Bunga merah mekar di dada Liana, Robin membuka matanya, melihat langsung ke arah Liana yang sekarang sibuk berusaha menggenggam pedang Robin.
Wanita itu merasakan hidupnya menyisip keluar, jatuh ke tanah, menguap ke udara, lari ke mana pun yang bukan dirinya. Matanya menatap tidak percaya ke arah si pemuda di depan.
Seorang manusia yang berhasil mengusir mereka berempat sendirian itu menarik mundur pedangnya, menyarungi senjata tajam yang perlahan membuat dia dan sedarahnya menghilang halus ditiup angin.
Liana dilewati, tidak lagi punya cukup tenaga atau bentuk untuk menyakiti si pemuda yang kebal dari semua serangan mereka sebelumnya. Lagi pula, dia juga tidak mau membuang tenaga, lebih memilih untuk menggunakan tenaga terakhirnya demi melakukan sesuatu yang berbeda.
Tubuhnya retak, cahaya keluar dari dalam, dan dia meledak. Menghilang menjadi serpihan-serpihan kecil yang sehalus debu, meninggalkan Robin yang sekarang menggapai Lucy.
Pemuda itu mengangkat anak mentornya dari tanah, melihat anak itu tenang dan tertidur pulas di sana, dia menjadi lebih berhati-hati lagi dalam melakukannya.
Langkah Robin selanjutnya membawa mereka mendekati Quinn yang sedang mengamati George dari dekat. Wanita pendek itu tidak mengatakan apa pun kepada keduanya, terlalu sibuk mengamati tubuh George yang rusak parah.
Tangan pria itu busuk, seluruh tubuhnya ditutupi luka segar bernanah dengan darah yang jatuh tetes demi tetes dari tombak gelap yang menusuk dada kanan si pria.
"Apakah dia ...?"
Quinn mengangguk memotong, menarik wajahnya mundur dan berdiri tegap. Dia menundukkan kepala, menandakan duka kepada Robin yang mengambil langkah mundur tidak terima.
"Tidak, tidak, tidak ...." Robin menaikkan suaranya, "Kau bercanda 'kan?" Bertanya kepada Quinn yang cepat menggeleng menjawab tidak percaya.
Dia juga merasakan hal yang sama, tidak percaya dan tidak terima pria yang akan dia manfaatkan untuk membawanya lebih jauh itu sudah menjadi mayat.
Namun sungguh itulah yang terjadi, dengan simbol petir di mata kiri George terhapus pelan oleh cahaya mentari, menghilang dari sana dan meninggalkan wajahnya yang masih penuh luka juga.
Quinn membuka mata terkejut, tangannya cepat menciptakan dua penghalang standarnya yang meniru komposisi penghalang magis yang mencegah mereka ke pusat dunia.
Penghalang itu hancur seketika saat petir menyambar dari langit cerah. Mengejutkan Robin yang tidak terpental, "Eh?" Dan Quinn yang terlempar menjauh, hanya bisa kembali stabil menggunakan sihir agar tidak terluka lebih parah lagi.
Hal itu mengizinkannya menatap keajaiban di depan, dengan tubuh si pria besar kehilangan semua luka. Tangannya kembali segar, tombak di kanan dadanya menghilang, luka segar dan nanah di tubuhnya meledak menjauh dengan menjijikkan.
Selesai membersihkan tubuh si pria, simbol baru tergambar di punggung sang raksasa. Sebuah menara dengan petir yang menyambar di atasnya.
Pria itu bergerak, membuat Robin dan Quinn bergidik mundur agak jauh, memberikan ruang yang sangat besar dari George untuk bangkit dari kematiannya.
Berdiri tegap, sang pria mencari sekeliling untuk musuhnya, hanya menemukan Robin yang sedang menggendong anak semata wayang yang terlalu dia cinta.
Kakinya melangkah mendekati si pemuda, "I ... ini ...." Yang menyerahkan cepat Lucy kepada si pria yang menerima dengan sedikit tidak sabar.
Gerakan kasar itu, "Papa ...?" Membangunkan Lucy dari mimpinya.
"Papa di sini, Sayang." Memaksa George untuk membalas dan mengelus sang putri selama beberapa lama, menidurkan kembali anaknya sebelum akhirnya, "Mari pulang." Dia mulai mengambil langkah kembali ke ibu kota, siap untuk mengambil hadiahnya.
Hadiah yang belum juga Darius punya. Pria itu sungguh tidak percaya George dan grupnya bisa melakukan itu semua lebih cepat dari yang dia perkirakan.
Tentu saja, mereka tidak benar-benar melakukannya dalam semalam seperti kata George beberapa hari yang lalu, tapi raksasa yang sekarang sedang dalam perjalanannya kembali ke sini itu berhasil menyelesaikannya kurang dari satu minggu.
Seluruh masalah yang membebaninya berat ini berhasil diselesaikan oleh si pria dan grupnya dalam dua minggu kurang, sudah menghitung waktu mereka kembali kemari lagi.
Sesuatu yang bisa Darius syukuri, terutama saat sekarang dia mendapatkan laporan bahwa grup George sedang banyak berhenti di perjalanan.
Memberinya sedikit waktu untuk mencari alternatif, tapi tidak cukup. Adiknya belum membalas suratnya untuk meminta dia dan istrinya itu pulang dari bulan madu, sebab hanya istri sang adik yang Darius dan Athelina tahu mampu membersihkan kutukan yang tidak bisa dibersihkan oleh semua pendeta lain di seluruh dunia.
Tidak mengejutkan melihat bagaimana Darius memang menawarkan terlalu banyak insentif bagi orang berbakat untuk datang dan tinggal di dalam kerajaannya.
Contoh lainnya adalah pendeta tinggi Maplefront, wanita yang juga teman baik istrinya itu berdiam di salah satu gereja paling tua di kerajaannya yang terletak di perbatasan.
Sayangnya, tempat itu adalah asal dari masalah iblisnya ini, dan dia tidak lagi punya kabar mengenai semua orang yang berada di dalam sana. Satu-satunya asumsi yang bisa dia buat dari hal semacam itu adalah: sang pendeta tinggi sudah meninggal.
Asumsi semacam itu membuatnya sedikit menyesal melarang istrinya keluar untuk mengejar kelompok sang Badai hari itu, tapi penyesalan itu tidak bertahan lama.
Dia beruntung.
"Yang Mulia." Dirinya salah, "Pendeta Tinggi Maplefront ada di ruang takhta menunggu Anda."
Darius berdiri dari meja kerjanya, "Kau serius!?" Berhenti mengusap keningnya untuk menghantam meja penuh dokumen penting yang terus menumpuk setiap harinya.
"I ... iya, Yang Mulia." Sang prajurit menjawab Darius dengan sedikit ragu.
Darius memberi perintah, "Bawa aku kepadanya." Dan sang prajurit memenuhinya.
Di ruang takhta, Darius menangkap wujud anggun sang pendeta tinggi. Wanita itu mengenakan gaun panjang hitam dan putih, memiliki simbol gerejanya sebagai motif di tepian-tepian pakaiannya.
Tudung dia gunakan untuk menutupi kening dan rambutnya yang tidak bisa lagi Darius lihat bahkan saat si wanita sedang berlutut dengan senyuman hangat di wajah.
Saat Darius sudah mencapai takhta, "Angkat kepalamu." Dia tidak bisa menyembunyikan bahagia dari nadanya. Dunia sungguh sedang memberkati dirinya dengan membawa wanita ini tepat ke hadapannya.
Wanita yang punya sopan itu menatap Darius dekat dengan mata biru mudanya, "Pendeta Tinggi Maplefront menjawab panggilan Yang Mulia Ratu, Yang Mulia." Memberitahu Darius alasan dia datang ke sana.
"Jadi kau sudah tahu masalahnya?"
Sang pendeta mengangguk, "Kurang lebih." Quinn menjawab pertanyaan Robin yang sedang mencari kepastian dalam penjelasan sang penyihir.
Mendengarkan jawaban itu, "Apa maksudmu kurang lebih!?" Robin menaikkan suaranya, "Semua yang baru saja kau katakan itu tidak masuk akal!"
Tidak terima penjelasannya tidak masuk akal, "Itu karena kau tidak tahu apa pun, Homo!" Quinn ikut menaikkan suaranya.
Robin membantah, "Aku tidak homo!" Mengubah topik mereka.
Quinn tersenyum, "Belum." Dan mengoreksi si pemuda.
"A ...!" Robin mencoba untuk membantah seperti biasa.
Seperti biasa pula, "Bisakah kita memulai permainannya sekarang?" George memotong di tengah perdebatan mereka untuk mengembalikan keduanya ke topik yang asli dengan Lucy di pangkuan, sudah lebih baik dari sebelumnya dan sedang sibuk makan.
Awalnya, mereka bertiga berniat untuk bermain tarot, tapi setelah melihat gambar salah satu kartunya yang terlalu mirip dengan simbol di punggung George, Robin mulai melemparkan beberapa pertanyaan yang dijawab Quinn dengan santainya.
Pertanyaan-pertanyaan itu membawa mereka kemari, ke posisi di mana keduanya menatap George yang tersenyum lebar memaksa keduanya untuk menyerah.
Setelah beberapa ronde, "Kau curang, ya?" Robin mulai curiga.
"Curang?" Quinn mengangkat alisnya, "Aku?" Menatap Robin dengan sakit hati yang palsu di mata, "Teganya."
Robin maju mendekat, "Berhenti bersandiwara!" Menantang Quinn yang memundurkan tubuhnya, "Mustahil kau punya kartu terbaik setiap ronde!"
Quinn memperbaiki ucapan Robin, "Hampir mustahil." Tersenyum dengan arogan saat dia sekali lagi menunjukkan tangan menangnya kepada Robin yang melemparkan kartu-kartu di tangannya dengan kasar ke tanah.
Perdebatan yang lain tidak diizinkan George untuk berlanjut lebih jauh saat dia menatap anaknya menguap. Pria itu ikut membuang kartu di tangan ke tanah, kemudian dia berdiri meninggalkan keduanya yang masih duduk di dekat perapian.
"Uh, George?" Robin yang bingung bertanya.
"Lucy sudah mengantuk, teman kecil." Pertanyaan yang George jawab cepat, "Lanjutkan saja permainan kalian bersama. Aku akan tidur dengan Lucy."
Robin berkedip dua kali kurang percaya apa yang baru saja keluar dari mulut si pria. Kemudian, matanya menatap ke atas, melihat langit malam musim panas yang cerah di atas sana, menikmatinya sejenak sebelum ikut berdiri, ��Kalau begitu." Meninggalkan Quinn sendiri, "Aku juga."
Sang penyihir protes lemah, "Eh ...." Sebelum berdecak dan merapikan kartu tarot miliknya, lalu berdiri dan beranjak juga untuk masuk ke dalam tendanya.
Api itu terbakar dan terus terbakar, persis seperti kesadaran Robin yang menolak untuk padam begitu saja. Akhir-akhir ini, setelah pertarungan terakhir mereka sebelumnya, mimpi Robin kembali sama.
Tentu saja, mimpinya tidak benar-benar seratus persen sama persis dengan mimpinya hampir satu setengah dekade lalu, seperti bagaimana tanda di tangannya berbeda dengan tanda yang dia miliki beberapa minggu sebelumnya.
Matanya menatap tanda itu, dengan lingkaran terisi di dalam lingkaran lebih besar yang kosong itu menjadi semakin besar, penasaran akan arti tanda itu dan tanda yang ada di punggung George, serta kening dan tangan Quinn.
Dia tahu dari Quinn bahwa mereka membutuhkan tanda itu untuk mencapai pusat dunia, tapi dia tidak percaya hanya itu kegunaan tanda yang mereka semua miliki.
Dengan pikiran semacam itu, dia tertidur, ditimpa tangannya sendiri yang kini menutupi matanya. Berbeda dengan George yang masih belum juga bisa tertidur.
Pria itu sibuk mengingat apa yang dirinya lihat di pertarungan terakhir mereka, sesuatu yang Quinn ceritakan sebagai saat di mana dia kehilangan nyawa untuk beberapa lama.
Sesuatu yang George tidak ingin percaya. Sebab pada saat dia kehilangan nyawa itu, dia bertemu dengan adiknya di padang putih luas yang tidak terbatas.
Adiknya itu tersenyum menatap George yang tidak mampu mengatakan apa-apa. Hanya terdiam menatap sedarahnya itu dengan tangan yang berusaha mencapai sang adik yang terus menghindarinya.
Dia masih ingat janji-janji mereka, masih ingat semua hal yang suatu hari nanti akan mereka lakukan bersama, masih ingat pula pertengkaran terakhir keduanya.
Bagi George saat itu, itulah alasan sang adik terus menghindari sentuhan tangan dan usahanya untuk berbicara. Akan tetapi, setelah mendengarkan penjelasan Quinn terhadap kejadian dua hari yang lalu, dan mengingat kembali apa yang sang adik katakan, George hanya bisa tiba pada satu kesimpulan yang dirinya tidak suka.
Tangannya yang bebas dia kepal hingga putih, rahangnya dia adu menahan amarah pada dirinya sendiri agar dia tidak mengamuk dan membangun putrinya.
Nama sang adik dia sebut dengan syahdu saat dia membuang napas beratnya, "Elisa ...." Mendorong semua pikiran buruk itu keluar dari kepala untuk mengharapkan hari lebih baik yang akan segera mencapai dia dan putrinya.
Hari di mana sang putri yang panasnya naik terus itu tidak perlu lagi menderita karena suhu tinggi atau mimpi buruk terhadap tempat yang tidak seharusnya dia lihat.
Nanti, saat mereka sudah mencapai ibu kota Peterarchland, dia dan anaknya akan bahagia. Hal yang tidak bisa dia lakukan tanpa bantuan Robin dan Quinn yang George sudah berniat untuk balas.
Membalas budi Robin dengan membantu sang pemuda mencapai pusat dunia atau menjadi seorang pria sejati, dan membalas budi Quinn dengan ....
Kereta pikiran George berhenti. Dia tersadar dirinya tidak tahu apa yang sang penyihir inginkan atau alasan sang penyihir ikut dan membantu mereka bertiga.