar di dunia yang akan membuatnya menjadi kaya.
Sayangnya, "Aku ingin melakukan sesuatu." Misteri itu masih belum terpecahkan, "Bisakah kita melakukannya setelah makan siang?" Perlu satu tes untuk membuktikan bahwa teorinya benar.
Robin dan George yang hampir saja dimakan keadaan canggung hanya bisa menatap Quinn dengan sedikit terkejut di mata, berpikir bahwa sang penyihir sengaja melakukan ini semua.
Sebuah tebakan salah yang mereka gunakan sebagai basis untuk mengiyakan keinginan Quinn dan mulai berpencar.
George mendekati anaknya yang sudah menunggu mereka selesai sedari tadi dan Robin memilih untuk pergi mandi dan membersihkan diri dari semua debu dan keringat.
Seorang pria, huh? Pikirannya mulai lari. Terus mengulang kalimat George dan pernyataan ayahnya di masa lalu, mendengarkan mereka di kepalanya hingga, "Bagaimana jika aku tidak ingin menjadi seorang pria?" Dia bertanya.
"Maka jangan!" Quinn menjawab dari bayangan.
"Qu ... Quinn!?" Mengejutkan Robin yang mencari wujudnya dari bak mandi.
"Satu-satunya!" Jawab Quinn yang sibuk menelanjangi dirinya.
"Kau masuk dari mana!?" Robin bertanya panik saat Quinn mendekat tanpa sehelai benang pun menutupi tubuhnya, sesekali menatap ke pintu untuk memastikan bahwa benar dia tidak mendengarkan benda itu dibuka sedikit pun bahkan saat dirinya sedang sibuk berpikir.
"Kau terus menatap pintu itu seakan aku membutuhkannya," ucap Quinn yang kini masuk ke dalam bak yang sama dengan Robin.
"A ... a ... a ...." Suara Robin patah, bingung mengisi dia yang kini mundur takut ke sudut bak mandi, berusaha menjauhi Quinn yang terus mendekat ke arahnya yang terjebak.
Tidak lama, dirinya ditangkap. Tangan Quinn menutup matanya, "Aku adalah seorang penyihir, teman." Sementara telinganya diserang oleh bisikan sensual si wanita yang mulai mengelus-elus dadanya.
"Ah ..." Robin mendesah, membawa senyum ke mulut Quinn yang memulai rencananya.
Wanita itu membekukan sedikit air bak mandi mereka menjadi es tajam yang kemudian dia gunakan untuk menggores dada si pemuda yang tidak melawan.
Hasil dari tindakannya itu sesuai dengan ekspektasinya. Tubuh Robin tidak lecet atau terluka bahkan saat Quinn menggunakan semua tenaganya untuk menekan ujung tajam es dingin itu.
Telah memastikan hal tersebut, Quinn melanjutkan tesnya ke tahap yang paling penting.
"Di tanganku adalah sebuah benda tajam yang bisa menyakitimu." Dia berbisik ke telinga Robin, dan mulai menggoreskan es tajam yang sama ke dada si pemuda.
"Ah!" Reaksi yang berbeda. Tubuh si pemuda seketika melompat melawan, jelas sekali merasakan sakit yang Quinn antarkan lewat es yang kembali dia cairkan.
Dia dan semua barang miliknya kemudian tertiup menghilang, mengizinkan Robin untuk melihat sekeliling dan menemukan ketiadaan.
"Apa ...?" Dadanya sungguh mengeluarkan sedikit darah, tapi kamar mandi tidak punya bukti kehadiran siapa pun kecuali dirinya di dalam.
Tidak lagi mau mengalami kejadian yang sama, Robin cepat menyelesaikan mandinya dan membuat catatan mental untuk tidak pernah lagi mengkhayal di kamar mandi.
Sebuah catatan mental yang terus dia ulang saat dirinya berpakaian dan kemudian menuju ruang makan untuk menemukan George dan Quinn sudah duduk di sana menunggu dia sementara Lucy sedang makan.
Robin melemparkan tatapan penuh tanya ke Quinn yang melemparkan tatapan yang sama. Keinginannya untuk bertanya kepada tentang kejadian di kamar mandi dia telan mentah saat dia merasakan tatapan George ke arahnya.
Akhirnya, Robin hanya duduk di meja dan makan masakan George yang masih tampak menjijikkan untuk rasa yang jauh bertolak belakang dengan penampilan.
Sesi makan mereka kali ini tenang, kekurangan pembahasan, melihat bagaimana hampir setiap dari mereka punya masalah canggung antara satu sama lainnya.
Hal itu dicerminkan oleh hari mereka selanjutnya yang berjalan dengan membosankan tanpa banyak interaksi antara satu sama lainnya, hingga pintu rumah diketuk satu-satunya penggemar George di dunia, Athelina.
Sang ratu ditemani oleh pelayan pribadinya di belakang, wanita itu seperti biasa memasang wajah bosan, kontras besar dengan Athelina yang tersenyum lebar.
Semakin lebar saat yang membuka pintu adalah George yang diikuti oleh sang putri di belakang
"Bolehkah aku masuk?"