"Pekerjaan sampingan, eh?" Athelina berpikir sejenak, tidak tahu apakah istana masih punya tempat untuk dua tangan tambahan. Lagi pula, ini tidak ada dalam rencana kegiatannya sama sekali.
Bertemu dengan Robin dan Lucy di pasar adalah sebuah kejutan, lebih mengejutkan lagi saat mereka mengatakan apa tujuan mereka berada di sana.
Sebuah tujuan yang Athelina ingin bantu penuhi, "Apakah ada posisi yang kosong di istana hari ini, Eleanor?"
Sayangnya, "Saya rasa tidak." Dia tidak bisa.
"Ah ...."
Namun keinginannya untuk menyampaikan berita buruk itu cepat dihentikan oleh Robin yang membisikkan semuanya ke telinga sang ratu, memberitahu kondisi mereka dalam usaha untuk membuat si wanita iba.
Benar saja, saat Athelina menatap ke arah Lucy yang memantulkan api harapan kecil di matanya, "Ahaha! Diingat lagi, rasanya ada." Athelina hanya bisa menyerah.
Eleanor membuka mulutnya, "A ...." Ingin membantah, "Iya 'kan, Eleanor?" tapi orang yang dilayaninya memotong sembari memandangnya dengan senyuman minta tolong.
Si pelayan mengernyitkan alisnya, tidak percaya nyonyanya menyeret dia ke dalam hal bodoh menyusahkan lain yang tidak pernah dia setujui sejak awal.
Setelah membuang napas berat, dia juga ikut kalah.
Pikirannya berjalan, "... iya. Sebagai ...." Mencari hal untuk dikatakan, "... pengangkut barang belanjaan Anda hari ini ...." Mengkhayal dan menyebutkan hal lain yang tidak ada dalam rencana kegiatan mereka hari ini.
Sesuatu yang membuat mata Lucy bersinar terang, "Kami akan melakukannya!" Berteriak semangat setelah mengalami begitu banyak penolakan pagi ini.
Athelina tertawa dengan canggung pada semangat Lucy, cepat mengubah topik dengan menonton mereka kembali ke istana tempat pekerjaan ini akan berlangsung.
Tentu saja, Athelina tidak benar-benar punya niat membuat Lucy bekerja, dia bahkan ingin memberikan uang itu begitu saja. Namun, penjelasan Robin sebelumnya membuat Athelina menahan dirinya sendiri dan menunjukkan kepada Lucy pekerjaan pertamanya.
Menyerahkan lap bersih kepada Lucy, "Bisakah kau membersihkan ini, Lucy?" Athelina menunjuk salah satu jendela yang sengaja dia suruh seseorang untuk kotorkan sebelum mereka tiba.
Lucy melihat lap di tangannya dan jendela yang ditunjuk oleh Athelina. Berhasil paham, Lucy mengangguk dan mulai bergerak untuk menyelesaikan misinya.
Paling tidak, begitulah maunya.
Robin menelan kalimatnya, "Uh ...." Melihat Lucy berjinjit untuk mencapai noda yang sampai sekarang belum bisa dia capai juga.
Berbeda dengan Robin, "Haruskah aku membantunya?" Eleanor memiliki reaksi berbeda, tidak ingin berada di sini lebih lama menatap Lucy dengan menyedihkannya gagal menyelesaikan pekerjaan paling sederhana.
Anak gadis itu sedang berkaca-kaca.
Kalau Lucy tidak bisa Papa tidak akan pulang .... Sibuk dihantui kebohongan dalam pikirannya sendiri. Dia melompat kecil, hanya mencapai sedikit noda itu dengan sebagian besarnya masih tersisa.
Lagi dan lagi, usahanya sia-sia.
Tidak sanggup lagi melihat si anak gadis melakukan hal yang sama berulang kali, "... Bagaimana dengan pekerjaan lain, Lucy?" Athelina menawarkan pekerjaan berbeda.
Tawaran yang berusaha ditolak Lucy, "Tapi ini ...!"
"Tidak apa." Hanya untuk dipotong lembut oleh Athelina yang menenangkan, "Eleanor yang akan menyelesaikannya. Aku baru ingat ada pekerjaan yang lebih mahal lagi untukmu."
Lucy terdiam bingung, "Itu artinya Lucy bisa membeli hadiah yang lebih bagus untuk Papa setelah selesai." Hanya menyala bersemangat setelah Robin menjelaskan dengan bahasa yang lebih sederhana.
Sudah rela, Lucy menyerahkan kain di tangannya ke Eleanor yang berdecak, "Kami akan menunggumu di taman, Eleanor." Dan ditinggalkan oleh mereka bertiga.
Tidak perlu waktu begitu lama bagi ketiganya untuk mencapai taman tempat mereka menaruh beberapa hewan peliharaan. Salah satunya adalah burung hias di dalam sangkar emas yang menggantung di hadapan mereka bertiga.
Lucy memandangi burung itu dekat, membayangkan rasa sang burung jika dia makan sekarang.
Tentu saja, "Kau menyukainya, Lucy?" Athelina yang tidak bisa membaca pikiran salah sangka, "Nama dia Alfa." Berpikir bahwa Lucy tertarik pada salah satu peliharaan istana, "Semua yang perlu kau lakukan adalah memberinya makan dan ...." Seekor burung langka yang baru saja terbang lepas dari sangkarnya.
Athelina mengedipkan mata beberapa kali, baru saja selesai memberikan beberapa butir gandum itu kepada sang anak gadis, dan belum selesai menjelaskan saat Lucy sudah membuka sangkar itu untuk memasukkan gandum di tangan ke tempat makan di dalam.
Berbeda dengan tiga orang lain yang membatu oleh alasan yang berbeda-beda, "Akhirnya." Eleanor datang dan berhenti sembari memandangi arah burung langka itu terbang, "Dia bebas juga."
Robin memandangi Lucy yang sudah memasang air muka bersalah, "Ma ...." Berusaha meminta maaf mewakili si gadis muda.
Akan tetapi, "Tidak apa!" Sang ratu memotongnya, "Tidak apa, tidak apa." Sudah menemukan cara untuk membujuk Darius merelakan salah satu hewan kesayangannya itu.
"Tapi ...."
"Bagaimana kalau pekerjaan lain?" Athelina mengabaikan Robin, "Kami masih punya banyak." Berbohong lebih jauh untuk memberikan lebih banyak kesempatan lagi bagi Lucy.
Kesempatan yang terus disia-siakan si gadis muda secara tidak sengaja, membuat hari pertamanya dan Robin bekerja sampingan di istana berakhir secara negatif, dengan kerugian di bagian istana yang harus ditanggung oleh sang raja.
Sang raja yang sekarang sedang kebingungan. Dia menatap istrinya yang hanya sekadar tersenyum, kemudian berusaha membaca ekspresi Eleanor yang netral, lalu matanya beralih kepada dua tamu tidak diundang yang ternyata membuat istrinya harus mengubah rencananya hari ini secara total.
"Jadi ...." Benar memang sang istri sudah menjelaskan di awal, "... mereka akan bekerja di sini untuk sementara waktu?" Tapi Darius tetap harus memastikan.
Athelina mengangguk dengan senyuman.
"Huh ....�� Dia menatap keduanya bergantian, "Dan burungku ...." Berusaha paham.
"Lepas." Mengerti setiap detail kejadian yang sekarang sudah tiga kali diulang dengan hanya salah satu dari mereka yang peduli pada keputusan Darius tentang ini semua.
Cuma orang yang istrinya ceritakan sebagai istri sang Badai yang tampak khawatir, anak yang semua orang tahu merupakan anak pria besar itu sudah sibuk menghabiskan makanan di meja.
Sang raja tahu betul bahwa ini adalah ide paling bodoh yang istrinya katakan sampai saat ini. Mempekerjakan dua orang ini tidak akan memberikan apa pun kepada mereka.
Namun di saat yang sama, "Aku mengerti ...." Dia juga tidak bisa menolak permintaan sang istri yang hanya bodoh dan sederhana tanpa ancaman yang besar untuk keuangan mereka berdua.
Seperti biasa, sang istri merayakan kemenangannya dengan Darius tersenyum lelah memandangi dua orang yang juga tampak merayakan dalam hati ketidakmampuannya untuk melawan.
Persetujuan Darius mengunci hal yang akan mereka lakukan selama beberapa hari ke depan, sembari menunggu George pulang ke rumah dari misinya.
Pria itu tidak bisa tidur, tidak pula dia makan sepanjang perjalanan.
Membuat Quinn khawatir, "Kita masih bisa kembali dan menjemputnya kalau kau mau, George." Dan melemparkan ide, "Tidak!" Yang cepat George tolak.
Pria perkasa itu memandangi satu-satunya alasan mereka berhenti dengan tidak sabar, jelas sekali meminta sang wanita pendek untuk mempercepat gerakannya dan merapikan semua perlengkapan kemah mereka yang berdiri untuk mengantisipasi hujan.
Awan gelap di atas kepala mengikuti George, menunjukkan dengan jelas bagi semua orang yang tahu kekuatan si pria bahwa sang raksasa sedang marah.
Termasuk Quinn yang akhirnya hanya mengangkat bahunya, membereskan semua hal yang dia keluarkan kemarin dengan sedikit sihir yang mengecilkan dan meringankan mereka untuk kembali masuk ke dalam kantung celananya.
Sudah satu hari lebih mereka berjalan bersama, dan George tidak pernah tersenyum sepanjang perjalanan ini. Matanya selalu melihat ke belakang diisi rasa bersalah, kadang mengkhayal dan mengizinkan Quinn untuk menginspeksinya lebih dekat.
Inspeksi yang sayangnya tidak menghasilkan begitu banyak informasi baru kecuali fakta bahwa sekarang Quinn tahu hampir semua legenda tentang si pria benar.
Talon naga, lukisan luka dari pedang di lengan, bekas belahan di leher yang hampir terpisah dengan badan, dan banyak lainnya. Setiap dari mereka diceritakan kepada hampir semua anak di benua, menakuti mereka untuk tidak keluar saat malam sudah tiba.
Siapa yang akan menyangka legenda itu benar sampai ke detail bahwa dia menyukai anak-anak? Quinn bertanya dalam kepala, tidak tahu harus mengatakan apa kepada si pria yang masih memimpin perjalanan mereka ke kota nomor dua.
Satu tempat sepi yang diselimuti kabut kelam tanpa penghuni. Mencium baunya, Quinn tidak merasakan ada yang janggal di udara, dan itulah masalahnya.
"George." Dia memanggil si raksasa yang tidak bergerak atau merespons, "Aku rasa ada yang ...." Membuatnya melayang ke depan untuk menemukan pria itu tertidur, "... salah."
Mata Quinn membulat, dia merapal mantra di dalam hatinya, menggerakkan tangan ke bawah untuk memaksa angin meniup pergi kabut yang mengelilingi mereka.
Melihat kabut itu berusaha kembali mengisi ruang kosong yang kini diisi oleh Quinn dan George, sang penyihir merapal mantra lain.
Tangannya bergerak membentuk pelindung melingkar penuh yang juga menutupi tanah di bawah mereka untuk mencegah racun berupa gas itu masuk lewat mana pun.
Dia memperhatikan sekitarnya baik-baik, bersyukur karena kekebalannya terhadap racun dan bisa membuatnya tidak bernasib sama seperti George yang sekarang kesadarannya entah berada di mana.
Tunjukkan dirimu .... Quinn berbisik di dalam hati, tahu betul bahwa mereka tidak bisa bertahan seperti ini selamanya. Oksigen akan habis dan mereka akan, "... mati."
Quinn menemukan pelakunya. Seorang wanita dengan gaun kuning panjang yang dia seret di tanah kota, melewati kabut yang Quinn tebak mematikan.
Memicingkan mata, Quinn berusaha menebak identitas lawannya. Wanita itu tampak seperti manusia, tidak memiliki tanduk sebagaimana iblis biasanya.
Tetap saja, bentuk tubuh sang wanita tidaklah manusiawi. Badan yang kurus itu hanyalah tulang yang ditutupi kulit, tidak berdaging atau berisi seperti manusia biasa.
Berusaha menebak identitas lawannya lebih jauh, "Mati? Bersabarlah, sobat. Pembunuhmu sedang tidur." Quinn memulai percakapan dengan senyum yang ada untuk menyembunyikan khawatirnya, "Dia belum tidur selama beberapa hari terakhir."
Mendengarkan ancaman Quinn, "Tidak, tidak." Sang wanita mengoreksi, "Kalian yang akan mati."
"Bagaimana mungkin?" Tidak ingin disudutkan, "Kami berada di dalam bola yang kabutmu tidak bisa tembus."
Cukup cerdas untuk tahu hal yang sama dengan Quinn, "Racunku tidak perlu melakukannya." Sang wanita tidak termakan kebohongan si penyihir.
Lidah Quinn berdecak. Tidak bisa lagi menipu lawan bicaranya, Quinn dipaksa mencoba sesuatu yang lebih konvensional.
Jari telunjuknya menyentuh penghalang ciptaannya, menunjuk kabut hijau tua di luar, dan merapal mantra lainnya. Api ditembakkan jari telunjuknya, membakar kabut beracun itu seperti tebakannya.
Sudah melakukan itu, Quinn memperhatikan reaksi lawan bicaranya.
Wanita itu tersenyum, melihat api menjalar ke dirinya dan membakar setiap sudut tubuhnya. Meski begitu, sang wanita tidak berteriak kesakitan, tidak pula kehilangan senyuman.
Terus menerus wanita itu menatap Quinn yang sedang melihatnya berubah ke wujud aslinya, jauh berbeda dengan George yang menyaksikan salah satu saat paling indah dalam hidupnya.