Wanita yang terbakar itu membiarkan kulitnya menghitam, rambutnya terbakar habis, dan kain yang dia pakai meleleh ke kulitnya, masih kuning juga.
"George ...." Quinn menyebut nama teman perjalanannya yang berada di tempat berbeda. Pria itu berada di masa lalu, menonton dirinya sendiri menemani anaknya.
"George!" Tidak ada yang bisa mengalihkan George dari pemandangan dalam pikirannya itu, sebuah masa lebih indah yang lebih dia cinta.
Hal itu memaksa Quinn untuk melompat keluar dari perlindungan lingkaran magisnya untuk menghadapi langsung sang iblis yang kini sudah selesai berubah.
Dia merapal mantra, bola api menembak dari mulutnya yang terbuka. Benda itu melesat menyala, menabrak kabut yang terbakar dan membelah, musuhnya menghilang.
Merasakan panas api ciptaannya sendiri, Quinn tahu dia tidak bisa bertahan begitu lama di sini. Melihat itu, Quinn mempercepat keputusannya.
Dia memanggil angin untuk menarik semua api buatannya, menciptakan tornado panas yang dia paksa terpusat dan terus dia kendalikan secara telepati di kepala.
Sudah dua mantra yang harus dia jaga konsentrasinya, satu melindungi si raksasa dari racun yang mulai mempengaruhinya, dan yang lain adalah untuk menghisap semua racun itu di tornado buatannya.
Quinn mencari sekelilingnya untuk si wanita yang menghilang, menemukan wanita itu tepat di depan matanya saat dia berbalik ke belakang.
Tubuhnya mundur karena insting dari si wanita yang memajukan tangannya, berusaha menyentuh wajah Quinn yang ketakutan dalam ketidaktahuannya.
Cepat, dia membangun mantra yang sama dengan yang melindungi George untuk dirinya, tapi terlambat. Si wanita berhasil menyentuh tangannya yang berusaha menghalangi tangan si wanita dari menyentuh wajahnya.
Quinn yang sudah terinfeksi oleh semua penyakit di dunia, mendapati segala macam racun dan bisa, untuk pertama kalinya dalam seluruh hidupnya sejak hari itu berhasil sakit.
Punggung tangannya yang disentuh oleh sang wanita yang masih saja tersenyum ramah itu melepuh, seperti terkena penyakit kulit menjijikkan yang dia sendiri kesulitan obati hingga semua bekas luka itu tidak ada lagi.
Ditambah lagi, sentuhan si wanita jelas sekali membuatnya semakin lemah. Napasnya berat, racun jenis ini jelas sekali belum pernah dihadapi tubuhnya sebelumnya.
Dia berusaha mengendalikan napasnya, membuang semua racun di dalam dengan kontrol dan manipulasi unsur-unsur dalam tubuhnya menggunakan sihir.
Akan tetapi, musuhnya tidak membiarkan. Wanita itu mengendalikan kabut racunnya untuk melilit Quinn, menaruh tekanan besar seakan mereka padat kepada penghalang magis tak kasat matanya.
Melawan, Quinn meledakkan energi magis dengan dirinya sebagai pusatnya, tapi hal itu memaksa dia melepaskan fokus dari tubuhnya yang terus melemah.
Pandangannya mulai buram, dan dia hanya ada beberapa tebakan tentang kekuatan dan kemampuan dari lawannya yang sampai sekarang masih mendominasi dirinya.
Mengambil kesimpulan paling sederhana, Quinn menggerakkan tornado yang sedari tadi ada dalam kontrolnya, menambah kekuatan magis ke dalam angin yang terus dia perbesar dan bawa putar berkeliling.
Sebentar saja, kota kosong itu kehilangan asap hijau tua yang menutupinya, membiarkan Quinn melihat jelas setiap sudut dan menemukan apa yang dia cari.
Dirinya menangkap asap itu kembali menyebar dari salah satu gang kota kecil itu, bersembunyi dibalik rumah-rumah yang penuh mayat pemiliknya.
Quinn tersenyum, "Ketemu." Fokusnya mengarah ke titik itu, dan dia merapal mantra yang lain. Mantra yang sama yang dia gunakan untuk membekukan air di bak mandi kala itu, tapi lebih kuat lagi.
Asap-asap itu melambat, mencair, lalu memadat. Merasakan rencananya berhasil, Quinn tersenyum lebar. Dia berpindah secara instan ke tempat sang iblis.
"Sudah aku bilang, kau harus menunggu, temanku." Quinn menghina, "Dia belum tidur sebelum beberapa hari." Mengisyaratkan ke arah George yang sedikit tampak di gang sempit itu.
Sayangnya, Quinn gagal menebak bahwa sang iblis, makhluk dari Neraka, bisa memanaskan dirinya sendiri. Pelan, sang asap mencair, lalu kembali berubah menjadi gas, lepas dan sekali lagi menyelimuti seluruh kota.
"A ...!" Quinn yang membuka mulutnya tidak bisa mengatakan apa-apa. Kabut itu bergerak menginvasi organ dalamnya, mencari cara paling pelan dan menyakitkan untuk membunuh sang penyihir yang melawan sekuat tenaga.
Dia menggunakan hampir semua energi yang dia punya untuk mendorong balik invasi kabut asing itu ke seluruh tubuhnya, menggunakan penghalang demi penghalang untuk menggagalkan asap itu dari menjilat tubuhnya lagi, sembari menata ke arah George yang sedang bermimpi tentang hari itu.
Hari di mana Lucy memintanya untuk membawa dia ke puncak pegunungan tertinggi di benua demi melihat naga legendaris yang dikatakan berdiam di sana.
Tidak ingin menolak permintaan sang putri, George tentu saja mendaki dengan sang putri di dekapannya hampir setiap saat agar anak semata wayangnya tidak kedinginan.
Setelah pendakian yang lama dan melelahkan bagi banyak orang, George dan Lucy mencapai puncak pegunungan yang ditutupi salju itu dengan sedikit kekecewaan.
Naga yang mereka cari tidak ada, hanya ada pemandangan indah perkotaan di bawah dengan kabut agak tebal yang membuat mereka tampak seakan berada di atas awan.
Tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini, George mengubah rencananya menjadi memasak sup daging dengan perlengkapan yang dia bawa saja.
Namun, kepak sayap besar cepat menghentikan George dari menyiapkan apinya agak jauh dari sang putri yang masih ingin memandangi pemandangan kota di bawah.
Seekor naga raksasa dengan sisik putih yang berkilau biru muda turun dari angkasa, siap untuk memangsa putrinya sembari membelah kabut yang mengeliling mereka.
George melakukan hal yang sama. Tubuhnya bergerak, kabut itu terbelah. Quinn membalikkan matanya. Penghalangnya yang melindungi George pecah, dan pria itu tidak lagi ada di sana.
Sang raksasa kini sedang meninju tiada, memeluk putri yang dia tinggalkan di rumah, dengan sang naga menghindari tinjunya yang memasang senyum arogan menantang sang naga yang sama angkuhnya.
Satu-satunya yang membedakan sang naga dari George adalah fakta bahwa naga itu lebih pintar daripada si pria yang tidak menghindari serangan sang naga, mengangkat lengannya untuk menghadapi talon naga itu tanpa takut di matanya yang masih tertutup.
Melihat lawannya tidak bereaksi, sang naga bergeser ke arah yang berbeda, menghindari tinju George yang melompat ke udara untuk mencapainya.
Tidak terima, George bergerak mengikuti sang naga, kini semakin dekat dengan Quinn dan sang iblis wanita yang perlahan kembali Quinn bekukan di tempat.
Dia memanjatkan dua doa kepada para Dewa dan Dewi di Surga yang jelas sekali membenci dirinya dari nasibnya sejauh ini.
Yang pertama, dia berharap agar George cepat tersadar dari pertarungan khayalan itu untuk membantunya yang sedang kewalahan menghadapi sang iblis sendirian.
Sesuatu yang tidak akan terjadi secepat yang dia pikirkan. George masih berdansa bersama sang naga dengan putrinya yang dia gendong erat agar tidak hilang di antara salju.
Naga legendaris itu terus menghindari setiap tinju George, mencakar lengan dan punggung si pria sembari sesekali mencoba mencabik alat gerak George lepas dari tubuhnya.
Semua usaha yang gagal menyakiti si pria dengan putrinya di pelukan.
"Hanya itu, huh?" George mengigau dalam tidurnya, menatap sang naga di mimpi tanpa takut di wajah. Akhirnya terhina, sang naga itu menyerang dengan brutalnya, memaksa George untuk menggunakan seluruh tubuhnya demi melindungi sang putri.
Sebuah gerakan yang mengizinkan kuku tajam musuhnya tersangkut pada kalung kesayangannya, mencabut benda pemberian adik kandungnya dari lehernya.
Kalung dengan mainan itu terlempar entah ke mana. Menghapus senyum George dari wajahnya yang kini ditutupi bayangan kematian untuk sang musuh.
Dan yang kedua, adalah sesuatu yang terjadi setelahnya.
George melakukan serangan bertubi-tubi, terus menerus mengejar dan menyakiti sang naga yang tidak lagi melihat kesempatan untuk lari itu hingga, "Akhirnya!" Quinn bisa kembali berbicara.
George meninju pecah tubuh sang wanita iblis yang sudah Quinn bekukan, mengejutkan sang iblis yang tidak lagi memperhatikan George yang dia anggap bukanlah ancaman.
Melihat pecahan-pecahan itu, Quinn sayangnya tidak memiliki banyak ide di kepala kecuali, "Luar biasa!" Memakannya. Setiap serpihan yang dia temukan, kecil atau besar, dia kunyah dan masukkan ke dalam perutnya untuk diproses oleh tubuhnya.
Sudah selesai memasukkan bahan asing lainnya ke tubuhnya, "Sekarang." Quinn menepuk pundak George yang belum juga bergerak, "Mari pulang." Mengambil langkah meninggalkan si pria yang masih tertidur.
"Halo?" Sadar bahwa sang pria tidak mengikutinya, "Semesta ke Menara." Quinn berbalik dan menatap si pria dengan heran, "George?" Menyentuh tubuh pria itu untuk memastikan dia baik-baik saja.
Dan setelah pengamatan singkat. Sang pria memang baik-baik saja. Bernapas normal tanpa ada masalah. Namun di saat yang sama, pria itu juga tidak merespons berbagai macam sensasi.
Panas dari jari telunjuk Quinn, dingin yang datang dari tangan si penyihir, bahkan teriakan keras tepat ke gendang telinga. Pria itu tetap menutup matanya, tertidur, mendengkur, dan membeku di posisi yang sama.
Pria masih memimpikan kejadian setelahnya, dengan tubuh sang naga terbaring di puncak gunung, putrinya memakan daging sang naga yang lembut ternyata.
Dia sendiri sibuk berkeliling mencari kalungnya yang dihilangkan sang naga. Membongkar kiri dan kanan untuk menemukan benda kesayangan yang sudah membantunya untuk melewati saat-saat paling gelap hidupnya.
Sayangnya, dia tidak menemukan kalung itu tidak peduli seberapa keras dia mencari. Sup daging buatannya tidak lagi dimakan sang anak kesayangannya yang sekarang menonton George bekerja dengan khawatir.
Langit memerah, dan udara semakin sulit untuk dihirup di atas sana.
Semua hal itu memberitahu pada George bahwa sudah saatnya dia menyerah menemukan hadiah adiknya yang hilang sebab serangan sang naga.
Membuang napas lelah, George menghampiri putrinya yang memanjangkan tangan, melompat ke pelukan George yang menggendongnya untuk turun.
Lucy terus memeluk ayahnya sepanjang perjalanan, tidak merasakan dingin yang diterima si pria yang sesekali menatap lagi ke belakang, berpikir untuk kembali lagi ke atas sana setelah menaruh Lucy di penginapan.
Akan tetapi, niatnya itu dia urungkan setelah sampai ke sana, tidak sanggup meninggalkan sang anak semata wayangnya sendirian saat dia bertualang di luar.
Tidak akan pernah lagi adalah sumpahnya, tidak akan pernah lagi dia meninggalkan orang-orang yang disayanginya sendirian di rumah. Tidak setelah rumor yang menyebar tentang adiknya.
Dan dengan sumpah itu mengisi kepalanya, George membuka mata setelah dua hari tertidur, tersadar akhirnya akan apa yang baru saja dia lakukan karena paranoianya.
Di depannya adalah Quinn yang sedang duduk bersila, menggunakan sihirnya untuk mengusir semua racun itu dari setiap selnya sekaligus memperbaiki mereka sembari menunggu George bangun, "Apa yang sedang kau lakukan?" Dan mengganggu fokusnya seperti sekarang.
"George!" Quinn menyapa dengan senyum lebar, "Bagaimana tidurmu, temanku?" Mempertanyakan hal yang George tidak tahu.
"Tidur?" Pria raksasa itu mengangkat alisnya, "Dan apa yang terjadi di sini?" Melihat sekeliling untuk menemukan kejanggalan pula, "Di mana iblisnya?"
"Hohoho!" Menjawab pertanyaan George, "Pertanyaan yang luar biasa!" Quinn menunjuk perutnya sendiri, "Di sini!" Semakin membingungkan George yang tidak melihat si penyihir mengonsumsi dan melakukan purifikasi di dalam perutnya.
Merasa bahwa dia sedang dipermainkan oleh si penyihir yang sudah menyelesaikan semuanya, "Lupakan saja." Sang pria mengubah topik mereka, "Mari pulang." Membalikkan tubuhnya ke belakang, siap berlari pulang.