Chapter 15 - Bab 15

Robin berjalan di belakang George, sesekali menatap punggung besar si pria yang sedang menggendong Lucy itu berharap dia bisa mengatakan apa yang sedang ada di kepalanya.

Namun semua yang bisa dia lakukan adalah membuka dan menutup mulutnya berkali-kali bagai ikan emas dengan tangan kanan berusaha menggapai George yang berhenti bergerak.

Memaksa semua orang lain berhenti bergerak kecuali Robin, pemuda yang sedang mengkhayal itu tidak sengaja menabrak tubuh George yang berbalik, "Robin." Menatap langsung Robin yang bergidik terkejut.

Mengangkat kepalanya, "I ... iya ...?" Robin berhasil melihat wajah tersenyum si pria yang kini menawarkan tangannya pada Robin yang jatuh terduduk di jalanan ibu kota.

"Kau ingin menjadi seorang pria 'kan?" Melemparkan pertanyaan yang membuat Robin mengangguk dan menerima tawaran tangan si pria yang kemudian menariknya berdiri, "Bagus!"

Masih bingung, Robin tidak merespons atau bergerak mengikuti rombongannya yang kembali berjalan, membuat George berhenti untuk kedua kalinya, agak jauh kali ini, dan mengatakan: "Aku akan menjadikanmu seorang pria, teman kecil." Tanpa keraguan.

"Terima kasih, Tuan Badai!" Robin melompat cepat, berlari menyusul grup yang sedang menunggunya di bawah mentari siang untuk menuju rumah sementara mereka.

Sebuah tempat mengagumkan yang membuat mereka semua terdiam.

Rumah tempat mereka akan tinggal itu berlantai tiga, dengan taman hijau berpohon di lantai duanya dan cat putih mengkilap yang tampak begitu mahal.

Saat masuk ke dalam, mereka menemukan bahwa rumah itu sangat luas, memiliki dapur, ruang tamu, dua kamar tidur dengan nama Robin dan George, serta satu kamar mandi di lantai satu. Di lantai dua adalah area dek yang sudah diisi taman dan satu ruang belajar serta kamar dengan nama Lucy. Dan terakhir adalah lantai tiga yang hanya memiliki ruang belajar dan kamar berbalkon dengan nama Quinn di pintunya.

Sementara itu, di belakang adalah lingkungan kosong dengan tanah kering berpasir dan kursi penonton di pinggirannya, dibentuk mirip dengan arena pertarungan.

Telah diberitahu bahwa hal yang mereka perlukan bisa mereka temukan di kamar masing-masing, Robin akhirnya mandi setelah tidak mandi selama berminggu-minggu.

Dia mengambil waktunya, menggosok setiap tempat yang bisa dia jangkau dengan tangannya, memastikan bau badannya hilang sempurna sehingga dia tidak lagi jijik saat mencium dirinya sendiri.

Selesai melakukan itu, dia berjalan masuk ke dalam kamarnya, membuka lemari, dan .... "... eh?" Terdiam.

Mata Robin melebar terkejut pada pemandangan yang ada di depannya. Pakaian wanita di kiri dan kanan lemari tanpa ada tanda-tanda pakaian yang paling tidak uniseks.

"Eh!?" Setelah berteriak panjang hingga kehabisan napas dan akal, Robin akhirnya menyerah dan mengenakan salah satu gaun yang tergantung dengan rapi di lemari, tidak mau telanjang saat keluar kamar dan menemukan George sudah berdiri di sana dengan senyum percaya diri standarnya.

"Yo." Sapa George, dan Robin menutup pintunya dengan keras.

Apa itu tadi!? Dia berteriak dalam kepala, tidak percaya pria itu bisa muncul di depan pintunya dengan begitu percaya diri bahkan dilapisi handuk saja.

"Robin?" George yang tidak bisa membaca pikiran, "Aku hanya mau bilang, bersiaplah untuk latihan." mengetuk pintu kamar si pemuda yang masih berusaha menenangkan dirinya dari keterkejutan, "Kita akan melakukannya setelah aku mandi."

Akhirnya, "Tapi aku baru saja mandi ...." Robin membalas.

Bingung, "Jadi kenapa?" George bertanya.

Robin terdiam, tersadar bahwa si pria ingin mereka latihan setelah Robin menunggu dia mandi dan bukan sebelumnya.

Apakah ini bagian dari latihan dari menjadi seorang pria ...? Robin bertanya dalam kepala sebelum menjawab, "... Aku mengerti." Sembari menelan ragunya.

Dia salah. Ah! George hanya bodoh, baru tersadar bahwa dia melakukan semuanya secara terbalik saat dirinya sudah selesai mandi dan berpakaian, sekarang berdiri dengan Robin di depan siap untuk menerima pelajaran.

Tidak ingin mempermalukan dirinya sendiri, George menelan mentah kebodohannya dan memulai latihan mereka kali ini dengan sebuah pohon muda yang dia cabut dari taman di lantai dua.

Benda itu dia ayun-ayunkan dengan keras, menghasilkan angin dan menarik perhatian Quinn yang kini duduk menonton di samping Lucy, menyaksikan ekspresi muka bingung Robin berubah menjadi takut saat George berhenti mengayunkan pohon itu dan mengatakan, "Jangan menghindar."

"Eh?" Mata Robin membulat, dia secara insting melompat mundur dari pohon yang hampir saja menghantam dan menghancurkan tengkorak kepalanya.

"Sudah aku bilang jangan menghindar!" Teriak George, orang yang sekarang mau membunuhnya.

"Aku tidak mau mati!" Robin membantah, menghindari serangan lainnya dari George yang kini semakin jengkel.

"Kau tidak akan mati!" Pria itu membalas, melemparkan tatapan frustrasi kepada Robin yang sangat bisa dia hantam hingga mati, tapi tujuan dari latihan ini bukanlah itu, melainkan untuk menghadapi rasa sakit yang hampir pasti.

Dan tidak lari seperti Robin yang sekali lagi menghindari George yang semakin kesulitan menahan diri dan tenaganya demi tujuan untuk memberikan Robin kesempatan untuk menghindar, dan agar si pemuda memilih untuk tidak melakukannya.

"Sekarang diam!" George memerintah, kini berhasil menyudutkan Robin ke pagar dan menyodokkan pohon di tangan ke depan.

"Aku akan mati bila kau mengeluarkan tenaga sebesar itu!" Protes Robin, menunjukkan jari telunjuknya ke pagar rumah sementara mereka yang bolong karena George.

"Aku tidak akan menggunakan tenaga sebesar itu andai saja kau tidak terus menghindar!" George memberikan alasan, "Sekarang." Berusaha membujuk muridnya untuk diam, "Kau ingin menjadi seorang pria 'kan!?"

"Iya!" Robin menjawab cepat dengan semangat.

"Kalau begitu ...." George memasang kuda-kuda, "Jangan hindari ini!" Lalu berlari langsung ke arah Robin dengan pohon muda itu sebagai ujung tombak.

Telah berlari ke samping untuk menghindar, "Tidak!" Robin kembali membantah perintah utama dari seluruh latihan ini.

"Robin!"

"George!"

Keduanya menyebut nama satu sama lain dan saling mengejar, menjadi bahan hiburan Lucy dan Quinn yang menonton dari teras rumah sementara sembari sesekali bertepuk tangan.

Begitulah seterusnya hingga senja tiba, dan Robin akhirnya kehabisan tenaga, kini hanya bisa berbaring terlentang di pasir sembari menatap angkasa yang memerah, persis seperti warna dari tanah yang ditidurinya sekarang saat George mencapainya.

Pria besar yang berjanji akan membuatnya menjadi seorang pria itu kini mendekati Robin secara perlahan, menyeret di belakangnya pohon muda yang ingin dia gunakan untuk menghantam tengkorak Robin.

Maafkan aku, Ayah, Ibu. Maafkan aku .... Pikirnya, hanya mampu menarik dan membuang napas dengan serakah berusaha mengisi tenaga saat sang pria raksasa kini berada tepat di atasnya dengan ekspresi yang dingin.

Pria itu mengangkat tinggi pohon muda di tangannya, kemudian melemparkannya menjauh dari mereka berdua, membingungkan Robin dan semua yang lainnya.

Akan tetapi, George tahu apa yang dilakukannya. Dia menawarkan tangannya kepada si pemuda yang belum bisa menjadi seorang pria sembari memikirkan latihan yang jauh lebih normal daripada ini.

"A ... apa ...?" Di antara tarikan napasnya, Robin bertanya bingung.

"Bangunlah, teman kecil." Ucap George melambaikan tangan yang sedang dia tawarkan, "Bangun, mandi, dan kita akan makan bersama." Membujuk si pemuda untuk bangkit, "Aku yang masak." Dan menjanjikan kesempatan kedua, "Kita akan melanjutkan ini besok."

Tangannya diambil oleh Robin yang masih bingung, mengizinkan dia untuk menarik pemuda itu berdiri dan menepuk-nepuk punggungnya pelan untuk membersihkan semua debu di sana.

Telah memastikan bahwa pemuda itu punya tenaga untuk berdiri sendiri, George melepaskan pegangnya dan pergi meninggalkan Robin, menghampiri Lucy yang membuka lengannya untuk digendong ke dapur tempat di mana mereka akan memasak bersama.

Melihat-lihat isi konter dan lemari di dapur, George memutuskan untuk membuat sup daging andalannya, mengizinkan Robin cukup banyak waktu untuk memikirkan tujuan dari latihan mereka hari ini di kamar mandi.

Sebab bahkan hingga sekarang setelah dia sudah berganti pakaian untuk kali kedua hari ini, dia masih belum paham.

Tentu saja, dia mencoba untuk bertanya kepada Quinn, tapi wanita pendek yang sudah duduk di meja makan itu hanya mengangkat bahu tidak tahu kepada pertanyaannya.

"George ...." Melihat pria itu juga ada di sana dengan Lucy di pangkuan, Robin berniat bertanya langsung kepada sang pria perkasa tentang latihannya.

Namun, saat dia duduk di meja makan dan menatap apa yang tersaji di hadapan, semua pikiran tentang latihan langsung buyar.

"... kau memasak ini?" Dia tetap melemparkan pertanyaan, tapi pertanyaan berbeda yang kini berfokus pada sup daging dengan kuah yang tampak mendidih.

"Tentu saja!" George menjawab dengan bangganya, "Sudah kubilang 'kan? Aku yang akan masak." Melanjutkan sedikit, "Makanlah." Sebelum kemudian menawarkan.

Meski begitu, Robin masih kebingungan. Menatap bolak-balik antara sup daging dalam satu mangkuk besar, dan George dengan Lucy di pangkuan yang sudah makan duluan.

Quinn memperhatikan, "Apa kubilang!" Dan akhirnya berteriak menunjuk Robin, "Bahkan dia! Orang yang sudah berkelana denganmu cukup lama, tidak cukup percaya denganmu untuk memakan racun ini!"

"Aku akan menghancurkan kepalamu, pendek." George mengepalkan tangannya, "Sudah aku bilang juga, sup ini bukanlah racun. Tanyakan saja pada Lucy."

Dipaksa menjadi perhatian, Lucy hanya mengangguk, tidak ingin diganggu konsentrasinya bahkan sedikit saja dari sup daging yang akhirnya habis dari mangkuknya.

"Uuuu ...." Dia memotong Quinn yang berusaha melemparkan argumen lainnya, "Ada apa, Sayang?" Menarik perhatian George yang cepat bertanya.

"Tambah." Dan mengucapkan kalimat yang membuat si pria besar itu tersenyum bahagia di depan kedua orang yang masih ragu memakan sup daging buatannya.

Telah mengisi penuh kembali mangkuk sang putri, "Jadi, apa yang kalian tunggu?" George kini mengembalikan fokusnya kepada dua anggota orang yang masih saja ragu makan masakannya.

Quinn dan Robin menatap satu sama lain untuk beberapa lama, dan akhirnya menerima nasib mereka dengan anggukan secara bersamaan.

Keduanya mengambil sedikit dari mangkuk besar itu untuk ditaruh ke dalam mangkuk mereka, menatapnya begitu lama hingga memberikan waktu kepada Lucy untuk porsi penuh yang ketiga.

Pendorong yang membuat keduanya makan dengan Quinn bersumpah, "Aku akan menghantuimu kalau aku mati, brengsek!" Sebelum melakukannya.

Dan saat mereka memasukkan cairan yang tampak begitu kotor dan menjijikkan itu ke dalam mulut mereka, persepsi keduanya berubah. Bukan berarti makanan dengan wujud jelek itu seketika tampak indah, tapi mereka akhirnya mengerti mengapa Lucy bisa makan dengan begitu lahapnya.

Bisa melihat keterkejutan di mata bulat mereka dan rasa suka dalam bahasa tubuh mereka saat mengunyah, George tersenyum dengan bangganya.

Dengan keduanya tambah untuk porsi kedua, kemampuan memasak George menjadi pembicaraan di meja, cukup sering membawa masuk Lucy yang paling lama mengenal George di antara mereka bertiga.

Dari sana, keempatnya bercerita tentang lebih banyak kejadian dan peristiwa, memberitahukan tentang latar belakang diri mereka masing-masing dalam prosesnya hingga malam menua, dan setiap dari mereka akhirnya tertidur di kamar masing-masing kecuali Lucy, yang tidur di atas dada sang ayah seperti biasanya.