"Dan akhirnya. Cerita bermula sudah." Sebuah suara menarasikan dari ruangan remang-remang, "Apa yang akan terjadi selanjutnya? Ke manakah kaki mereka akan melangkah?" Menatap jatuh ke arah bola kristal yang merupakan satu-satunya pencahayaan di ruangan itu.
Tangannya bermain seakan ada yang mendengar, "Temukan kelanjutannya di ...."
"Apa yang sedang kau lakukan?" Namun dia dipotong cepat saat tendanya dibuka, mengizinkan cahaya matahari masuk ke dalam dan membutakan mata.
"Ah!" Sosok misterius itu berteriak menutupi wajahnya, "Tutup! Tutup!" Dia berteriak meminta dan mengisyaratkan dengan tangan.
Wanita yang baru masuk itu memasang wajah bosan, jengkel pada rekan kerjanya, tapi tahu betul bahwa dia tidak bisa membuang sang rekan kerja begitu saja.
Akhirnya dia menyerah, memutar bola mata sembari membuang napas berat sebelum akhirnya memenuhi keinginan sang rekan kerja yang terlalu eksentrik memang.
"Jadi?" Si wanita berdiri di samping sang rekan kerja yang berteriak lagi, pura-pura terkejut akan kehadiran si wanita yang tiba-tiba.
Sudah bosan, "Cukup sandiwaranya, Quinn." Sang wanita akhirnya menarik Quinn kerah baju Quinn mendekat, "Beritahu aku sudah sampai di mana anak itu."
"Hohoho!" Quinn tidak ketakutan dia memasang senyuman dengan tawa palsu, "Tidak ada keperluan untuk marah, Ana." Tangannya menggenggam dan mengusap tangan si wanita lembut.
Menaikkan amarah si wanita yang siap menjadi lebih kasar, "Lihatlah sendiri, Sayang." Hanya untuk dihentikan oleh sendiri yang mengisyaratkan ke bola kristalnya.
Si wanita melepaskan Quinn, mendekati bola kristal itu, berusaha melihat lebih jelas targetnya, perlahan terserap di sana memperhatikan Robin dan dua teman perjalanannya sedang berbicara entah apa.
Melihat hal itu, "Mereka sedang menuju ke kita, Cinta." Quinn mendekati si wanita dengan sensual, berusaha mencium leher sang wanita yang menggunakan tangannya untuk menahan.
"Aku tidak menyukaimu." Si wanita merespons tanpa mengalihkan mata, "Harus berapa kali aku harus mengatakan itu agar kau paham?"
"Belum menyukaiku." Quinn mengoreksinya dengan senyum arogan, akhirnya mengundang perhatian si wanita yang melemparkan tatapan tajam ke arah Quinn yang tidak peduli.
Gadis pendek itu lebih tertarik kepada tato yang baru saja ada di kepala rekan kerjanya, sesuatu yang baru dia lihat karena kegelapan dan poni yang menyembunyikan.
Ditaruh di sana oleh tinta hitam, simbol itu melambangkan mata terbuka yang diputar seratus delapan puluh derajat dengan motif pagan yang terlalu Quinn kenal.
"Jadi kau sudah mendapatkannya, huh?"
"Ha? Apa?"
"Ini." Menjawab kebingungan sang rekan, Quinn mendekat dan menjentik kening si wanita tepat di daerah simbol itu ada.
"Ah." Mengabaikan rasa sakit kecil itu, "Bagaimana denganmu?" rekan kerjanya memilih untuk mencari tanda milik Quinn yang seharusnya punya satu juga.
Dan benar saja, "Lihatlah." Quinn memilikinya. Simbol itu tampak jelas terukir dengan senjata tajam ke telapak tangan kiri Quinn yang dia buka lebar di depan wajah rekannya.
Di sana adalah gambar mata yang tertutup dengan motif pagan yang hampir mirip dengan motif yang menghiasi tato di kening si wanita yang memicingkan mata.
"Iri, ya?" Quinn mengatakan alasannya.
Tentu saja si wanita iri pada Quinn. Sejak pertama kali tanda itu muncul di kepalanya bersama rasa sakit hebat, dia juga dipaksa untuk tudung atau poni untuk menutupi keningnya.
Dia berdecak jengkel karena sekali lagi bisa dibaca oleh si gadis di depannya yang juga paham betul situasi buruknya.
Lagi pula tidak ada yang tahu siapa saja di luar sana yang menjadi anggota dari turnamen bodoh ini.
Untuk sekarang, mereka berdua baru tahu lima orang dari dua puluh satu orang yang menjadi peserta turnamen yang melibatkan seluruh benua ini.
Yang paling pertama mereka tahu menjadi peserta adalah si pria raksasa yang dijuluki Sang Badai, sebuah nama yang cocok untuk George menurut dirinya.
Yang kedua adalah putri Sang Badai yang menjadi simbol dari tenang sebelum bencana yang akan datang. Simbolisme yang hampir benar, tapi pada akhirnya tidak disetujui si wanita yang tahu lebih banyak daripada kebanyakan orang di dunia tentang anak itu.
Yang ketiga berupa kabar burung yang datang tentang tiran kerajaan besar di seberang. Dikatakan bahwa sang tiran telah menerima undangan pula, belum ada yang memastikan kebenarannya.
Seperti bagaimana belum ada yang memastikan bahwa ratu sang tiran juga mendapatkan undangan ke pusat dunia.
Yang terakhir adalah waria yang menemani Sang Badai dalam perjalanannya ke pusat dunia.
Mengingat bagaimana empat dari lima orang yang mereka tahu itu merupakan orang yang juga dikenal hampir seluruh benua, dan yang terakhir adalah seorang waria yang mengikuti pria semacam itu, maka hal itu berarti mereka tidak tahu apa pun.
Atau mungkin ..., "Quinn." Dia yang tidak tahu apa pun sama sekali, "Apakah kita sudah mendapatkan informasi baru tentang siapa saja yang menjadi peserta selain lima orang itu dan kita?"
Quinn tersenyum kalah, "Belum." Menarik dirinya mundur sebelum melanjutkan, "Kecuali kau ingin aku untuk mencari sisanya." Kemudian menawarkan, "Aku bisa."
Si wanita berpikir sebentar, memandangi Quinn dari atas ke bawah berusaha menemukan rasa percaya, tapi tidak.
Dia bukan tidak percaya Quinn bisa menemukan data semua orang yang terpilih untuk mengikuti turnamen abad ini, dia hanya tidak percaya Quinn akan membagi informasi itu secara benar kepadanya.
Lagi pula, kerja sama mereka berdua ini tidak bisa bertahan selamanya. Pusat dunia hanya akan mengabulkan satu permintaan, meski dia akan menerima semua orang yang sudah diundangnya.
Oleh karena itulah, "Tidak." Si wanita menolak ide itu dengan cepat.
"Eh ...." Suara protes Quinn yang mengganggu adalah hal terakhir yang dia inginkan.
Membuat dia pada akhirnya memutuskan untuk berjalan keluar, "Aku akan kembali ke gereja." Kembali ke tempat kerja yang tidak benar-benar menggajinya.
Kalimat dan tindakannya itu menerima respons yang sama, membuat dia tidak ingin berhenti di depan gorden masuk menuju tenda itu, tapi dia harus melakukannya.
Dia harus melakukannya, "Dan Quinn." Untuk mengingatkan Quinn, "Jangan temui mereka." Akan janji mereka.
Quinn menutup mulutnya untuk beberapa lama, jelas sekali mendengar permintaan dan implikasi dari permintaan si wanita.
Satu kedipan, dua kedipan, dan akhirnya .... "Tentu saja!" Quinn mengangguk, melepaskan si wanita dari tensi sehingga dia bisa berjalan keluar dari tenda Quinn, "... aku akan menemui mereka." Tidak mendengarkan bisikan lanjutan Quinn yang dia sengaja.
Beberapa saat setelah angin mendengar kalimat Quinn, kabut yang menyusup lewat sela-sela tendanya menyelimuti dia, kemudian menghilang bersamanya.
Lalu asap-asap itu kembali berkumpul dan memadat, "Bercanda." Dan memunculkan Quinn di tempat dia ada sebelumnya.
"Heh." Sang gadis tersenyum puas kepada kekuatan asli yang benar-benar dia miliki. Bukan lagi trik atau tipuan, sihir yang dia pegang di tangannya sekarang adalah kenyataan.
Matanya menatap ke arah bola kristalnya yang masih menunjukkan wujud Robin, George, dan Lucy dengan rakus dan tidak sabar.
Dia mengelus bola kristal itu dengan pelan dan sensual, lalu dia hancurkan dengan kekuatan.
"Aku akan menunggu kalian." Dia berbisik pada bola kristal yang menghitam itu, menghilangkan satu-satunya sumber cahaya dari dalam tenda.
Kegelapan. Quinn berbaring di kasur yang empuk dengan rekan kerjanya di sampingnya. Dia bisa merasakan napas lembut yang hangat itu di lehernya, sibuk berusaha memeluk Quinn dan menahan dia di sana selamanya.
Namun Quinn sudah mendapatkan apa yang dia mau dari si wanita, tidak benar-benar ingin membawa dewa yang sudah jatuh ke bawah kembali ke takhta atau semacamnya.
Tidak ada rasa bersalah yang mengisinya saat dia mengelus kening si wanita, menemukan tato itu sudah hilang dari sana. Dia mengecup kening itu lembut, lalu berbisik: "Terima kasih, Ana sayang."
Dirinya kemudian bangun, menghasilkan protes kecil dari sang rekan kerja yang kehilangan kehangatan tubuh Quinn yang sudah berusaha sebaik mungkin untuk keluar dengan lembut.
Dia mencari pakaiannya di lantai, mengenakan mereka satu per satu untuk menutupi tubuh pendeknya. Dia memulai dari pakaian dalam menuju kemeja putih tuanya, kemudian celana jeans yang dia kuatkan dengan ikat pinggang, lalu akhirnya jubah dan topi koboinya.
Selesai berpakaian, matanya menatap ke si rekan kerja yang baru membuka mata, kini menyaksikan asap abu-abu yang masuk dari sela-sela pintu dan ventilasi kamar perlahan mendaki Quinn dari kaki ke kepala, berusaha menutupi semua detail tubuh Quinn.
"Quinn ...?" Si rekan kerja bertanya setengah sadar, "Apa yang kau ...."
"Sampai jumpa lagi." Quinn menarik turun topinya, "Ana." Kemudian menunjukkan secara dramatis apa yang ada di keningnya.
Mata Ana terbuka lebar, seketika dia tersadar, tangannya meraba keningnya, berusaha merasakan sesuatu yang tidak benar-benar bisa dia rasa.
Tidak ingin tahu apakah Quinn bercanda atau tidak setelah si pendek menghilang, Ana melompat dari kasurnya berusaha menangkap Quinn dan menghentikan si wanita dari menghilang.
Akan tetapi, dirinya terlambat. Quinn sudah menghilang dengan senyumannya sebagai yang terakhir dimakan habis oleh asap yang menyebar pecah itu saat Ana melompatinya.
Kini, dia sendiri di kamar itu. Tidak lagi ditemani oleh rekan kerja yang beberapa minggu ini sudah menjadi lebih dari rekan kerjanya, sekarang menyalahkan dirinya sendiri karena sudah berhasil digoda oleh si jalang.
Ingin percaya bahwa ini semua hanyalah lelucon buruk dari cinta barunya, Ana duduk di lantai kamarnya sendiri untuk beberapa lama sembari tertawa aneh, meraba-raba keningnya sesekali berusaha memastikan dan menipu dirinya sendiri bahwa tato itu masih ada di sana.
Tapi kekhawatirannya terlalu besar, membuat tubuhnya bangun dari duduknya, dan dia kemudian berlari ke arah cermin berdiri di kamarnya untuk melihat kenyataan yang kejam.
Keningnya bersih, tidak punya lagi tato yang dia sudah dia miliki selama beberapa minggu terakhir, sesuatu yang membantunya untuk membaca pikiran semua orang lain, kecuali Quinn.
Itulah alasan dia di awal-awal tidak percaya kepada Quinn, karena pikiran wanita itu sungguh hanya berisi tentang Ana dan betapa inginnya si wanita untuk memperkosa Ana.
Sesuatu yang cukup mengejutkan bagi Ana sebab dia dan Quinn sudah mengenal cukup lama, dan dia tidak pernah merasa Quinn memiliki perasaan seperti itu kepadanya sebelumnya.
Kecuali .... Pikirannya lari, berusaha mengerti jalan pikiran si wanita pendek yang sering sekali dianggap jenius gila itu. Lama dia melakukannya, mengingat kembali semua tingkah laku si pendek yang dia anggap tidak lebih pintar dari dirinya.
Kemudian, dia bisa menebak kekuatanku ...? Dia mencapai kesimpulan yang tidak mau dia percaya, "Tidak mungkin!" Namun tidak ada konklusi lain yang bisa menghasilkan akhir ini.
Quinn sungguh sudah mengincar tandanya dari awal, menebak apa kekuatan dirinya bahkan sebelum dia memiliki kekuatan itu, dan menggunakannya untuk menggoda dirinya untuk masuk ke dalam perangkap yang manis ciptaan si pendek.
Bersama setiap kesadaran dan penekanan itu, Ana semakin marah.
Dia mengepalkan tangannya, membangun tekad baru di dalam kepalanya yang hanya melihat si anak setan sebagai bonus tambahan dalam rencananya.
"Quinn ...." Dia menggertakkan giginya, "... Akan kubakar dunia hanya untuk membunuhmu, jalang."