Chapter 25 - Bab 25

Quinn berjalan sendirian di bawah kanopi hutan. Tasnya lebih besar dari tubuhnya, berat berisikan semua perlengkapan yang dia perlukan untuk memulai hidup baru di kerajaan lain.

Dalam perjalanannya, dia bertemu dengan Liana. Mata pendeta wanita itu menatapnya kosong, seakan tidak sedang berada di alam yang sama dengan Quinn.

"Kau baru saja melihat Neraka, huh, orang asing." Sesuatu yang Quinn komentari dengan senyuman cerah yang menipu.

Mendengarkan lelucon Quinn, "Dari mana kau tahu ...?" Kesadaran Liana kembali ke bumi, berhenti menatap masa lalu yang sudah pergi meninggalkannya.

Bersamaan dengan kesadaran Liana yang kembali, "... eh? Senyum Quinn menghilang, "Tunggu!" Tentu saja dia tidak menyangka Liana sungguh kembali dari Neraka, "Neraka sungguh ada?!"

Liana mengangkat alisnya bingung, "Iya ...?"

Mendengarkan jawaban penuh keraguan itu, "Sial!" Quinn mengentakkan kakinya ke tanah dengan frustrasi.

Melihat tingkah laku si pendek, "Kenapa?" Liana bertanya.

Quinn mengangkat wajahnya, "Itu artinya aku sudah pasti akan masuk ke dalam sana!" Memasang ekspresi paling serius di sana.

Liana terkekeh, memecah ekspresi setengah bingung dan seriusnya, membuat Quinn melakukan hal yang sama. Setelah pertukaran singkat itu, Quinn dan Liana mulai bertukar cerita, dengan Quinn mengatakan tujuannya dan menawarkan Liana untuk pergi ke tempat yang sama.

Tidak lagi punya tujuan atau rumah, Liana akhirnya setuju, memulai perjalanan panjang keduanya bersama di mana mereka perlahan saling membantu dan mengenal.

Meski begitu, hari-hari paling terang mereka adalah saat keduanya sudah berada di Peterarchland, dengan Quinn mendapatkan pekerjaan sebagai peramal gadungan dan Liana mendaki naik hierarki gereja.

Di sana, tabiat keduanya yang sudah terungkap kepada satu sama lain melengkapi masing-masing, menjadikan mereka rekan kerja yang cukup efektif untuk mencapai tujuan bersama.

Itu tentu saja jika mereka masih punya tujuan bersama, sayangnya tidak lagi. Quinn tidak lagi menginginkan Neraka di dunia hanya demi kemampuan untuk melakukan sihir, dia sudah mendapatkannya, dan Liana tidak tahu apa-apa.

Tidak ingin kehilangan kekuatan itu dengan begitu mudah, Quinn mengkhianati Liana tanpa pikir panjang, hal yang sekarang menghantui mimpinya dengan kejadian yang berulang.

Hari itu hujan, tapi keduanya telanjang, dan tidak berpelukan. Mereka berbaring agak berjauhan, terlentang di kasur Liana yang menatap langit-langit juga.

Bosan, "Quinn." Sang wanita memulai percakapan.

Sama bosannya, "Ya?" Quinn merespons dengan nada yang hampir sama.

"Tidakkah kau takut?"

"Pada apa?"

"Mati."

Quinn membuka matanya, dia mendecakkan lidah, jengkel pada mimpinya yang berusaha membuat dia merasa bersalah karena mengkhianati wanita yang sungguh mencintainya.

Misi mereka untuk menghabisi si wanita sudah masuk kemarin, dengan hari ini mereka harus berangkat sebelum kehilangan kekasih Quinn yang mungkin saja akan mencoba lari.

Namun, Quinn tahu wanita itu tidak akan lari. Bukan itu yang Quinn takutkan, dia takut akan kebalikannya. Wanita keras kepala itu tidak akan mundur, dan George akan membunuhnya.

Membayangkan itu sudah cukup untuk mengisi hatinya penuh rasa bersalah, mendorong dia mondar-mandir di kamarnya berusaha menenangkan diri sembari, "Sial, sial, sial." Mengutuk dunia ini.

Akan tetapi, dia tetap tidak tenang. Mendorongnya untuk menghilang, dimakan kabut yang menelan dan kemudian membawa dia ke tempat yang terlalu dia kenal.

Tubuhnya memadat di kamar sang mantan, muncul dari asap yang kembali menyebar lalu menghilang dari pandangan.

Matanya mencari, "Liana?" Dia memanggil lembut dengan niat berdamai, berharap bahwa mereka bisa menyelesaikan ini dengan lebih mudah.

Sayangnya, "Quinn." Ana jelas sekali tidak mau melakukan hal yang sama. Wanita itu masuk membawa pisau ritual di tangannya sementara tangannya yang satu masih berdarah segar.

"Dengar. Aku ..."

"Aku tidak peduli." Ana memotong Quinn, "Pulanglah." Mengabaikan si pendek yang menyatukan alisnya heran, "Tidur." Menonton Ana berjalan, bertelanjang, dan mengganti pakaian, "Kita punya minggu yang sibuk di depan kita."

Quinn maju mendekat, "Kau tidak mengerti, Ana." Merasa agak aman karena Ana sudah menaruh pisau itu di atas konter pakaian, "Pria yang akan kau lawan ini ...."

Lagi, "Kau yang tidak mengerti, jalang." Quinn dipotong, "Aku tidak lagi peduli." Memperjelas dan memperkeras nadanya kali ini, "Tidak." Memasang ekspresi wajah serius dengan tatapan yang membunuh, "Peduli."

Tidak ingin menyerah, "Tapi, Ana." Quinn menanyakan hal yang pernah ditanyakan si wanita kepadanya, "Tidakkah kau takut mati?"

Ekspresi serius Liana dimakan nostalgia yang mengisi kepala, membuat matanya berkaca-kaca merah, tapi cepat semua energi itu berubah menjadi amarah saat dia menangkap wujud simbolnya di kening sang penyihir.

Berusaha menenangkan diri, Liana menjatuhkan pandangannya, "Apakah kau kemari untuk menghinaku?" Lalu berbisik.

"Apa ...?" Quinn tidak mendengarkan.

"Aku bilang." Ana mengulang, "Apakah kau kemari untuk menghinaku!?" Melemparkan tuduhan, "Mengasihaniku?!"

"Aku tidak ...."

"Karena terakhir kali kau ada di sini!" Tidak menerima bantahan, "Kau mencuri semuanya dariku!"

"Aku akan mengembalikannya!" Quinn menaikkan suaranya, "Aku akan mengembalikannya." Menawarkan solusi bodoh yang dia harap bisa memperbaiki hubungan mereka.

Tentu saja, "Lupakan saja." Quinn tidak terkejut saat Liana menolak tawarannya, "Aku akan mengambilnya dari tubuhmu sendiri, Cinta." Dan melemparkan ancaman terakhir yang memberitahu Quinn bahwa tidak ada lagi yang bisa dia lakukan untuk sang kekasih.

Quinn dimakan asap dan menghilang, kembali ke rumah, meninggalkan Liana sendirian untuk terhuyung duduk di kasurnya, menggunakan banyak tenaga untuk mengontrol diri agar tidak menerima tawaran sang penyihir dan menahan perubahannya.

Perubahan yang terjadi sekarang, di tengah malam yang membuat Darius merasa kesepian memilah-milah surat di meja kerjanya yang tidak pernah kekurangan pekerjaan.

Istrinya sudah tidur untuk beberapa lama, mengizinkan dia melarikan diri kemari seperti biasa untuk menyelesaikan sedikit urusan yang dia anggap penting seperti balasan dari adiknya.

Satu balasan yang sampai sekarang belum mencapai dirinya juga, sementara sang Badai sudah hampir menyelesaikan tugasnya. Masalah besar bagi dirinya yang mau menjaga reputasi.

Dia mulai memikirkan alternatif lain selain istri adiknya, seseorang yang bisa melakukan hal yang kurang lebih sama dengan keajaiban yang dimiliki si wanita.

Cuma ada satu yang seperti itu di kerajaan, tapi .... Pikirannya dipotong suara keras dari gerbang istana, keributan itu mengundang perhatiannya yang berdiri saat seorang prajurit lari terengah-engah masuk ke ruang kerjanya.

"... Badai, sang Badai ada di ruang takhta menunggu Anda, Yang Mulia!"

"Kenapa?"

"Hamba tidak tahu!"

Darius berdecak, "Aku mengerti." Berjalan keluar untuk menghampiri sang pria besar yang dia harap tidak mampu membangunkan istrinya yang sedang tidur.

Saat Darius tiba di ruang takhta, grup George kekurangan sang penyihir, dan wajah mereka yang tersisa tampak khawatir dengan anak dari sang Badai berada di gendongan erat si pria, tampak menderita.

Segera setelah mata mereka menemukan Darius, "Sembuhkan anakku!" Sang Badai cepat memberi perintah kepada dirinya, raja dari kerajaan ini.

Darius menjawab dengan tenang, "Tentu saja aku akan melakukannya." Mengambil waktunya berjalan ke takhtanya dan duduk di sana santai.

"Kalau begitu ...!"

Santai memotong dan menghapus senyum dari muka Robin, "Setelah kalian menyelesaikan tugas kalian." Dan mengingatkan mereka bertiga akan perjanjian yang sudah dibuat bersama.

"Aku akan menyelesaikannya!" George membantah, "Sembuhkan Lucy!" Berdiri dengan marah, "Sekarang!" Mengentakkan kakinya ke lantai keramik istana, lebih kuat dari kali pertama dia ada di sini.

Bangunan yang terletak di atas bukit tinggi itu bergetar hebat, tapi Darius tidak tergerak. "Kau tahu aturannya, Tuan Mayn." Tersenyum tahu bahwa kekuatan diskusi ada pada dia.

Terprovokasi, "Aku akan membunuhmu!" George mengepalkan tangannya, mengambil pose untuk meledakkan tenaga ke kaki dan menggapai Darius dengan cepat.

"Kau bisa melakukannya." Darius tidak berubah, "Tapi itu tidak akan mengubah apa pun." Menjelaskan dengan nada datar yang sederhana, "Anakmu tetap akan sakit, dan kau tidak akan bisa menyembuhkannya."

George berpikir, "Aaah!" Lalu marah pada kenyataan. Dia mengentakkan kakinya lagi, jengkel pada ketidakmampuannya untuk melakukan sesuatu demi kesembuhan instan sang putri yang sekarang sedang bernapas berat kesakitan di gendongan.

Mengadu kedua rahangnya dengan kuat, "Aku akan menyelesaikannya malam ini." George mengiyakan keinginan Darius.

Sang raja membungkuk berterima kasih, puas. Mengizinkan grup George pergi, "Kenapa kita mengusir mereka?" dan istrinya keluar dari bayangan.

Darius membalikkan kepala takut, "Athelina ...?" Takut pada kenyataan yang sekarang dia lihat berupa wujud sang istri yang menatapnya dengan paduan bingung dan kecewa.

Menemukan mata Darius, "Kenapa kita mengusir mereka, Darius?" Athelina mengulangi pertanyaan yang sama.

Darius menelan ludah, "Aku tidak ingin melakukannya, tapi ...." Mencoba membela dirinya sendiri kepada sang istri yang kini berjalan mendekat, "... Clara dan Lucius masih belum bisa menjawab." Menatapnya dengan jutaan ragu, "Bahkan walau aku menerima mereka, kita masih belum bisa menyembuhkan anaknya."

"Pendeta Tinggi Maplefront bisa melakukannya!" Athelina membantah.

Darius mengernyit, masih belum mengatakan kebenaran soal Maplefront kepada Athelina karena tahu betul sang istri punya teman baik di sana.

Meski begitu, "Athelina ...." Darius lebih tidak ingin tampak bersalah, "... Maplefront sudah hancur." Karena itulah dia mengatakan kebenarannya kepada cintanya.

Athelina berkedip dua kali, "Kalau begitu ...." Lalu mengambil kesimpulannya sendiri, "... aku."

"Aku?" Darius mengangkat alisnya, "Apa maksudmu aku?"

"Aku yang akan melakukannya." Athelina berjalan menjauh, "Aku yang akan menyembuhkan Lucy." Bersiap berpakaian untuk mengejar kelompok George yang sekarang sedang mengambil persiapan terakhir mereka di rumah.

Robin dibantu Quinn mengenakan zirah penuh yang sudah dia gunakan beberapa kali itu sementara George entah melakukan apa di bawah bersama putrinya.

"Sudah siap menjadi seorang pria, Robin?" Quinn bertanya, berjalan menjauh dari Robin untuk melihat penampilan penuh pemuda itu di dalam zirah ciptaan Quinn sendiri.

Mendengarkan pertanyaan itu, Robin mengangguk. Mengingat lagi semua latihan dan pelajaran yang George berikan kepadanya, selama beberapa hari terakhir sejak sang pria pulang dari pertarungannya.

Dia sudah belajar cara bergerak dengan lincah di dalam zirahnya, bahkan kuda-kuda untuk tidak terdorong mundur di kala menangkis menggunakan zirah.

Selain itu, dia juga sudah belajar beberapa gerakan pedang dari sang pria besar. Meskipun sayangnya, dia harus menggunakan ranting pohon sebagai alat latihan karena tidak ada dari mereka yang punya pedang, dan pedang-pedang yang dijual di pasar masih agak berat untuk Robin angkat sendirian.

"Bagus." Sebuah kekecewaan yang sepertinya Quinn baca saat si pendek menggerakkan tangannya, mengendalikan pedang yang sudah memakan waktunya untuk keluar dari persembunyian.

Senjata tajam itu menyala di bawah cahaya purnama, bersinar lembut menunjukkan ukiran-ukiran tulisan lama yang Quinn taruh di sana dengan satu tujuan sederhana, yaitu untuk membuat Robin lupa.

Mantra yang dia ukir punya syarat tertentu untuk aktif, tapi Quinn berani menjamin dengan nyawanya mantra itu akan aktif saat Robin membutuhkannya.

Bangga dengan pekerjaannya, "Bagaimana?" Quinn melemparkan pertanyaan dengan senyum lebar untuk menyembunyikan konflik dalam hatinya sendiri.

"Ini ...." Robin menginspeksi pedang barunya, "Saatnya pergi!" Dipotong oleh George yang sudah selesai melakukan persiapannya.

Sekarang, pria itu berdiri di luar dengan putrinya di gendongan, hanya berusaha untuk menurunkan panas anaknya sebelum mereka keluar dengan usaha yang sia-sia.

Tidak lagi melihat jalan lain, George mengambil satu-satunya jalan yang dia tahu, berjalan ke depan penuh keyakinan diikuti dua orang yang mengejar dari belakang.

Kematian sudah menunggu, lagi pula.