Tubuh Liana terbentuk kembali di dalam kamarnya, berdiri tegap di samping lemari pakaiannya menatap cermin yang memantulkan wujud dirinya. Sembuh dari semua luka, kehilangan tanduk dan kulit putih saljunya pula. Dia kembali tampak normal.
"Sial!" Tangannya menghantam lemari pakaiannya, menjatuhkan beberapa hal di sana. Salah satunya adalah surat yang sudah ada di sana untuk kurang lebih dua minggu.
Surat itu dibawa oleh seekor merpati yang sudah pergi. Lilin merah yang menutup surat itu adalah segel dengan stempel kerajaan, datang dari Athelina yang begitu bersemangat melihat Liana akhirnya datang juga.
"Ana!" Wanita itu mengangkat tangannya, "Akhirnya!" Berlari kecil melewati lorong dalam istana yang dihiasi pilar bermotif dan karpet merah mahal untuk mencapai Liana yang tidak benar-benar bisa menolak tawaran pelukan dari si wanita yang akhirnya mendekap dia.
Liana tersenyum, "Yang Mulia." Membalas pelukan sang ratu.
"Oh, ayolah!" Athelina protes, "Sudah berapa kali aku bilang." Tidak bisa menghapus suasana hati senangnya melihat salah satu kawannya ada di istana, "Panggil aku Lina saja. Lina."
Begitu senang hingga dia menghentikan jalannya ke arah Darius untuk menyapa sang wanita yang hanya beberapa kali bercengkerama dengan dirinya itu.
Meski begitu, tetap saja Athelina menganggap sang wanita sebagai seorang teman, sebagaimana dia menganggap Eleanor sebagai salah satu temannya pula.
Lagi pula, terlalu sedikit dari mereka yang ada untuk menjadi teman atau bahkan sekadar menemani Athelina. Bukan berarti dia tidak suka dengan semua pria yang menemaninya.
Dia tidak ada masalah dengan mereka. Malahan, dia menyukai salah satu dari pria itu, yaitu suaminya sendiri. Sang raja yang pasti sedang membenam diri dalam dokumen sekarang.
Namun mereka semua tidak bisa memenuhi salah satu kebutuhan paling penting Athelina, kebutuhan berupa pembicaraan untuk topik-topik kewanitaan.
Sayangnya, "Hamba rasa tidak, Yang Mulia ...." Liana jelas sekali tidak merasakan hal yang sama. Hal itu membuat Athelina melepaskan pelukannya untuk menunjukkan wajah cemberutnya ke Liana yang tersenyum canggung membalasnya.
Merasakan kalau tawa itu sungguh akan mendorong mereka ke percakapan yang canggung, "Ya sudah." Athelina menjatuhkan topik sebelumnya, "Mau ke mana dirimu saat aku menghentikanmu?" Dan menggantinya dengan sesuatu yang lebih sederhana.
"Mandi?" Liana mengangkat alisnya, agak ragu menjawab sebab, "Oh, mandi!" Dia tahu reaksi Athelina biasanya, "Bagaimana kalau mandi bersama?" Yang datang seperti dugaannya, "Aku juga belum mandi."
"Tapi ...."
"Ayo!"
Tangan Liana ditarik, dia diseret ke kamar mandi, tempat dia menelanjangi diri sekarang ini dengan sang ratu di sampingnya yang sesekali melihatnya dengan senyuman.
Saat mereka masuk ke dalam bak mandi dengan air hangat yang mencapai leher, "Sudah lama kita tidak melakukan ini, huh?" Athelina melemparkan isi pikiran yang membuatnya tersenyum di ruang ganti tadi.
Tempat yang damai itu diisi suaranya yang sedikit bergema, memantul di tembok kayu yang dibuat karena bau yang keluar dari mereka setiap kali mereka terkena hawa panas yang mengisi kamar mandi itu hampir setiap saat.
Mendengarkan gema, "Ah." Liana berusaha mengingat kembali kapan dia pernah melakukan hal semacam ini dengan Athelina, "Iya." Pada akhirnya gagal dan memutuskan untuk mengikuti alur saja.
Mendengarkan jawaban Liana, "Bagaimana hidupmu sejak terakhir kita bertemu, Ana?" Athelina memindahkan topik mereka sekali lagi ke sesuatu yang lebih kasual.
Tidak ada jawaban yang benar atau salah dari pertanyaan itu, "Hidup cukup menyenangkan." Tapi Liana tetap berhati-hati untuk menyembunyikan beberapa bulan terakhirnya, "Aku menemukan cinta." Hanya mengatakan bagian positif dari mereka saja.
"Cinta?" Athelina mengangkat alisnya, "Siapa, siapa?" Memajukan tubuh dan meninggikan nada suaranya untuk mengekspresikan ketertarikan dirinya.
Liana mundur dengan jujur, "Ah, aku tidak yakin Anda mengenalnya." Agak malu membahas Quinn di depan orang lain, "Lagi pula, dia hanya seorang gadis lain di ...."
Athelina terkesiap, "Ah!" Menutupi mulutnya yang terbuka lebar karena ucapan Liana, "Jadi, Ana. Kamu ...." Ucapan yang membuatnya memiliki pertanyaan di kepala yang tidak berani dia selesaikan karena terlalu kontroversial.
Liana tidak perlu waktu lama untuk paham, "Iya." Dia tertawa kecil sembari menjawab dan menggelengkan kepala, "Mungkin itu alasannya hubungan kami tidak bekerja ...." Berbisik rendah tidak didengarkan oleh Athelina yang terlalu sibuk.
"Itu mengingatkanku pada mereka!" Terlalu sibuk menggambarkan ulang memorinya selama beberapa minggu terakhir dengan kelompok George.
Liana yang sudah bertemu grup Robin, tapi tidak mengenal mereka dengan cara yang sama, "Mereka ...?" Dibingungkan oleh kalimat Athelina.
"Ah!" Melihat reaksi Liana, "Kau belum bertemu dengan mereka!" Athelina semakin bersemangat untuk rencana mereka, "Besok! Besok mereka akan pulang!"
Bukan hanya mereka akan menyembuhkan anak manis si pria besar yang dia kagumi karena perjalanannya mengelilingi dunia, tapi Athelina juga akan bisa mempertemukan orang-orang yang dia anggap sebagai teman dalam satu ruangan yang sama.
Sesuatu yang Athelina tidak pernah lakukan sebelumnya.
Akan tetapi, Liana tidak memiliki semangat yang sama dengan Athelina yang sudah menggenggam kedua tangannya dan menggerakkan tubuhnya naik turun.
Wanita itu melemparkan pertanyaan, "Dan mereka adalah ...?" Mengulangi dirinya sendiri.
Mendengarkan Liana mengulang, "Oh, mereka adalah empat orang paling menarik yang pernah aku temui!" Athelina menjelaskan.
Meski begitu, "Huh ...." Penjelasan tersebut tidak begitu membantu Liana yang tidak merasa penilaian sang ratu bisa dia anggap serius, terutama sebab sang ratu memang hidup dalam kehidupan yang tertutup dan tidak bertemu banyak orang.
Bisa merasakan penilaian itu dari mata Liana, "George Mayn dan keluarganya, Ana!" Athelina melanjutkan dengan lebih banyak detail.
Detail-detail itulah yang membuat Liana terdiam dan menunduk, akhirnya mengenali mereka yang harus dirinya tolong. Tangannya mengepal, kehilangan semua bohong dan sandiwara yang menyamarkan perasaan aslinya.
Diam sang pendeta tinggi membuat Athelina bertanya dengan khawatir, "Ana ...?" Sudah dua kali melihat sang pendeta terdiam dan menunduk.
Pertama saat mereka di kamar mandi tadi, yang membuat Athelina berpikir dia salah bicara entah di mana. Asumsi yang dikonfirmasi oleh Liana yang menjelaskan bahwa dirinya hanya disusahkan oleh kisah cintanya yang berakhir tragis.
Yang kedua adalah pada saat ini juga, saat Darius sedang menjelaskan betapa senangnya mereka untuk tahu bahwa Liana berhasil selamat dari Maplefront.
"Ah." Perlu beberapa lama sebelum sang pendeta kembali sadar, "Tidak, tidak." Menatap Darius dan Athelina dengan senyum palsu yang jelas, "Aku hanya sedang ... ya, maaf."
Memiliki asumsi yang jauh lebih buruk dari Athelina, "Apakah kau kehilangan seseorang saat Maplefront diserang?" Darius melemparkan pertanyaan yang membuat Athelina melemparkan tatapan tajam kepadanya.
"Anda bisa mengatakannya seperti itu, Yang Mulia." Liana menjawab.
"Apakah dia ...."
Liana mengangguk. Darius menutup mulutnya dan mulai makan, tidak lagi menatap mata Athelina yang sedari tadi protes dalam diam terhadap semua hal yang Darius lakukan.
Sarapan mereka selesai dalam diam setelah itu, dengan Athelina sesekali melemparkan tatapan mengomeli ke arah Darius yang cepat mengalihkan mata setiap kali itu terjadi.
Telah menyelesaikan sarapan, Athelina dan Liana berpindah ke taman, sementara Darius pamit untuk kembali ke ruang kerjanya.
Mereka berdua duduk bersampingan di salah satu kursi taman itu, dikelilingi tanaman dan pohon yang mampu meniadakan panas yang datang dari angkasa.
Tempat itu indah, enak untuk mencuci mata, tapi tidak cukup kuat untuk mengalihkan pikiran Athelina.
Masih memikirkan tindakan sang suami, "Maafkan Dariusku, dia kadang ...." Athelina mencoba untuk meminta maaf lagi.
Berbeda dengan Athelina, Liana tidak ingin lagi mengingat apa yang sudah menghilang darinya sejak hari itu.
Oleh karena itulah, "Aku dengar Anda sedang hamil?" Liana menolak dan mengganti topik mereka.
Berhasil membaca situasi, "Benar." Athelina ikut.
"Tapi aku tidak melihat ...." Liana mengisyaratkan setengah lingkaran dengan tangan di depan perutnya.
Setelah sedikit waktu, "Ahahaha." Athelina paham, "Kehamilanku masih muda."
Liana mengangkat alisnya, "Kalau begitu ...." Tidak pernah sebelumnya mendengar kehamilan dinyatakan semuda ini, "... bagaimana Anda tahu?"
Tahu betul bahwa semua orang yang mendengarkannya akan mempertanyakan hal ini, "Seorang dokter mengatakannya pada kami." Athelina mulai bercerita.
"Seorang dokter?" Cerita Athelina hanya menambah pertanyaan Liana, "Maksud Anda seorang tabib?"
Athelina menggelengkan kepala, "Dia menyebut dirinya sendiri dokter."
"... tentu saja. Tolong lanjutkan cerita Anda."
Mengangguk, Athelina melanjutkan. Mulai menjelaskan tentang bagaimana sang dokter mendiagnosis dirinya hamil. Penjelasan yang semakin lama semakin membuat Liana percaya dia mengenal sang dokter.
Saat cerita Athelina selesai, "Apakah dia setinggi ini?" Liana berdiri, dan menaruh tangannya di depan dada sebagai petunjuk akan maksud dari pertanyaannya.
Athelina menatap Liana agak lama, memegang dagunya mengingat-ingat wujud sang dokter yang sudah memberitahunya beritahu bahagia pada hari itu.
"Iya?" Saat dia menjawab dengan sedikit ragu, Liana jatuh terduduk.
"Begitukah ...," bisik Darius mendengarkan cerita sang istri masalah harinya. Pria itu berbaring menatap ke samping seperti istrinya yang juga melakukan hal yang sama.
Mereka saling menatap dengan senyuman dalam diam yang syahdu.
Tidak lagi punya topik untuk dibahas, "Darius." Athelina menciptakannya.
Darius merespons, "Hm?" Dan mengangkat kedua alisnya, mengisyaratkan Athelina untuk melanjutkan.
Athelina melakukan, "Bisakah kita ke kampung halamanku setelah anak kita lahir?" Membujuk Darius dengan nada suara yang agak memelas.
"Tiba-tiba sekali." Darius menjawab, "Ada apa?" Meminta penjelasan.
"Ibuku mengirim surat." Athelina memulai dengan alasan pertamanya, "Dan aku rindu rumah." Sebelum menutup dengan alasan kedua, "Sudah lama sejak terakhir kali aku berada di sana." Hal yang lebih personal dari alasan pertamanya.
Darius berpikir sebentar, "Asalkan kau tidak menamai anak kita Cassandra." Mengiyakan akhirnya dengan syarat yang dia antarkan bersama senyum usil.
"Eh ... kenapa!?" Athelina mengeluh, "Cassandra adalah nama yang bagus!" Protes.
"Untuk seorang gadis, mungkin." Darius menyetujui, "Tapi dia adalah seorang pria." Membantah kemudian sembari mengelus perut Athelina lembut.
Athelina menghentikan tangan Darius dari bergerak dengan cara menaruh tangannya di atas tangan si pria, "Dari mana kau tahu dia adalah seorang pria, Darius?" Melemparkan pertanyaan selanjutnya.
Darius cepat menjawab, "Aku bisa merasakannya." Terkekeh dalam setiap kata yang diucapkan dirinya.
Athelina tersenyum bermain, "Aku baru tahu kau bisa memprediksi masa depan." Akhirnya paham yang Darius coba untuk lakukan.
"Aku juga." Darius tertawa, mendorong Athelina untuk melakukan hal yang sama.
Saat keduanya sudah kembali tenang, "Tidurlah." Darius mengecup kening istrinya, "Bukankah besok kau punya hari yang melelahkan di depanmu?"
Athelina menggeleng, "Mhm." Membantah asumsi Darius yang dia anggap salah.
Darius yang siap berbaring memegang tangan sang istri sampai wanita itu tertidur berhenti sejenak, "Tidak?" Menatap heran sang istri yang tersenyum, "Aku kira kau akan ke tempat sang Badai besok bersama pendeta tinggi dan mengobati anaknya?"
"Hm." Athelina mengiyakan, "Siapa yang bisa lelah dari menolong orang lain?" Menutup matanya.
Darius mendengkus, akhirnya ikut berbaring di samping sang istri yang sudah terbawa ke alam mimpi.
Namun malam itu, Darius tidak pergi. Dia memeluk istrinya, tertidur di sana hingga pagi tiba, membangunkan mereka berdua.