Mimpi Cassander malam ini buruk. Di depan matanya adalah menara yang tumbang dimakan badai, dengan seorang anak bertanduk dan pemuda berdiri di depan pemandangan itu. Mata mereka menatap hal yang sama yang menjadi perhatian satu mata di langit yang marah dan juga mata Cassander.
Mereka menonton ratunya yang mati berdarah, diselimuti kabut putih dengan tangan yang berusaha mencapai sesuatu dan mulut yang berbisik lemah.
Cassander ingin lari, lari dari mimpi buruk ini. Namun dirinya terjebak, hanya mampu sadar bahwa ini mimpi tanpa bisa membangunkan dirinya sendiri.
Berbeda dengan Darius yang terbangun menatap senyuman istrinya yang sedang menonton dia tertidur di samping. Lebih terang dari sinar mentari yang baru saja tiba, dia terpesona sejenak, berpikir bahwa dirinya sedang bermimpi.
Perlu beberapa waktu sebelum Darius benar-benar sadar, dan saat dia sudah sadar, Darius kembali dibingungkan. Kepalanya perlahan diisi beberapa pertanyaan.
"Aku ketiduran ...?" Pertanyaan yang dia lemparkan ke arah istrinya.
"Hm." Athelina mengangguk, "Dan aku bangun lebih cepat darimu."
Darius tersenyum, "Begitukah ...." Kembali rileks, "Kau jadi mendatangi mereka hari ini?" Dan mengubah topik keduanya ke pembahasan mereka di makan malam kemarin.
"Tentu saja!" Athelina menjawab, "Mereka sudah lelah melakukan semua itu. Menyuruh mereka mendaki kemari lagi rasanya sangat salah." Menjelaskan alasannya yang tidak berubah.
Darius membantah, "Kita bisa membawa mereka kemari dengan kereta kuda ...." Membisikkan solusinya ke Athelina yang kehilangan senyuman.
"... eh ...." Istrinya protes, "Tidak."
Darius mendengkus geli, "Kau cuma mau keluar, huh?" Mengelus pipi istrinya.
Athelina tertawa kecil, mengonfirmasi dugaan Darius yang melemparkan kecupan ke kening sang istri sebelum akhirnya duduk dan bangun dari kasurnya.
Meniru semangat istrinya, "Baiklah!" Darius membusungkan dada, "Aku akan mengirimi mereka surat untuk mengharapkan kedatanganmu pagi ini." Kemudian cepat menjatuhkannya, "Mandilah." Melemparkan senyuman ke sang istri sebelum beranjak pergi.
Athelina hanya tersenyum, menelan kecewa karena tidak bisa membalas aksi suaminya ke bawah agar dirinya bisa bangun juga.
Eleanor masih belum ada, menandakan bahwa pelayan pribadinya itu belum sembuh juga. Sudah mulai merindukan si wanita, "Cepat sembuh, Eleanor." Athelina mendoakan kesembuhan pelayannya itu sebelum keluar dari kamarnya.
Tujuan pertamanya adalah kamar mandi, ""Ah."" Menemukan Liana di sana.
Wanita itu berdiri telanjang dari bak mandi, "Yang Mulia." Sedikit membungkuk menyambut Athelina yang cepat menyuruh Liana duduk agar dia bisa bergabung.
Setelah diam sejenak di antara keduanya, "Jadi kamu sungguh bisa melakukannya?" Athelina tidak bisa lagi menahan diri untuk memuaskan rasa penasaran yang mengganjal di hati.
Liana menaikkan mata untuk bertatapan dengan Athelina, "Maaf, Yang Mulia?" Merespons dengan bingung dan sopan di nada.
Athelina terkesiap, "Ah!" Menutup mulutnya dengan tangan, "Maksudku bukan begitu!" Merasa bahwa dia sudah menyinggung Liana, "Aku yakin kau bisa menyembuhkan dia!" Athelina cepat menjelaskan dirinya sendiri.
Menjadikan Liana semakin bingung, "Huh ...." Dan memiringkan kepalanya.
Melihat itu, "Aku hanya ...." Athelina menyerah menjelaskan dirinya sendiri, "... tidak ingin mereka kecewa." Memilih menyatakan alasan dia memulai topik ini sejak awal.
Liana diam sebentar, "Ah." Berpura-pura mengerti kemudian, "Mereka tidak akan kecewa, Yang Mulia." Lalu berjanji, "Hamba menjaminnya."
Mata Athelina menyala senang, "Terima kasih!" Memegang tangan Liana sebelum akhirnya tenang dan membiarkan keduanya menyelesaikan mandi selanjutnya.
Hari mereka berlanjut ke sarapan tempat Athelina dan Liana pamit kepada Darius yang memerintahkan seorang prajurit menemani mereka ke rumah sementara grup Robin yang masih tidur.
Mereka semua punya alasan masing-masing untuk belum bangun. Quinn karena rasa bersalah, George karena khawatir, Lucy karena sakit, dan Robin karena mengkhayalkan masa depan yang lebih indah.
Meski begitu, mereka semua bangun di saat yang sama saat pintu depan rumah sementara mereka diketuk berulang oleh seorang prajurit yang membawa surat dengan segel kerajaan.
"Terima kasih." Robin menerimanya, membawa surat itu masuk ke tiga teman sekelompoknya yang sudah terbangun juga. Mengizinkan dia untuk membuka surat itu dan membaca isinya bersama mereka semua.
Keempatnya diam sejenak, "... oh." Hingga Robin yang sudah selesai memproses semuanya memecah hening. Wajah George yang tidak berekspresi sebelumnya kini dihias senyum lebar yang jujur.
Berbeda dengan si pria raksasa, Quinn khawatir.
Khawatir dirinya tidak akan bisa meminta apa yang dia rencanakan untuk minta semalam, "Apakah ini artinya kita tidak bisa meminta hadiah tambahan?" Quinn melemparkan pertanyaan dengan sedikit takut.
Melihat debu kecewa di mata sang penyihir, "Aku rasa bisa ...." Robin berusaha membujuk, "Yang akan datang adalah Yang Mulia Ratu." Menjelaskan sesuai dengan pengalamannya, "Dia cukup baik."
"Begitukah?" Ekspresi Quinn berubah cepat, "Luar biasa!" Dia melompat kecil merayakan, "Kalau begitu aku akan ...!" Lalu kakinya mulai berlari ke kamar mandi.
"Kami dulu." Hanya untuk dihentikan oleh George yang menutup pintu di wajahnya.
Quinn memegang hidungnya yang sakit menabrak pintu kayu itu, "Hei!" Protes kecil kepada George yang tidak lagi mendengarkan dalam bahagianya.
Setelah semua ini tidak ada apa-apa lagi .... George berbisik di kepalanya sendiri sembari membersihkan tubuh anaknya. Membayangkan masa depan yang dia pikir tidak akan pernah tiba selama dia mandi dan bahkan hingga dia keluar dan berpakaian.
Dirinya dan putrinya sudah beres saat Quinn keluar dari kamar mandi dan mengizinkan Robin masuk. Setelah keempatnya selesai, mereka diam menunggu.
Dan menunggu, dan menunggu, dan menunggu. Pelan senyum George terhapus, dan antisipasi Robin menghilang, sementara Quinn mulai bosan dengan Lucy juga berusaha mencari hiburan di sekitar.
"Apakah ...." Quinn dipotong ketukan di pintu depan, seketika mereka semua kembali tegap dan senyuman kembali ke wajah George. Quinn tertawa seperti penjahat, "Aku akan membukanya." Dan Robin berdiri untuk menyambut sang ratu yang ada di sana.
"Yang Mulia." Robin menundukkan kepala.
"Robin." Athelina melakukan hal yang sama.
Setelah pertukaran sopan santun itu, Robin mempersilakan sang ratu masuk ditemani oleh seorang wanita yang dibungkus gaun serba putih dengan motif-motif keagamaan di ujung-ujung kainnya yang dijahit menggunakan benang emas.
Seorang prajurit berdiri menunggu di luar, ditutupkan pintu oleh Robin yang menyusul sang ratu dan si wanita ke ruang tamu rumah sementara mereka.
Dia kembali ke tempatnya duduk semula, yaitu di samping kanan George yang memangku anaknya di tengah, dengan Quinn di kiri yang kini memantulkan beberapa emosi di mata.
Robin berusaha membaca, "Pertama-tama." Akan tetapi perhatiannya cepat ditarik si wanita yang dalam gaun putih yang duduk di samping sang ratu, "Bisakah kalian memindahkan meja ini terlebih dahulu?"
George berdiri, memenuhi keinginan si wanita dan kembali duduk ke tempatnya.
"Terima kasih." Si wanita menundukkan kepala sebelum berdiri dan mengeluarkan sebuah pisau yang ternyata si wanita sudah sembunyikan sedari tadi di antara lengan bajunya.
Quinn yang terkejut dan sudah gugup sedari tadi mengangkat tangannya berusaha melakukan sihir, tapi George menghentikannya, "Tapi ...." Menatap jatuh Quinn yang akhirnya hanya bisa berdecak dan membiarkan si wanita yang melihat kejadian itu melanjutkan.
Sang wanita melukai tangannya, menggunakan darah yang keluar dari sana untuk menggambar segitiga yang berada dalam sebuah lingkaran di lantai ruang tamu mereka.
Setelah selesai, si wanita kembali duduk di samping Athelina, "Sekarang." Dan menusuk perut sang ratu menggunakan pisau yang sedari tadi dia genggam.
Senyum Athelina perlahan terhapus saat dia merasakan panas di perutnya. Saat matanya melihat ke sana, gaun merahnya sudah basah dengan warna yang sama.
Athelina menganga, tidak mampu mengeluarkan suara. Mata sang ratu menatap sekeliling tidak percaya, menemukan hanya sang Badai dan anaknya yang tidak banyak bereaksi melihat Athelina terluka.
Bahkan Liana yang sudah menusuknya memiliki ekspresi yang berubah. Wanita yang sering kali tenang itu kini memasang senyum lebar dan menusuk lehernya sendiri.
Diwakili oleh Robin, "A ... apa?" Pertanyaan di kepala Athelina bergema. Tidak ada yang menjawab pertanyaan keduanya, sunyi mengancam jatuh saat dia dipecahkan oleh suara tubuh Liana jatuh ke lantai.
Bersamaan dengan itu, "Aaah!" Lucy di pangkuan George bereaksi, menarik perhatian semua dengan teriakan penuh rasa sakitnya yang terdengar begitu menderita.
Athelina mengulurkan tangannya, merasakan kematian sudah memeluknya dari belakang dan tubuhnya semakin dingin bahkan saat perutnya terus memanas.
George yang menemukan mata dan tangannya setelah waktu yang terasa seperti selamanya membawa Lucy mendekati Athelina, membiarkan dia menyentuh pipi Lucy dengan tangan yang dingin dan gemetar.
Anak baik itu memang sungguh panas, begitu panas hingga bisa membuat Athelina lupa bahwa perutnya juga memiliki sensasi yang sama.
Ingin rasanya dia mengelus anak itu lebih lama, menyanyikan kepadanya semua lagu tidur menenangkan yang dia simpan rapi di dalam kepala.
Namun dirinya tidak punya waktu lama, dan dia tidak ingin mengecewakan mereka semua yang sudah berjuang untuk mendapatkan hadiahnya.
Dengan satu niat di hati, Athelina melepaskan tato di samping lengan atas kanannya. Keajaiban yang memberinya kekuatan untuk bertahan dengan tubuh yang lemah itu perlahan tertempel ke Lucy yang semakin tenang.
Saat tanda itu selesai, Athelina tersenyum lemah, menggunakan semua kekuatannya untuk memasang ekspresi terbaik kepada orang-orang paling menarik yang pernah dia temui seumur hidup pendeknya.
Dia tidak tahu mengapa Liana bunuh diri atau menyakitinya. Dia tidak tahu bagaimana Darius akan bereaksi terhadap kematiannya. Dia tidak tahu apakah Eleanor sudah sembuh dari demamnya. Dia juga tidak apakah Cassander sedang mengalami mimpi buruk lainnya.
Semua yang Athelina tahu adalah, dia bahagia sudah bisa ada di dunia dan bertemu dengan orang-orang yang mewarnai hidupnya setelah dia keluar dari negara asalnya.
Dia berharap bisa hidup lebih lama, memberikan Darius pewaris yang sang suami mau sejak awal mereka menikah dan membesarkan anak mereka itu bersama-sama.
Sayang karena semua itu hanya akan menjadi mimpi belaka.
Di taman istana yang Darius bangun khusus untuk dirinya, di bawah pohon yang biasa mereka datangi bersama, Athelina berbaring di sana, menunggu Darius mendatanginya agar dia bisa meminta maaf karena sudah meninggalkan si pria tanpa mengucapkan selamat tinggal sebelumnya.
Maaf, Darius. Dia berbisik di kepala, Maafkan aku .... Menutup mata, tertidur untuk selamanya.
"... tamat sudah riwayat kita."