Trompet pertempuran ditiup di kejauhan, berbunyi menyampaikan bahaya kepada semua orang yang mendengarkan, termasuk Darius yang akhirnya sudah menerima kabar dari para pengintai yang dia kirim.
Tentu saja, tidak semuanya kembali, dan mereka yang berhasil kembali memiliki ketakutan tersendiri yang sudah mereka ceritakan secara jelas di depan Darius, sesuatu yang menghentikannya menemani sang istri menemu si Badai.
Mereka berbicara tentang makhluk-makhluk besar yang tinggi dan tentara-tentara iblis dengan perlengkapan yang bersinar, diimbuhi semacam sihir mahal bila Darius harus menebak dari tulisan-tulisan pagan yang diukir ke perlengkapan mereka sesuai gambaran para pengintai.
Dan terakhir, mereka menggambarkan sumber dari ini semua, sebuah gereja kecil di barat laut kerajaan Darius yang hampir berbatasan dengan Yidia dan Yudia.
Dia sendiri tidak mendengar kabar apa pun dari adik-adiknya yang ada di kedua tempat itu, meskipun memperhitungkan jarak antara mereka, hampir mustahil dia tidak mendengar apa pun jika saja hal yang sama terjadi di sana.
Dari sana, Darius menebak bahwa kejadian ini terisolasi, hanya menginginkan kerajaannya sendiri, jelas sekali tampak dari penyebaran mereka yang berusaha menginfeksi seluruh tanah kekuasaannya.
Apakah ini ada hubungannya dengan simbol-simbol itu ...? Dirinya bertanya dalam kepala, tidak bisa menghapus kemungkinan itu melihat bagaimana orang-orang yang datang menawarkan diri untuk membersihkan semua masalah ini datang sebab hal yang sama.
Semakin dia pikir masalah kemungkinan itu, semakin masuk akal di dalam pikirannya, membuat dia lekas berdiri dari kursinya setelah selesai menggambarkan jalur terbaik bagi sang Badai dan komplotannya.
Kakinya melangkah cepat, melewati semua rak buku dan hiasan lainnya dalam ruang kerjanya untuk membuka pintu dan, "Ah!" Menemukan istrinya di sana.
"Athelina ...."
"Darius."
"Aku baru saja akan memanggilmu untuk makan malam."
"Sudah selarut itu, huh?"
"Tidak, tapi aku punya banyak hal untuk diceritakan!"
"Begitukah?" Darius tersenyum pada sang istri, "Kalau begitu." Sebelum akhirnya setuju untuk memindahkan percakapan mereka ke meja makan, "Mari."
Di sana, meja panjang mereka terisi penuh dengan berbagai jenis makanan, sesuatu yang jelas sekali mustahil mereka habiskan.
Keduanya bahkan tidak benar-benar makan, Darius sibuk mendengarkan istrinya yang sibuk menceritakan tentang sang Badai dan eksploitasinya.
Benar memang bahwa Darius seharusnya tahu lebih banyak daripada istrinya, tapi mendengarkan sang istri mengulang kembali apa yang si Badai katakan tentang perjalanannya adalah hal yang menghibur.
Melihat bagaimana sang Badai menceritakan eksploitasinya dari sudut pandangnya sebagai sesuatu yang membawa bahagia dan menyenangkan bagi semua partisipan.
Lalu, topik mereka bergerak ke arah yang lebih personal, "Ternyata Robin adalah istri tuan Mayn." Dengan sang istri yang mulai memberikan Darius informasi yang tidak dia tahu sebelumnya.
Darius tersedak tidak percaya, gadis itu tampak terlalu muda untuk menikahi si Badai. Mereka terlalu berbeda, dengan salah satunya terlalu besar sementara yang lain terlalu kecil.
"Benarkah?"
Sang istri mengangguk menjawab Darius yang akhirnya berhasil menyelamatkan nyawanya dan menelan makanan yang tersangkut di tenggorokan.
Melihat itu, sang istri terus melanjutkan, menceritakan hal yang lebih personal lagi tentang George dan kawan-kawan hingga malam menua, dan hari berganti menjadi pagi yang lebih indah.
Mengawali pagi, Robin oleh suara ketukan pintu. Menjawabnya menunjukkan seorang prajurit yang mengantarkan sepucuk surat dengan segel kerajaan.
Merasa bahwa surat itu penting, Robin memanggil kawan-kawannya yang lain sebelum dia membukanya, sebuah niat yang cukup sulit untuk Robin wujudkan.
"Quinn!" Sebab si pendek yang tidur di lantai tiga tidak ada niat untuk bangun hari ini, sudah dilelahkan oleh proyek yang harus dia paksa selesai dini hari tadi.
Si raksasa sendiri punya masalah berbeda, "George!" Dia sudah tidak ada di kamarnya saat Robin mengetuk.
Membuat Robin bergidik saat George muncul di belakang dengan Lucy di sampingnya, "Apa?" Tanya si pria dengan senyum lebar di wajah.
"Aku kira kalian masih tidur!"
"Kau tidak bisa menjadi seorang pria sejati tanpa bangun pagi, teman kecil."
"Tentu saja."
"Jadi?"
"Ini." Robin menunjukkan surat resmi itu kepada George yang mengambilnya, "Bisakah kalian membangunkan Quinn untukku?" Tidak memperhatikan Robin yang sedang memalsukan lelah, "Aku juga ingin mandi." Gagal melihat George yang sibuk membuka surat itu.
"Kita akan berangkat hari ini."
"... apa?" Robin mengangkat matanya, "Apa yang sedang kau lakukan!?" Menangkap wujud George yang sudah membaca isi surat itu.
"Membacanya." George menjawab, membiarkan Robin menggapai dan menarik kembali surat itu dari tangannya.
"Kita harus menunggu Quinn!"
"Tidak perlu!" Membantah protes Robin, "Ah, tidak disangka ternyata raja negara ini baik juga." Adalah Quinn yang sudah bersih dan berpakaian, "Menyuruh kita menunggu untuk menemukan rute terbaik, huh? Padahal aku bisa melakukannya sendiri." Bangun dan pergi membersihkan diri cepat setelah Robin meninggalkannya sendiri dan George keluar dari kamar mandi.
"Qu ... Quinn?"
"Satu-satunya, Robin sayang!" Quinn menjawab bingung Robin.
"Ta ... tapi ...."
Menenangkan si pemuda dengan caranya sendiri, "Hush, hush, hush." Quinn menjanjikan kebahagiaan jika Robin cepat bergerak sesuai perintahnya, "Mandilah. Biarkan raksasa ini berpakaian, dan kita akan berangkat menuju kesenangan!"
Sebuah argumen yang Robin ingin bantah untuk ke sekian kalinya hari ini, tapi melihat semua kelompok grupnya yang lain tampak setuju, Robin menyingkir dan mandi.
Saat dia sudah selesai melakukan rutinitas paginya, dirinya disambut oleh tiga orang yang sudah menunggunya di luar.
George yang telanjang dada dengan Lucy yang dia gendong mengenakan pakaian mahal seperti biasa, serta Quinn yang tidak mengubah setelannya.
"Kau yakin akan berpakaian seperti itu?" George bertanya dengan senyum lebar.
Membuat Robin memperhatikan setelan lamanya yang sebelumnya sudah dia pakai berminggu-minggu, "Iya ...?" Dan membalas dengan sedikit ragu.
George menggelengkan kepalanya, "Tunjukkan padanya, Quinn." Dan memberikan perintah.
"Tentu saja, Bos!" Sesuatu yang dijawab Quinn dengan menggerakkan tangannya, seakan sedang memainkan boneka kayu dengan benang-benang yang tidak kentara.
Benar saja, boneka-boneka kayu yang dikendalikan Quinn perlahan memasuki pandangan. Mereka adalah satu set zirah penuh bermotif flora ditemani oleh sebuah perisai yang memiliki simbol yang sama persis dengan simbol di tangan Robin.
Setiap dari mereka tersusun dengan lembut di bawah kaki Robin yang hanya bisa menonton dengan jutaan pertanyaan di kepala yang dia sampaikan melalui matanya yang kini menatap secara bergantian antara George dan Quinn.
Saat dia melihat George, "Bagaimana?" Pria itu hanya tersenyum dan bertanya.
Quinn memiliki reaksi yang hampir sama, "Berterima kasihlah!" Tersenyum arogan tapi melemparkan pernyataan dan bukan pertanyaan, "Aku bekerja semalaman untuk semua ini, homo!"
"Aku bukan homo!"
"Belum."
Menghentikan perdebatan mereka, "Kemarilah." George menurunkan Lucy, "Aku akan membantumu mengenakannya." Dan berjalan mendekati Robin yang akhirnya setuju.
Tidak lama, Robin sudah dibungkus zirah barunya. Tertutup di semua bagian dengan rasa panas dari musim panas yang tidak begitu nikmat dia rasa.
"Luar biasa ...." Dia bergumam, memperhatikan penampilannya sendiri yang kini hanya kekurangan pedang.
"Sayangnya, aku tidak bisa menyelesaikan pedangnya tepat waktu." Sesuatu yang dijelaskan oleh Quinn seakan si pendek bisa membaca pikirannya.
Tentu saja, kekurangan pedang bukanlah sebuah masalah besar bagi Robin yang juga tidak benar-benar tahu cara menggunakan mereka untuk bertempur.
Meski begitu, "Tapi bagaimana ...?" Dia tetap harus bertanya pada Quinn tentang keajaiban ini. Zirah yang sekarang dia pakai memang pas untuk tubuhnya, sesuai tanpa ada sedikit pun rasa tidak nyaman.
"Bagaimana apanya?" Quinn bertanya memastikan.
"Bagaimana kau bisa tahu ...."
"Oh, ukuran badanmu?" Quinn menyelesaikan kalimat Robin yang mengangguk, "Iya, bagaimana?"
"Ingat kamar mandi?"
"Ka ...." Robin terdiam, mengingat kembali adegan memalukan yang membuatnya ketakutan setengah mati itu kemarin, "Itu ... nyata?" Dia mengganti pertanyaannya.
"Hohoho!" Quinn tertawa, "Tentu saja!" Menjawab dengan bangga.
Alis Robin menyatu, "Jadi itu alasanmu ...."
"Benar!" Quinn memotongnya lagi, "Apa? Kau pikir aku ingin memperkosamu? Aku homo, kau tahu." Lalu melemparkan pertanyaan yang mengungkapkan semua isi pikiran Robin.
Ingin menyembunyikan malu, "Kau bisa bertanya langsung padaku!" Robin berteriak protes.
"Apa serunya itu!?" Quinn membantah, "Dan lagi." Melanjutkan penjelasannya, "Kau akan bertanya dan bisa menebak bahwa kami sedang membuat sesuatu untukmu." Membela diri dari segala tuduhan bersalah.
Robin mengepalkan tangan kanannya yang tidak memegang perisai, masih ingin membantah Quinn yang merasa sudah bebas dari dosa, tapi tidak tahu harus mengatakan apa.
Mengisi sunyi itu, "Kalau kita tidak pergi sekarang." George mengingatkan, "Kau akan dibakar siang di dalam zirahmu, teman kecil."
"Ah." Mengatakan kalimat benar yang membuat Robin akhirnya tenang.
Melihat bahwa tidak ada lagi bantahan, "Ayo." George berjalan keluar sembari menggendong putrinya, diikuti oleh dua orang lain yang masih agak canggung berdampingan.
Kota pertama tujuan mereka tidak begitu jauh, hanya dibatasi Dua kota kecil dari ibu kota. Diperhitungkan, mereka hanya perlu berjalan hingga siang berbatasan dengan sore sebelum keempatnya mencapai gerbang Neraka.
Satu perjalanan pendek bagi George yang penuh tenaga dan Lucy yang digendongnya, tapi bagi Robin dan Quinn, perjalanan mereka sekarang adalah salah satu hal paling membosankan dan melelahkan yang pernah mereka rasa.
Terutama bagi Quinn yang sedari tadi diabaikan oleh Robin yang hanya memulai pembicaraan dengan George dan anaknya, sesuatu yang Quinn sempat ingin lakukan juga, sampai dia ingat bahwa keduanya tidak benar-benar enak untuk digoda.
Tidak ingin menderita sebelum mereka sampai ke Neraka, "Ayolah, Robin." Quinn mencoba untuk mendapatkan hati Robin kembali, "Maafkan aku."
Sayangnya, Robin tidak membalas, hanya mengabaikan Quinn yang terus mengatakan hal yang sama, sesekali menjanjikan hal bodoh kepada lawan bicaranya.
Hal itu terus berlanjut hingga George menghentikan langkahnya, "Hei!" Membuat Quinn yang tidak memperhatikan ke depan menabrak tubuh si pria.
Melihat si raksasa tidak merespons, Quinn mengikuti arah mata si pria yang sudah mengubah ekspresi terkejutnya menjadi senyum yang luar biasa lebar.
Di depan mereka, yang menjadi target mata semua adalah barisan ribuan iblis dengan perlengkapan yang diimbuhi sihir tua, sebuah sihir yang Quinn tahu betul tidak bisa diciptakan manusia.
Tidak berasal dari bumi yang sekarang dipijak mereka semua, tentara yang jelas sekali keluar dari gerbang Neraka itu berdiri dengan teratur dan disiplin, memegang senjata dan perisai mereka rapat penuh percaya pada zirah yang menutupi tubuh menjijikkan mereka yang memiliki berbagai bentuk.
Ada yang tinggi dan pendek, ada dari mereka yang bersama dan yang lain merayap. Beberapa memiliki lebih dari sepasang tangan, sementara yang lain tidak memiliki tangan sama sekali.
Semuanya unik, tapi Quinn tahu alasan George tersenyum begitu lebar bukanlah mereka semua. Pria yang seluruh benua kenal sebagai pencari kematian itu sedang menatap iblis yang Quinn tebak merupakan pemimpin mereka semua.
Bertubuh tinggi dengan kulit berwarna merah, sang iblis berdiri kentara di antara semua tentaranya. Otot-otot jelas ada di tubuh si iblis merah, tidak sebesar milik sang raksasa, tapi Quinn ragu juga sang iblis lebih lemah dari pria terkuat di tim mereka.
Lagi pula, Quinn tahu betul bahwa tanduk besar di Neraka diasosiasikan dengan kekuatan sang pemiliknya, dan musuh mereka itu memiliki tanduk yang pangkalnya sama besar dengan lengan atas George yang mengambil satu langkah maju setelah menurunkan Lucy.
Memulai pertempuran mereka.