Chapter 21 - Bab 21

Sudah beberapa hari sejak sang ayah mengambil keputusan sepihak itu, tapi Lucy masih belum mengatakan apa pun kepada si pria perkasa. Alasannya terlalu sederhana: tidak ada yang berubah.

Paling tidak, begitulah pikir Lucy sampai hari yang dia takuti tiba.

"Papa ...?" Matanya menangkap wujud sang ayah yang bersiap keluar tanpanya, melihat pria itu berdiri di depan pintu rumah sementara mereka untuk keluar tanpa sepengetahuan Lucy.

Berkomentar, "Sudah kubilang dia akan menemukan kita, George." Adalah Quinn yang hanya mengangkat bahunya sembari berjalan keluar terlebih dahulu, "Aku akan menunggu di luar."

George mengangguk, berbalik memasang senyum hangatnya yang biasa kepada Lucy yang sibuk berusaha mengerti mengapa sang ayah melakukan ini semua.

"Lucy." George memalsukan senyumnya, "Sayang, Papa harus keluar sebentar." Berlutut cukup rendah untuk sejajar dengan mata Lucy yang melihat melewati kebohongannya.

Cepat menjawab, "Lucy ingin ikut." Lucy menggenggam tangan besar sang ayah yang memegang pundaknya dengan semua tenaga yang tubuh kecilnya punya, tidak mau ditinggalkan.

George membuat napas yang agak berat, menatap Robin di belakang yang menggeleng tidak tahu, benar bingung harus mengatakan apa kepada Lucy yang bahkan tidak mau menatapnya.

Melihat tidak ada satu pun orang yang mau menolongnya, "Bagaimana kalau begini." George menawarkan satu-satunya hal yang dia tahu putrinya suka, "Lucy tinggal di sini sejenak, dan saat Papa pulang ...."

Sayangnya George gagal mengerti satu hal, "Tidak!" Lucy tidak mencintai apa pun di atasnya cintanya kepada George, "Lucy ingin ikut!" Anak gadis itu menaikkan suaranya.

Sesuatu yang tidak pernah dia lakukan sebelumnya, mungkin karena ini tidak pernah terjadi sebelumnya pula.

Tangannya berusaha menggenggam lebih kuat, perlahan kehilangan warna. Mata si gadis berkaca-kaca, menatap memelas ke arah sang ayah yang hampir menyerah.

Namun, "Papa akan segera pulang, Sayang." Masih segar semua kesempatan putrinya itu bisa mati di kepala George, membuat dia pada akhirnya tega menarik tangannya mundur dan memaksa sang anak gadis untuk berdiri diam di sana.

Tidak percaya.

Lucy tidak percaya.

Begitu tidak percaya dia bisa meragukan ayahnya yang kini berjalan semakin jauh darinya. Lucy bisa merasakannya, semua kehangatan itu sirna begitu saja.

Mengkhayalkan hal itu, kakinya bergerak maju selangkah.

Membuat sang ayah merespons, "Lucy!" Membentak Lucy yang kembali membatu, "Jadilah anak yang baik dan tunggu Papa kembali." Berusaha menemukan mata pahlawannya yang kini sudah berjalan keluar meninggalkan dia berdua dengan musuh bebuyutannya.

Mungkinkah dia salah dan ternyata bukan Robin yang akan merebut sang ayah darinya tapi Quinn? Dan pertanyaan lain yang mirip mulai mengisi kepalanya, hanya menghilang dan berhenti saat sang musuh bebuyutan menyentuh pundaknya.

Lucy bergidik dan berbalik untuk menemukan senyum penuh simpati si pemuda di sana.

"Mereka pasti akan pulang lebih cepat dari kau bisa bilang 'bistik', Lucy."

"Bistik."

"... mungkin tidak secepat itu, tidak."

Tahu betul bahwa Robin salah ditambah dengan jawaban penuh putus asa dari sang musuh bebuyutan, Lucy akhirnya hanya menundukkan kepalanya, jatuh ke dalam pikiran panjang yang terus menghantuinya sepanjang hari.

Kenapa ...? Terus menggema di pikirannya, gagal dibangunkan oleh mandi atau bistik buatan si musuh bebuyutan yang kini menjadi satu-satunya temannya di rumah.

Apa yang berhasil menyadarkannya dari menjadi setengah sadar adalah malam pertamanya tanpa dada sang ayah untuk dia jadikan bantal yang nyaman dan hangat.

Lucy berdiri sendiri menatap pintu kamar mereka, "Mau tidur bersamaku, Lucy?" Ditonton Robin yang menawarkannya kehangatan palsu yang pasti tidak sebaik milik sang ayah.

Sadar akan hal itu, Lucy menggelengkan kepalanya, menolak tawaran Robin yang hanya tersenyum menerima keinginan si anak gadis muda yang kini memberanikan dirinya.

Memberanikan diri memasuki kamar mereka sendiri, dan sekali lagi dihadapkan pada kenyataan bahwa ayahnya tidak ada di sana bersamanya untuk menemaninya tidur.

Melihat sekeliling, Lucy sadar akan betapa kosongnya kamar mereka itu tanpa tubuh besar sang ayah, dengan tas milik mereka saja yang terletak di sudut yang menjadi satu-satunya harapan bahwa pria itu akan pulang.

Lagi pula, semua pakaian ayahnya ada dalam tas itu juga. Begitu pula pakaian Lucy yang kini melemparkan tubuhnya ke kasur tengkurap, meraba-raba seprei putih yang jarang sekali dia rasakan itu.

Tidak sama .... Pikirannya menyimpulkan, selesai membandingkan seprei itu dengan dada sang ayah yang sekarang berada entah di mana.

Tidak merasakan nyaman yang sama seperti saat dia tengkurap di dada sang ayah, Lucy membalikkan tubuhnya. Kini terlentang dia menatap langit-langit kamarnya, masih berusaha paham mengapa sang ayah meninggalkannya.

Menebak-nebak tanpa kepastian mengantarkannya pada kantuk yang berlanjut pada tidur dengan semua pikiran buruk itu, membuatnya melihat mimpi paling mengerikan sejauh ini.

Sang ayah melepaskan genggaman tangannya dengan Lucy, meninggalkan anak itu sendiri dalam kegelapan yang sepi, sunyi, tidak kembali lagi.

Dan Lucy hanya bisa menunggu, menunggu begitu lama hingga dia sudah lupa caranya menggerakkan kaki, menunggu begitu lama sampai dia terbangun sendiri.

"Papa!" Tangannya menggapai keluar, menemukan tangan yang bukan milik ayahnya.

Matanya menatap si musuh bebuyutan yang sedari tadi mengelus rambutnya dengan emosi yang bercampur aduk, "Selamat pagi, Lucy." Mengabaikan ucapan selamat pagi dari si pemuda untuk bangun sendiri.

Lari dari elusan sang musuh yang hanya tersenyum pada tindakannya, "Ada permintaan khusus untuk sarapanmu hari ini?" Lucy sekali lagi mengabaikan lawan bicaranya, menyibukkan diri mencari-cari pakaian gantinya di dalam tas.

Satu tindakan yang membuat dia sadar akan dua hal, yang pertama adalah dirinya tidak pernah melakukan ini sebelumnya, dan dia tidak bisa menemukan pakaian sang ayah di dalam tas mereka.

Melihat harapan kecilnya akan sirna karena hal itu, keinginannya untuk menggali lebih dalam sangat besar, tapi dirinya tidak mampu merusak lipatan dan susunan karya ayahnya.

Akhirnya, dia hanya bisa membodohi dirinya sendiri, menyimpulkan bahwa pakaian sang ayah ada di dasar tas mereka berdua dan mengeluarkan salah satu gaun miliknya.

Matanya menatap gaun itu dekat, kembali diingatkan bahwa kebanyakan bagian dari hidupnya sejauh ini melibatkan sang ayah, termasuk mengenakan pakaian.

Hal itu membuatnya tidak benar-benar tahu bagaimana cara memakai gaunnya, menjadikan dia menatap ke arah sang musuh bebuyutan, "Hm?" Yang merespons dengan senyuman dan mata yang lembut.

Merasa lengket di baju tidurnya yang kemarin dia kenakan dengan susah payah sendiri setelah mandi dengan sang musuh bebuyutan, Lucy menelan harga dirinya.

Dia memajukan baju itu untuk dilihat langsung kepada si pemuda, berusaha berbicara, "Uuuu ...." Tapi hanya bisa mengeluarkan suara ragu yang lemah.

Robin menginspeksinya sebentar, "Ah!" Sebelum menepuk tangannya sekali saat dia sadar apa yang berusaha Lucy minta, "Bagaimana kalau mandi dulu?" Kemudian menawarkan solusi.

Mendengarkan tawaran sang musuh, Lucy menurunkan pertahanan dan baju itu, mengizinkan sang musuh bebuyutan untuk melihat kepalanya mengangguk kecil.

Anggukan itu membuat Robin tersenyum semakin lebar, mengizinkan keduanya untuk memulai hari mereka bersama yang berakhir di meja sarapan dengan Robin membuat panekuk dari semua kentang yang mereka punya di dapur.

Kue datar berkuah madu itu Lucy tatap dengan mau, tidak pernah makan atau dibuatkan hal semacam ini sebelumnya oleh sang ayah yang memang kurang bisa membuat hal lain selain makanan berkuah.

Tidak bisa lagi menahan nafsu, Lucy menyendok, memasukkan sepotong kue itu ke dalam mulut kecilnya yang mulai mengunyah dan mengunyah.

Robin menonton ekspresi anak itu berubah menjadi lebih ceria, menatap sekitar mencari sesuatu atau seseorang sebelum kembali ke ekspresi murung yang sama.

Tersadar akan fakta bahwa ayahnya tidak ada di sini untuk ikut senang bersamanya, Lucy kehilangan semangat. Dia masih memakan panekuk itu dan tambah, tapi senang di matanya tidak lagi ada hingga waktu sarapan mereka berakhir.

Lucy hanya duduk di sana saat dia sudah kenyang, menemani Robin yang sedang membersihkan meja makan dan piring yang sudah mereka gunakan.

Setelah Robin selesai, "Mau menemaniku latihan, Lucy?" Dia berusaha mengajak Lucy untuk menonton dirinya berlatih di halaman belakang.

Akan tetapi anak gadis muda itu menggelengkan kepala dengan murung, hanya duduk di sana menatap ke bawah sementara pikirannya kembali diisi buruk yang sama yang menghantuinya sejak kemarin.

"Begitukah ...." Mengerti perasaan Lucy, Robin kembali duduk di meja makan menemani sang gadis muda, "Kau tahu, Lucy." Dan mulai bercerita tentang hidupnya.

"Aku juga pernah merasakan hal yang sama sepertimu." Dengan kalimat pertamanya gagal menarik perhatian Lucy yang kurang peduli, "Merasa bahwa Papaku membenciku dan semacamnya. Tapi ...." Hingga dia pindah pada kalimat kedua yang cepat mendapatkan respons.

Lucy memotong, "Papa membenci Lucy!?" Matanya penuh takut.

Berusaha menghentikan salah paham, "Tidak!" Robin membantah, "Tentu saja, tidak!"

Agak tenang oleh jawaban Robin, "Kalau begitu ...." Lucy melemparkan pertanyaan yang lebih lemah, "... apa?"

Telah mendengarkan pertanyaan si gadis muda, "Dia terlalu menyayangimu, Sayang." Robin mulai menjelaskan, "Tidak mau kau terluka karena ikut bersamanya."

Dia membantah sang musuh bebuyutan dengan bingung, "Tapi Lucy bisa menjaga diri Lucy sendiri ...." Mengingat kembali masa lalu saat dia berhasil menghentikan semua orang-orang itu dari melukainya.

"Aku yakin kau bisa, Lucy." Robin memegang pundaknya, "Hanya saja, Papamu tidak percaya kau bisa melakukannya." Memberikan kabar yang mengejutkan Lucy.

Kenapa Papa tidak percaya pada Lucy? Adalah isi kepalanya sekarang, "... kenapa ...?" Isi yang tidak sengaja bocor keluar untuk didengar Robin yang agak ragu untuk memberi tahu.

Dia agaknya tidak bisa mengatakan semua alasan yang begitu jelas di mata orang lain itu karena ekspresi kesakitan di mata sang gadis muda, tapi di saat yang sama; ekspresi sakit itu juga adalah alasan dia harus mengatakannya agar gadis muda tidak berpikiran hal yang salah tentang ayahnya.

Menarik dan membuang napas yang berat, "Kau bahkan tidak bisa mengenakan gaunmu sendiri, Lucy." Robin mulai menjatuhkan fakta dan alasan, "Bagaimana Papamu bisa percaya kau bisa menjaga diri sendiri?"

Mendengarkan pernyataan Robin, "Kalau Lucy bisa melakukannya ...." Lucy mulai berspekulasi sendiri, "... apakah Papa akan pulang?"

Robin membuka dan menutup mulutnya, berusaha mencari kalimat yang tepat untuk dikatakan kepada si gadis muda yang terlalu berharap pada jawaban Robin, jelas sekali ingin punya kepastian bahwa sang ayah akan kembali kepada mereka.

Keinginannya untuk mengatakan iya ditahan oleh fakta bahwa dia sendiri tidak tahu kapan Quinn dan George akan pulang ke rumah dari misi mereka kali ini.

"Mungkin ...." Robin memilih netral, "... Jika Lucy punya hadiah untuk diberikan kepada Papa ...." Hanya untuk dipaksa melanjutkan oleh ekspresi kecewa dan ketakutan lawan bicaranya, "... dia akan pulang." Membuat Robin mengatakan omong kosong yang tidak ada dukungan dari kenyataan.

Ekspresi Lucy perlahan kembali netral, anak itu kemudian melompat turun dari kursinya dan berjalan ke kamar tempat dia dan sang ayah biasa tidur sembari terus membisikkan, "Hadiah ...." Dengan Robin mengikuti di belakang.

Di dalam kamar, Lucy mulai mencari-cari di sekitar tas mereka dan di dalam lemari, tidak menemukan kantung koin emas yang dirinya cari.

Sekali lagi, dia terdiam di tempatnya. Matanya berkaca-kaca, tidak bisa lagi menahan air mata, "Tunggu, tunggu, tunggu!" Robin yang akhirnya tahu apa yang Lucy cari harus membantunya.

Sayangnya, pemuda itu tidak punya uang juga. Jadi saat Lucy menatapnya dengan penuh harap, "Bagaimana kalau kita bekerja sampingan?" Robin menawarkan solusi lain yang juga akan mengisi waktu mereka.