Chapter 30 - Bab 30

Mereka melangkah masuk setelah tiga hari empat malam perjalanan pulang. Kembali ke ibu kota di bawah langit malam musim panas yang bersih dari awan seperti biasa.

Di balik gerbang itu adalah sunyi yang sepi, normal harusnya mengingat mereka sampai saat malam sudah sangat tua. Akan tetapi, Quinn punya pikiran yang berbeda.

"Aku mengharapkan sesuatu yang lebih ...." Sang penyihir menatap sekeliling dengan agak kecewa, "... meriah." Menemukan kekosongan ibu kota setelah kemenangan mereka tiga hari sebelumnya adalah hal yang Quinn tidak sangka.

Penyihir itu kurang percaya sang raja rela membukakan pintu gerbang ibu kotanya untuk mereka, tapi tidak cukup rela untuk merayakan kemenangan keempatnya.

Hal yang sudah mereka lakukan biasanya akan dirayakan di negara-negara lain. Bukan hanya sebagai bentuk apresiasi, tapi juga sebagai unjuk kekuatan dari suatu negara karena berhasil membuat grup sekuat kelompok Quinn membantu mereka.

Tentu saja aku bisa melihat kondisi-kondisi khusus di mana sebuah kerajaan tidak ingin melakukan hal itu, tapi aku tidak merasa ....

"Meriah?" Robin memotong pikiran Quinn yang melemparkan tatapan jengkel kepada si pemuda, "Apa?" Yang mempertanyakan tatapan itu juga.

Quinn menatap sedikit lebih lama dalam usaha menyakiti sang pemuda yang hanya membalas tatapannya dengan bingung sepanjang waktu.

Menyerah, "Perayaan, Homo." Quinn menjawab.

"Aku tidak ...! Oh." Robin kehilangan ekspresi melawannya terhadap panggilan Quinn saat dia sadar apa maksud si wanita.

"Sudah paham?" Quinn bertanya, "Bagus." Tidak menunggu respons Robin yang membuka mulutnya yang cepat kembali menutup jengkel pada Quinn.

"Paling tidak, kita bisa langsung ke istana untuk meminta hadiah kita." Berusaha menemukan sisi baiknya, "Benar 'kan ...." Mencari George yang tidak ada lagi ada di sekitar keduanya, "... George?"

Pria yang disebut namanya itu berbalik, "Hm?" Sudah agak jauh dari keduanya dengan Lucy yang tertidur di dekapan, "Kita akan mengambilnya besok saja." Dia berbalik untuk menunjukkan anak semata wayangnya itu, "Lucy sudah tidur."

"... Ah." Paham, "Aku mengerti." Robin melepaskan topik itu dan ikut berjalan menuju rumah sementara mereka.

Quinn mengekor tepat di belakang Robin, "Apakah menurutmu kita bisa meminta hadiah lain selain kesembuhan anak itu?" Mengubah topik mereka ke bisikan kecil yang dia harap tidak didengar George.

Robin terkesiap, "A ... apa maksudmu!?" Menatap Quinn dengan tidak percaya, "Dia hampir mati cuma demi ...!"

"Bukan begitu, Homo!" Quinn meniru teriakan berbisik Robin.

"Aku bukan ...!" Robin sekali lagi berusaha membantah.

"Belum!" Quinn kembali memotongnya, "Tapi bukan itu intinya!" Mulai menjelaskan dirinya sendiri dengan nada yang lebih rendah, "Aku hanya penasaran, kau tahu."

"Pada apa ...?"

"Entahlah." Quinn mengangkat bahunya dalam bahasa tubuh bertanya, "Apakah kita bisa meminta hadiah tambahan atau tidak?"

Robin mengedipkan matanya dua kali, "... oh." Berhasil mengerti setelah berpikir sejenak, "Memangnya apa yang akan kau minta, Quinn?" Robin sekarang punya pertanyaan baru.

Cepat, "Sebuah harem." Quinn menjawab.

Sayangnya, "Harem?" Jawaban Quinn hanya menambah pertanyaan Robin, "Apa itu harem?" Yang mengangkat salah satu alisnya bingung.

Quinn ikut bingung, "Kau ... tidak tahu apa itu harem?" Sungguh tidak percaya pemuda delapan belas tahun di depannya tidak pernah mendengar istilah itu sebelumnya.

Mulai takut, "... iya ...?" Robin perlahan bergerak menjauhkan dirinya dari Quinn yang meledak: "Dan kau bilang dirimu berasal dari masyarakat patriarki?!"

"Aku tidak pernah bilang begitu!" Keduanya berteriak satu sama lain, mengundang perhatian George yang berbatuk palsu untuk menarik perhatian mereka, dan mengingatkan bahwa anaknya tidur sudah.

"Oh, benar juga." Quinn merendahkan suaranya, ""Maaf."" Membisikkan kata yang sama dengan Robin di saat yang hampir bersamaan pula, tidak ingin membuat pria yang tidak pernah tersenyum sedari kemarin kecuali Lucy sedang menatap itu marah.

Namun tetap saja, setelah George kembali berbalik, "Baiklah! Baik! Aku akan menjelaskannya!" Quinn kembali melanjutkan perdebatan mereka dengan teriakan yang dibisikkan.

Sudah tidak lagi tertarik dengan harem, "Aku tidak ...." Robin ingin menolak.

Akan tetapi, seperti biasa, Quinn tidak menerima penolakan setelah siap menjelaskan semua hal dengan susunan rapi yang sudah ada di dalam kepalanya.

"Hus, hus, hus." Quinn menaruh jari telunjuk di mulutnya, "Kemarilah." Menggerakkan telunjuk itu kemudian dekat ke mulutnya, mengisyaratkan Robin untuk mendekatkan telinga.

Robin melakukannya, "Lebih dekat." Tapi Quinn meminta dia untuk mengulang, "Sedikit lagi." Dan mengulang hingga akhirnya Quinn mulai membisikkan semua hal tentang harem dan lebih banyak lagi.

Semakin lama, alis Robin semakin dekat antara satu sama lainnya, sampai mereka menyatu dan dia menarik telinganya menjauh dari mulut Quinn yang tersenyum.

Matanya menatap Quinn merendahkan, "Itu ...." Pikirannya mencari kata untuk dikatakan, "... menjijikkan."

Satu kata yang Quinn iyakan dengan anggukan bangga tanpa malu, "Benar." Sebelum dia berpindah topik, "Bagaimana denganmu?" Seakan mulutnya tidak membisikkan semua hal kotor itu ke telinga Robin beberapa saat yang lalu, "Apa yang akan kau minta jika kita bisa meminta lebih banyak lagi selain kesembuhan anak itu?"

Tidak ingin lagi mendengarkan gema penjelasan Quinn, "Hm ...." Robin mengikuti arus dan memindahkan pikirannya ke hal yang akan dia minta, "Hadiah untuk ayah dan ibuku ...? Mungkin."

Quinn berkedip, "Permintaan bodoh semacam apa itu?" Lalu ekspresinya berubah total menjadi bosan.

Quinn membuang muka, "A ...!" Memotong Robin yang sekali lagi ingin berdebat dengan sang penyihir yang sekarang mengabaikannya hingga mereka tiba di rumah.

"Akhirnya!" Quinn berlari masuk mendahului Robin.

Memberikan tugas mengunci pintu rumah itu kepada sang pemuda yang menghentikan Quinn dengan suara setelah menyelesaikan tugasnya, "Uh, Quinn?"

"Apa?" Sang penyihir yang sudah bersemangat untuk naik ke kamarnya itu berbalik menatap Robin yang agak ragu meminta.

Meski begitu, si pemuda tidak punya pilihan lain. George sudah masuk ke dalam kamarnya, dan dia tidak bisa melakukan apa yang mau dia lakukan sendirian.

Oleh karena itulah, "Bisakah kau membantuku membuka ... ini?" Dia meminta pada Quinn.

Quinn tersenyum, "Hohoho!" Tertawa usil, "Kau ingin aku menelanjangimu, eh?"

"Tidak. Aku hanya ...."

"Boleh, boleh!" Quinn menghentikan Robin dari menjelaskan, "Meskipun aku hanya tertarik pada wanita ...." Si pendek melangkah mendekati Robin yang tidak bisa mundur, "... wajahmu cukup feminin untuk ...."

Tangannya mendekati helm Robin, "Aku hanya ingin kau membantuku membuka zirah ini!" Berhenti sebelum mencapainya saat sang pemuda membantah.

Quinn berdecak, "Tentu saja." Dan mulai membantu Robin dengan sedikit tidak ikhlas.

Saat mereka selesai, ucapan selamat malam dan terima kasih keluar dari mulut Robin, hanya untuk dibalas lambaian tangan Quinn yang sudah mendaki anak tangga naik ke lantai tiga.

Ketika Quinn mencapai kamarnya, dia langsung melemparkan tubuhnya ke kasur, telungkup dengan wajah yang bersandar pada kasur menatap ke tembok.

Seluruh tubuhnya lelah, lemas, dan menolak untuk bergerak sebelum dia menutup mata. Sayangnya, dia tidak bisa melakukannya. Kantuk tidak datang padanya, begitu pula damai sementara dari tidur yang biasa.

Liana menghantui pikirannya, tidak begitu percaya sang wanita mati begitu saja setelah ini semua.

Bila ada satu hal yang Quinn tahu tentang mantan kekasih dan rekan kerjanya itu, maka hal tersebut adalah Liana akan melakukan apa saja untuk mendapatkan keinginannya.

Dia sudah bekerja sama dengan Quinn untuk membunuh pendeta tinggi Maplefront yang asli sebelumnya, serta lebih banyak penyihir lain sepanjang perjalanan mereka.

Apa yang menghentikan dia dari membunuhku begitu saja ...? Quinn bertanya dalam kepala, memaksa dia berpikir keras dan lama untuk memahami pikiran Liana.

Akan tetapi, dengan asumsinya bahwa Liana menjadi semakin tidak stabil setiap harinya, dia menjadi semakin tidak mampu pula untuk memprediksi si wanita.

Bukan berarti dia tidak bisa menjawab pertanyaannya sendiri. Dia bisa melakukannya, dia sudah tahu jawabannya.

Hal itu dia bisikkan ke udara, "Tidak ada ...." Apa yang Quinn tidak tahu adalah: "... bagaimana?"

Persis seperti Quinn, George juga tidak bisa tertidur. Sejak kemarin, anaknya menjadi semakin panas secara eksponensial, bukan lagi peningkatan pelan-pelan seperti sebelum-sebelumnya.

Hal itu membuatnya khawatir dengan keadaan anaknya, tapi tidak mampu terlalu terburu-buru saat dia melihat putrinya itu bertingkah seperti baik-baik saja dalam setiap kesempatan.

Bahkan saat panas yang mengalir dari sang putri sudah mampu membakar dan membuat kulit George melepuh dengan darah yang mendidih di bawah.

Oleh karena itulah, Besok, Lucy. Besok kau akan sembuh. George menahan hasratnya untuk mendobrak pintu istana itu jatuh, dan lebih memilih menunggu.

Menunggu kesadarannya hilang mirip Robin yang juga tidak bisa tidur.

Setelah mengangkat semua bagian dari zirahnya masuk ke dalam kamar, Robin juga ikut masuk ke kamarnya, berganti pakaian di dalam sana ke sesuatu yang lebih nyaman dan tidak dia kenakan selama hampir satu minggu sebelum menjatuhkan tubuhnya ke kasur yang empuk.

Mata Robin menatap langit-langit kamarnya, tidak lagi mengantuk. Pikirannya lari ke berbagai tempat, mulai dari pertemuan pertamanya dengan George, kemudian Quinn, hingga masa kecilnya di rumah.

Bersama setiap ingatan itu, senyumnya menjadi semakin lebar, merasa bahwa sebentar lagi dia akan bisa pulang ke rumah sembari menunjukkan orang-orang yang bisa dia sebut sebagai teman pertamanya kepada kedua orang tuanya.

Tentu saja, Robin harus mencegah Quinn dari mengatakan hal-hal bodoh kepada kedua orang tuanya, dia juga harus mencegah George dari melakukan hal yang sama.

Robin terkekeh, dia sudah bisa membayangkannya.

Di rumahnya yang tidak begitu besar itu, George tidak akan bisa masuk ke dalam. Orang tuanya harus ke luar di jalanan, bersalaman dengan salah satu pria yang paling ditakuti di benua setelah Robin memperkenalkan mereka ke satu sama lain.

"George. George Mayn," kata mentornya dengan senyum lebar.

Ayahnya akan menjawab dengan sedikit ragu, "A ... Arion Andemo ...." Sebelum memberikan ibunya kesempatan untuk bersalaman dan memperkenalkan diri juga, "Dan ini adalah istriku."

"Demeter," ucap ibunya dengan penuh percaya diri.

Setelah itu, "Dan gadis itu adalah ...?" Sang ibu pasti akan menatap Quinn yang terus tersenyum di samping dirinya sedari tadi, memaksa Robin untuk memperkenalkan Quinn kepada mereka berdua, dan membiarkan si wanita pendek berbicara.

Penyihir itu akan tersenyum lebar, "Perkenalkan!" Bergaya dan berdansa seperti saat pertama kali Robin bertemu dengannya, "Aku adalah Quinn A. Nathair." Menyalami ayah dan ibunya, "Aku istri anak kalian."

"A ...."

"Dan aku homo."

Demeter terbangun, memaksa tubuhnya duduk dan menatap sekitar dengan mata yang mencari sekitar khawatir, serta mulut menganga yang tidak percaya.

Suaminya yang sedang duduk di kasur melihat-lihat surat di samping dirinya, "Ada apa?" Bertanya dengan sedikit bingung. Lagi pula, jarang sekali Demeter terbangun begitu saja dengan ekspresi penuh takut di wajah.

Satu-satunya saat dia melihat istrinya dibangunkan oleh mimpi buruk adalah saat anak mereka baru saja pergi bersama sang Badai, dengan sang istri memimpikan kematian putar mereka.

Oleh sebab itulah, "Robin?" Arion mampu menebak konten mimpi sang istri dengan mudah.

Demeter mengangguk, "Robin pulang, dan dia ...." Mulai menjelaskan mimpi anehnya, "... dia memperkenalkan kita pada sang Badai, dan ...." Terlalu aneh untuk dia lupakan segera setelah dirinya terbangun.

"Sang Badai ...?" Arion mengangkat alisnya heran.

Tidak menjawab pertanyaan Arion, "... dan istrinya." Demeter melanjutkan.

Membuat Arion salah paham, "Sang Badai punya istri!?" Dan mulai membayangkan hal-hal kurang masuk akal, "Itu akan menjelaskan dari mana anaknya berasal tapi ...."

"Bukan, bukan!" Menghentikan kereta pikiran Arion, "Robin." Demeter memberikan klarifikasi yang kurang membantu.

Salah paham Arion bertambah, "Robin istrinya!?" Begitu pula tinggi nada suaranya.

Mengikuti sang suami, "Tidak!" Demeter juga berteriak menolak asumsi si pria, "Maksudku, Robin." Mengulang dirinya sendiri, "Robin yang punya istri." Menyebutkan bagian paling aneh dari mimpi itu, "... dan istrinya homo ...."

Arion berkedip, "Itu tidak masuk akal ...." Ekspresinya netral.

Mengabaikan keterkejutan Arion, "Aku khawatir." Demeter menyatakan perasaannya.

Perasaan yang juga dirasakan oleh Arion, "Aku juga ...." tapi bukan kepada anak mereka.

Merasa bahwa sang suami juga menghawatirkan anak mereka dan bukan dirinya, "Apakah masih belum ada kabar dari Peterarchland?" Demeter kembali mempertanyakan hal yang selalu dia pertanyakan setiap hari sejak Arion mendapat kabar kalau anak mereka ada di kerajaan si tiran dan memberitahukannya kepada sang istri.

Arion menggeleng lemah, siap mendengarkan ocehan istrinya yang selalu tiba setiap kali dia tidak memberikan jawaban positif terhadap pertanyaan itu.

"Apa yang membuat mereka memakan waktu begitu lama untuk membuka perbatasannya!?" Demeter memulai, "Lagi pula! Kenapa mereka menutup perbatasan mereka sejak awal!?" Berbicara seakan tidak bisa menebak alasan Peterarchland ingin menutup perbatasan mereka saat sang Badai sedang ada di sana.

"Ayolah, Eter." Bahkan Arion bisa menebak mengapa tiran itu ingin menutup perbatasannya dengan ketat, "Kita berdua tahu alasannya." Dan Arion yakin istrinya bisa melakukan hal yang sama pula.

Perbedaannya adalah, "Oh, jadi kau akan membela mereka sekarang?" Sang istri tidak peduli.

"Kau tahu bukan begitu maksudku." Arion menjawab lemah.

"Apa maksudmu kalau begitu?" Demeter membalasnya dengan kasar, "Oh, oh." Kembali menggiring pembicaraan yang sudah terlalu Arion kenal, "Mumpung kita berada di topik maksudmu."

"Tolong jangan lagi."

"Apa maksudmu saat kau mengusir anak semata wayang kita dari rumah?"

"Kau tahu aku mengira kita semua akan mati saat itu!"

"Dan kita semua pantas mendapatkannya!"

Teriakan Demeter bergema di seluruh lorong rumah mereka yang tidak lagi benar-benar akrab dengan satu sama lainnya. Keduanya beradu tatapan mata lama, hingga akhirnya Arion menyerah dan berpaling sembari bergeleng.

"Aku akan mencoba mencari cara agar kita bisa masuk sedikit lebih cepat lagi, Eter." Dia menaruh semua surat-surat itu ke meja kecil di samping kasur mereka, "Maafkan aku." Kemudian berbaring di kasur untuk memaksakan tidur.

Demeter diam sebentar, mengeluarkan satu napas berat untuk menghilangkan rasa bersalah dan beban di pundaknya. Ikut tidur menghadap ke arah yang berbeda dari sang suami.