Quinn yang memimpin perjalanan mereka sibuk bercerita, "Kalian akan menyukainya di sana!" Membanggakan tempat yang menerimanya itu dengan semua hal yang bisa dia ingat.
Mulai dari rasa bir dari bar favoritnya hingga penginapan yang sampai sekarang tidak pernah dia bayar, Quinn menceritakan segalanya tanpa rasa malu sedikit pun ke Robin dan kawan-kawannya.
Mereka bertiga hanya mendengarkan dan mengiyakan, sibuk mengagumi Quinn yang bisa berjalan dengan mata tertutup secara harfiah tanpa jatuh sejauh ini.
Bahkan saat wanita pendek itu sedikit berakting atau beraksi, dia tidak terjatuh ke bawah seperti kebanyakan orang, seakan si wanita mengingat posisi setiap rintangan kecil yang Robin dan kawan-kawan masih harus hindari di perjalanan seperti batu dan akar pohon besar.
Tapi itu mustahil 'kan ...? Pikir Robin yang berusaha membaca wajah Quinn yang sudah selesai menceritakan semua hal yang dia banggakan dari negaranya.
Sekarang, "Abaikan saja orang-orang bodoh yang berusaha menipu kalian, ya!" Berusaha membela orang-orang yang sifatnya serupa dengannya di dalam Peterarchland yang jumlahnya bisa membanyak karena sang raja tidak peduli sama sekali.
Namun Robin, George, dan Lucy tidak benar-benar mendengarkan Quinn yang sudah berhenti berjalan dan menatap ke arah mereka. Mata mereka bahkan tidak lagi menatap Quinn.
Mereka menatap ke depan, sesuatu yang membuat Quinn bingung tapi tidak berbalik sampai, "... Apakah kami harus mengabaikan monster-monster itu juga?" Robin bertanya.
"Monster?" Quinn memiringkan kepala bingung, "Apa ...." Lalu dia menganga saat matanya menatap apa yang mereka semua tatap di depan sana.
Scorchbay sungguh terbakar. Bar favorit Quinn hancur berantakan, dengan alkohol mereka banjir membasahi tanah yang sudah mengering di lantai kayunya.
Penginapan-penginapan yang pernah Quinn tipu rata bersama tanah, tidak lagi terlihat gedung bertingkat mereka, terkubur bersamanya adalah para tamu dan semua karyawannya.
Tidak ada tanda-tanda kehidupan manusia atau tentara, kota itu hancur di gerbang tembok, dan di dalamnya. Apa yang tersisa adalah api abadi yang menolak mati, dan begitu banyak monster yang tidak seharusnya ada di dunia.
Salah satu dari mereka, seekor Imp bersayap datang dengan tombak ke arah kelompok mereka, hanya untuk dihajar habis oleh George yang bergerak maju ke depan.
"Apakah ini kota tempat raja dan ratu itu tinggal?" Dia bertanya pada Quinn yang akhirnya tersadar dari keterkejutannya, wanita pendek itu menggeleng, "Mereka tinggal di ibu kota, tapi ini ...." Masih melanjutkan pikirannya.
Akan tetapi, "Bagus." George memotongnya. Pria besar itu memandang ke belakang, melihat ke arah Robin, lalu ke arah anaknya, "Jangan pernah lepaskan tangan temanmu, Sayang." Kemudian memberi perintah.
Lucy ingin protes, dia ingin berada dalam gendongan ayahnya tempat di mana semua hal menarik akan terjadi, tapi dia juga tahu bahwa ayahnya ingin kebebasan pergerakan penuh dalam pertarungan semacam ini, karena itulah Lucy menyerah dan mengangguk.
Berpegangan tangan dengan Robin yang tersenyum kepadanya, Lucy jujur saja jengkel dia harus melakukan ini semua. Sang pemuda sudah semakin dekat dengan ayahnya, membuat Lucy khawatir sebentar lagi dia akan kehilangan si pria besar karena pemuda ini.
Ditambah lagi, semua usahanya untuk menyakiti Robin dengan kekuatannya tidak pernah bekerja, seakan si pemuda mampu menahan panasnya seperti sang ayah.
Tidak! Lucy menolak, tidak ada yang sama seperti ayahnya yang sekarang sedang sibuk mendiskusikan strategi dengan si wanita pendek. Tapi kalau bukan itu lalu ....
"... apa?" Pikiran Lucy diselesaikan oleh Robin yang terkagum terhadap pemandangan di depannya.
Setelah mendengarkan George menyuruh Quinn untuk menarik perhatian semua monster di kota ke arahnya, si pria besar kini berjalan jauh ke depan, didatangi oleh monster-monster yang mengejar bola-bola cahaya ciptaan Quinn.
Pria itu menarik napas dalam, memasang ekspresi serius yang kemudian terhapus saat dia membuang napasnya keluar. Kembali ke wajah itu adalah senyum arogan yang lebar, dan pembantaian bermula.
George menghajar seekor iblis yang pertama berada dalam jangkauannya. Makhluk menjijikkan yang gemuk, merah, dan bertanduk itu kehilangan muka cepat.
Semua setelah itu sulit dilihat oleh orang di luar, tapi George bisa merasakannya. Setiap gigitan, cakaran, dan usaha sia-sia lainnya untuk menyakitinya tidak melakukan apa pun kecuali membuat darahnya jatuh ke tanah.
Segalanya dia capai tanpa senjata atau waktu yang lama. Tidak sampai satu jam, George telah menghabisi seluruh monster yang telah berhasil menjatuhkan sebuah kota.
Dikelilingi oleh mayat monster dengan darah mereka tercampur dengan darahnya, pria itu tertawa hebat ke angkasa, begitu puas dengan adrenalinnya yang masih ada.
Lucy bertepuk tangan menyaksikan pertunjukan ayahnya yang hebat, Robin menatap bingung antara ayah dan anak itu, sementara Quinn sibuk berpikir.
Aku sudah menduga dia akan kuat, tapi ini .... Dia memegang dagunya, jatuh ke dalam pikiran panjang, "Quinn!" Yang dipotong oleh George.
"Hm?" Cepat, dia merespons dengan senyuman sembari menatap George, tidak ingin ditangkap ketakutan terhadap kekuatan yang berada di luar dugaannya.
"Bawa kami ke ibu kota!" Si perkasa memerintah, "Dimengerti!" Dan Quinn mengiyakannya.
Beberapa hari selanjutnya perjalanan mereka dihiasi pemandangan dan strategi yang sama, membuat semua orang kecuali George dan anaknya sadar bahwa iblis-iblis ini tidaklah begitu pintar atau punya komunikasi sentral.
Sayangnya, kesadaran itu tidak akan membantu mereka melewati gerbang ibu kota yang menjulang tinggi di depan mereka, tertutup rapat tanpa tanda-tanda akan dibuka.
Tembok ibu kota itu bersih putih, jauh berbeda dengan kota-kota yang sudah mereka lewati sebelumnya untuk sampai di sini, sesuatu yang sudah Quinn duga, tapi tetap saja berhasil membuatnya tertawa.
"Apa yang lucu, penyihir?" George bertanya.
Memaksa Quinn menghentikan dirinya sendiri dan menjawab, "Tidak, tidak." Kemudian melanjutkan, "Hanya saja, aku yakin mereka tidak akan membuka gerbangnya untuk kita."
"Kenapa?" Robin memiringkan kepala, bingung dengan keyakinan Quinn yang menjawab cepat, "Lihatlah." Dia mengisyaratkan dengan kepala kepada semua untuk menatap ke atas, memperhatikan dengan jelas prajurit-prajurit berwibawa yang berjaga di sana.
Mereka memakai zirah penuh dari logam putih mengkilap, berkilau ditimpa cahaya mentari siang dengan tombak yang sama mahalnya di tangan mereka.
Para prajurit itu melihat ke bawah beberapa kali sebelum kembali menatap ke depan, "Oh." Satu tindakan yang membuat Robin mengerti keyakinan Quinn.
George yang belum mengerti hanya memandang mereka berdua yang sudah mengerti secara bergantian sebelum akhirnya memutuskan untuk melakukan sesuatu.
"Kalau mereka memang tidak mau membuka pintunya ...." Ucap si pria besar sembari berjalan ke arah sebaliknya dari tujuan mereka, "... maka semua yang perlu kita lakukan adalah ...." Dia kini kembali menghadap ke arah gerbang, tubuhnya berada dalam posisi, "... memaksa!" Dan dia berlari dengan bahu kanannya di depan.
Debu di belakan menjadi penanda bagi semua orang, mengizinkan Quinn untuk menghindar, begitu pula Robin yang menarik mundur anak si raksasa cepat.
Mengizinkan George untuk menciptakan lubang besar di gerbang kayu cokelat tua itu yang ditemani dengan suara ledakan hebat dari pertemuan tubuh si pria dengan si gerbang.
Quinn tersenyum, Robin masih heran, sementara Lucy bertepuk tangan.
"Ayo!" Ketiganya disadarkan oleh ajakan George yang sudah berada di dalam ibu kota, memulai perjalanan mereka di dalam sana dengan cukup banyak prajurit berusaha menghentikan keempatnya.
Tentu saja tidak ada yang benar-benar berhasil dengan George dan Quinn yang menghempaskan mereka menggunakan tenaga fisik dan energi sihir.
Setelah melewati jalanan ibu kota yang bersih dengan gedung-gedung indah di kiri dan kanan, mereka kini memanjat tangga tinggi dengan taman bunga di kiri dan kanan untuk menuju ke istana.
Tidak ada lagi prajurit yang menghentikan mereka, keempatnya cepat mencapai ruang takhta setelah George sekali lagi mendobrak paksa pintu masuk ke istana.
Di tempat yang hampir sepenuhnya terbuat dari keramik putih dengan komplemen kain merah yang menjadi bendera dan karpet, terdapat beberapa orang.
Yang pertama adalah dua prajurit yang jauh lebih terlatih dan berharga daripada semua prajurit sebelumnya yang berusaha menghentikan mereka. Tebakan yang mudah dibuat saat George melihat tombak yang sedang mereka todongkan ke lehernya.
Yang kedua adalah sekumpulan orang tua yang duduk di balkon lantai dua ruang takhta dengan bermacam ekspresi menatap ke arah George dan anaknya, jelas sekali tahu siapa George yang sedang memasang senyum arogan.
Yang ketiga adalah seorang pelayan pribadi berambut hitam panjang dengan pakaian mahal menutupi tubuhnya. Dia berdiri di belakang sang ratu, menutup matanya tidak tertarik
Yang keempat adalah sang ratu berambut merah dengan gaun yang menunjukkan dengan jelas kepada dunia pundaknya, dan simbol yang ada di sana. Wanita itu adalah kebalikan dari pelayan di belakangnya, membuka matanya lebar-lebar penuh semangat menginspeksi George dan kawan-kawan.
Kemudian yang terakhir adalah sang raja berambut pirang yang bertopang dagu di takhta tertinggi, menatap George dan rombongan menggunakan mata birunya yang bosan.
"Dan apa tepatnya yang diinginkan Sang Badai dan rombongannya hingga dia datang ke hadapanku?" Sang raja bertanya dalam nada yang monoton.
"Simbol kalian." George menjawab cepat dengan senyuman, "Berikan padaku." Mendorong tangannya maju dan membuka telapaknya meminta.
"Si .... Oh." Kebingungan sang raja cepat hilang saat dia memperhatikan mata kiri George yang memiliki lambang petir dan simbol di tangan kanan Robin.
"Aku tahu kalian memilikinya." Tahu bahwa sang raja sudah paham, "Serahkan." George menekan.
Masih menopang dagunya, "Kau sungguh datang ke sini berpikir bahwa kami akan memberikannya begitu saja, huh?" Sang raja menantang.
Mendengarkan hal itu, "Tentu saja tidak." George mengambil satu langkah maju dengan keras, menggetarkan seluruh istana, meretakkan lantai di bawahnya.
"Kalau begitu ...."
"Tapi kenapa kalian membutuhkan simbol kami?" Potong sang ratu yang akhirnya dipaksa berhenti berpikir oleh getaran itu.
Sang raja dan George yang sudah siap beradu berhenti di tempatnya masing-masing memandang ke arah sang ratu dengan sedikit kecewa di mata masing-masing,
Kekecewaan mereka sama seperti Quinn yang juga ingin melihat bagaimana pemilik dua simbol paling kuat menurutnya ini akan bertarung.
Semua kekecewaan yang ada di udara itu mengizinkan Robin untuk menjawab tanpa dipotong satu pun orang gila, "Kami memerlukannya untuk mencapai pusat dunia, Yang Mulia."
"Dan mengapa kalian ingin mencapai pusat dunia?" Sang raja bertanya, tahu betul apa yang ada di sana dan sekarang penasaran apa yang sekumpulan orang ini ingin minta.
"Untuk menghapus kutukan Lucy-ku." George memotong Robin yang berusaha menjelaskan dengan lebih halus, "Sekarang." Dia melanjutkan konflik mereka lagi, "Serahkan."
"Bagaimana kalau tidak?" Sang raja yang sudah siap menolak, juga dipotong oleh sang ratu yang mewakilinya.
Dia melemparkan tatapan tidak percaya, "Bagaimana kalau ...." Dan benar saja, "... kami tidak memberikanmu simbol kami, tapi ...." istrinya menawarkan kebaikan kepada orang asing, "... kami membantumu menyembuhkan kutukan anakmu?" Seperti biasanya.
George yang sudah siap bertempur melembut pada prospek kesembuhan sang putri, "Kami setuju." Dia menjawab tanpa memikirkan rekan-rekannya di belakang.
Quinn tidak peduli pada hasil semacam ini, tapi Robin terdiam kecewa. Dia tahu bahwa dirinya tidak sama berharganya dengan Lucy di mata George, tapi tetap saja ... bagaimana dengan mimpiku?
Robin tidak berani bertanya, "Clara bisa melakukannya 'kan, Darius?" Hanya bisa mendengarkan dua penguasa itu berdiskusi dengan intens sekarang.
"Mungkin saja, tapi Athelina ...."
"Bagus!" Athelina memotongnya, merayakan dengan sendiri di kursinya.
Darius menganga menonton tindakan istrinya, kemudian membuang napas berat dan menggelengkan kepala. Setelah memijat keningnya untuk beberapa lama, "Bantu kami menuntaskan invasi iblis ini." sebuah ide akhirnya tiba ke kepalanya, "Dan kesembuhan anakmu adalah jaminan kami."