George menghentikan langkahnya, mendengarkan tali panah ditarik dan dilepaskan, dengan anak-anak mereka kini melayang di udara, menggelapkan langit siang musim panas dengan bayangan mereka yang mendung menandakan hujan rasa sakit yang sebentar lagi akan tiba.
Pria itu tersenyum membuka tangannya lebar-lebar dan menutup mata, menyambut kedatangan hujan panah itu ke arah tubuhnya yang kini memiliki Lucy dan kawan-kawan di belakang punggungnya.
Meski begitu, Quinn punya ide yang berbeda. Si pendek menggerakkan tangannya, mengangkat naik mereka seakan sedang mengembalikan ombak yang tak kasat mata.
Lalu, tangannya mengepal, menunjukkan ombak tak kasat mata yang dia kendalikan berupa angin yang kini mengamuk dan berputar di udara, menangkap setiap panah yang siap menghujani mereka, dan melemparkan anak-anak panah itu jauh dengan satu gerakan tangan yang lain.
George membuka matanya, prediksinya salah. Melihat ke udara, panas terik mentari kembali bersinar kepada mereka. Si raksasa tidak tahu kenapa.
Semua yang dia tahu adalah, ini merupakan saatnya untuk menghabisi mereka semua. Dia berlari, lebih cepat dari ekspektasi orang terhadap tubuhnya yang besar.
Formasi musuh terbelah, mengizinkan pasukan berkuda yang berjumlah ratusan untuk keluar dari dalam mereka. Semua kuda itu sama, bersisik hijau tua yang mengkilap di bawah cahaya, dengan mata merah dan mulut berlendir lengket.
Begitu pula pengendara setiap dari mereka yang membawa tombak besar di tangan. Tercipta dari tulang, mereka tampak begitu lemah di depan George yang tersenyum lebar, mengepalkan tangannya dan meninju.
Salah satu dari mereka jatuh dan pecah, kudanya melawan berusaha menggigit George yang menangkap leher sang kuda, melemparnya ke arah pengendara-pengendara lain yang berusaha mendekat juga.
Belum puas, George menunggu lebih banyak datang. Tombak mereka mulai melukainya. Senjata bergerigi itu menarik dan mengupas kulitnya, membuat si pria berdarah, tapi tidak menyerah.
Sang pria dikerumuni begitu banyak, sementara sisanya berusaha mencapai Quinn dan kawan-kawan dengan sia-sia. Hanya mampu menabrak halangan tak kasat mata ciptaan Quinn, mereka semua dipaksa menghadapi si pria perkasa.
Quinn dan Robin menonton tanpa senyuman, dikontras oleh Lucy yang bertepuk tangan pelan seakan begitu percaya bahwa sang ayah akan menang di antara serangan ratusan prajurit berkuda yang bukan lagi manusia.
Tidak bisa lagi melihat si pria di antara kerumunan pasukan berkuda musuh, Quinn membuat keputusan. Dia menggerakkan tangannya, merapal mantra lama, dan memaksa semesta tunduk pada keinginannya.
Sebuah bola api raksasa tercipta, dia tembakkan langsung ke arah kerumunan itu.
"George!" Quinn memanggil memperingatkan, membuat George berbalik. Sang pria menatap bola api itu di mata tapi tidak menghindar, dimakan ledakan besar yang menghancurkan semua pengendara kuda yang mengelilinginya.
George sendiri masih berdiri, berbau gosong dengan rambut yang sedikit terbakar, tapi tidak kehilangan senyuman. Tidak ada lagi pengendara kuda musuh yang berdiri, membuat tentara seberang menembakkan anak panah kedua.
Quinn kembali menggerakkan tangannya, memaksa angin untuk jatuh ke dalam inginnya dan melindungi mereka bertiga. Sang penyihir memutuskan untuk mengetes teori yang muncul di kepalanya setelah melihat George selamat dari bola apinya.
Melihat dirinya tidak dilindungi, George hanya tersenyum lebar menantikan rasa sakit yang menyegarkan. Tangan kirinya dia gunakan untuk menahan anak panah yang akan membuat dia buta.
Sisa dari tubuhnya yang setengah telanjang dia biarkan, merasakan darah segar dan luka baru di setiap tempat, membuat dia terbangun dari bosan dan menjadi semakin bersemangat.
Kakinya menapak tanah kuat, "Lagi." Maju selangkah menantang musuh yang mulai bergerak sesuai perintah komandan mereka yang masih menonton George dengan mata yang bosan.
Tentara biasa mereka mulai maju, dengan pasukan bertombak dan perisai berada paling depan berusaha mengusir George mundur dengan menodongkan senjata mereka ke depan.
Di belakang mereka adalah prajurit yang membawa pedang dan perisai, sementara di atas kepala para prajurit itu merupakan makhluk-makhluk dengan wujud menjijikkan yang bisa terbang dan membawa belati di tangan.
Robin memperhatikan George berdiri diam dengan santainya, perlahan mengerti bagaimana sang pria bisa mendapatkan julukannya di antara orang-orang.
Mengingat kembali dua hari latihannya dengan sang pria, Robin juga menjadi paham akan tujuan dari mereka semua. Mulai mengerti prinsip maskulinitas yang George bawa.
Seorang pria yang mampu berdiri sendiri menghadapi dunia dan menanggung segala konsekuensinya kini berdiri menghadapi tentara dunia lain.
Jarak di antara George dan sisa tentara musuh yang paling tidak berjumlah seribu itu kini hanya beberapa jengkal, dengan musuh masih menodongkan tombaknya ke arah George yang tersenyum.
Iblis-iblis itu menunggu, begitu pula Robin dan kawan-kawannya yang tidak berada di depan. Mereka menunggu George membuat gerakan yang si pria buat dengan begitu lambatnya.
Dalam usaha si pria perkasa untuk menggapai mata tombak yang dipegang salah satu iblis itu, dia mendapatkan reaksi perlawanan yang cepat, dengan semua iblis bertombak yang bisa mencapainya dengan senjata mereka menusukkan senjata itu ke depan.
Quinn melesat ke depan, tidak ingin mengambil risiko dengan senjata-senjata yang memiliki ukiran mantra tua. Dia cepat menaikkan pertahanan untuk melindungi George dari hampir semua senjata itu, membuat mereka gagal menusuk habis tubuh si pria, dan hanya bisa melengket diam di udara pada penghalang tak kasat mata lain ciptaan si wanita.
Mengabaikan tangannya yang berdarah ditusuk beberapa tombak, "Terima kasih." George mengucapkan tanpa menatap Quinn yang kini melayang di udara tepat di atas sang pria.
"... sama-sama ...." Quinn menjawab dengan ragu, menatap tangan kiri George yang dia duga tidak akan bisa lagi digerakkan itu.
Sebuah dugaan yang salah. Sang pria menggerakkan tangannya, menggoyang-goyangkan lengannya untuk merasakan semua perih di sana.
Senyumnya semakin lebar. Ototnya berkontraksi, dia menarik mundur tangan kirinya dengan paksa, mematahkan banyak mata tombak yang kini matanya melekat di lengan kirinya itu.
Tidak ada dari mata tombak itu yang berhasil menembus dagingnya hingga keluar di sisi yang lain, tapi semua dari mereka menancap cukup dalam untuk lebih memilih patah dari seluruh badan tombak yang kini hanya berupa tongkat.
"Mari mulai." George memberikan isyarat, membuat Quinn menjatuhkan penghalangnya, dan memfokuskan semua tenaganya pada sihir ofensif.
Sang pria meninju kiri dan kanan, menghancurkan garis pertahanan musuh yang cepat kehilangan banyak perisai mereka yang hancur hanya dari satu ayunan tinju George.
Berlusin-lusin terlempar ke udara menabrak rekan mereka yang lain di atas sana. Setiap usaha mereka untuk melukai sang raksasa hanya membuat pria itu lebih kuat, lebih sadar, lebih ganas.
Mereka yang mencoba melukai Quinn yang juga sudah menembakkan puluhan sihir ofensif sedari tadi, menemukan diri mereka sendiri tidak bisa melakukannya sama sekali, dihalangi oleh penghalang yang sama yang sang penyihir sudah gunakan berkali-kali di pertempuran yang agak panjang ini.
Robin menonton dengan mulut menganga, sementara Lucy sibuk bertepuk tangan pada penampakan di depan mereka. Tidak ada lagi yang merasakan lelah dari berdiri berjam-jam di sana memperhatikan tindakan rekan mereka tanpa melakukan apa pun.
Sibuk terserap dalam pembantaian yang ditampilkan oleh dua orang eksentrik di dalam grup mereka. Pembantaian yang juga mulai disadari komandan musuh yang memperhatikan prajuritnya lari dan pecah ke segala arah, kini diburu oleh Quinn dan George yang menginginkan lebih banyak.
Beberapa bahkan berlari ke arah Robin dan Lucy, memaksa Robin untuk menangkis serangan yang berat luar biasa dari iblis-iblis itu agar tidak ada dari mereka yang melukai Lucy sampai Quinn membereskan mereka juga.
Setelah mereka selesai, tidak ada lagi iblis yang berdiri atau bisa bergerak. Tentara musuh sudah mati, persis seperti hari yang sebentar lagi akan selesai.
Langit siang yang terang tidak lagi ada, digantikan oleh merah senja yang kalah merah dengan darah yang mewarnai tanah yang ditutupi oleh mayat-mayat musuh mereka.
George tersenyum puas, Quinn menarik napas dalam berusaha membuang semua adrenalin agar bisa kembali berpikir tenang, Robin masih sibuk terkagum seperti Lucy yang masih sibuk bertepuk tangan dan tertawa senang.
Mereka semua tahu pertempuran itu belum selesai. Masih ada satu iblis di sana yang berdiri tegap di atas semua yang lainnya.
Dia tinggi, sama tinggi dengan George bila tidak menghitung tanduknya yang sama besar dengan lengan atas George dipangkalnya. Iblis berkulit merah itu sudah menonton dalam diam sedari tadi, seakan memang sedang menunggu saat ini.
Sang iblis melompat tinggi ke udara, kemudian jatuh dan menciptakan kawah tepat di depan George yang masih tersenyum lebar menatap sang iblis yang tidak mengubah ekspresi bosannya.
"Aku menantangmu," ucap sang iblis menunjuk George.
"Ho?" George mengangkat alisnya, "Kau menantang orang yang lukanya paling parah di antara kami semua, huh?" Menertawakan musuhnya, "Ada apa?" Menghina sang iblis, "Takut?"
Sang iblis mendengkus, "Jangan hina aku, manusia." Menjawab semua kalimat George dengan tenang yang diperhitungkan, "Aku tahu apa dirimu." Menjelaskan diri dan alasan, "Aku tahu apa kemampuanmu." Dan menutupnya dengan bangga, "Kau adalah tandinganku."
Kalimat penutup yang membuat George tertawa terbahak-bahak. Pria dengan tubuh yang penuh luka itu tidak bisa menahan dirinya, sudah begitu lama tidak mendengar kalimat itu keluar dari mulut musuh.
Saat dia selesai, "Tidak, tidak, tidak." George memegang pundak sang iblis berusaha memperbaiki napasnya, "Kau sedang mengkhayal, temanku." Mengabaikan tatapan jijik sang iblis yang bersilang dada kepada tangannya, "Tidak ada di tiga alam yang bisa menandingi aku." Hanya melepaskan tangannya saat dia benar-benar tenang, "Tidak ada!" Dan siap untuk memproklamasikan kebenaran.
Lagi, "Buktikan padaku." Sang iblis mendengkus.
Hal itu membuat George kehilangan senyumnya sejenak, tidak percaya bahwa iblis di depannya masih berani menantangnya bahkan setelah dia melihat semua yang George telah lakukan di pertempuran kali ini.
Melihat ekspresi George berubah, Quinn menduga bahwa sang pria tidak akan menerimanya. Begitu pula Robin yang merasa si pria sudah terlalu penuh luka untuk bertarung secara adil. Hanya Lucy yang tahu kebenarannya.
Ataukah dia sungguh berpikir aku lemah saat ini karena semua pertarungan itu ...? Tanya George di kepala, satu pertanyaan yang membuat senyumnya kembali ke wajah.
"Tentu saja." Membuat dia menerima tantangan sang iblis di depannya.
"A ...!" Robin dipotong Quinn tidak percaya, "George!" Dia tidak percaya sang pria raksasa sebodoh legendanya.
"Apa?" Si bodoh bertanya dengan sedikit terganggu.
"Apakah kau sudah gila?!"
"Belum."
"Kalau begitu kenapa kau menerimanya!?" Quinn memaksakan jawaban keluar.
"Kenapa ... karena dia menantangku." George menjawab enteng.
"... ha?" Quinn berbisik bingung.
"Bagaimana kalau kau mati?!" Membiarkan Robin melemparkan ancaman.
"Aku tidak akan mati." Ancaman yang dijawab cepat oleh sang pria perkasa.
"Da ...!"
Demi membantah dan menutup mulut kedua anggota grupnya yang begitu keras kepala, "Karena aku adalah George Mayn!" Dia meneriakkan namanya ke angkasa, membiarkan semua orang mendengarkan dan tahu siapa dirinya.
Berhasil mendapatkan ketenangan, "Sekarang, menyingkirlah." George melemparkan perintah yang dipenuhi semua rekannya yang sedari tadi semakin dekat dengannya dalam usaha untuk membujuk dia untuk tidak melakukan ini.
Bertarung dengan komandan pasukan iblis, salah satu dari empat raja, si Merah.