Robin sudah tiga hari berjalan bersama George dan anaknya yang sekarang telah mengetahui tempat yang ingin Robin dan grupnya capai setelah sedikit kekerasan di salah satu kota lain milik negara kecil Robin.
Dari kekerasan itu, mereka bisa melihat peta seluruh benua yang menunjukkan di mana tujuan Robin dan George itu berada.
Dan sekarang mereka sedang bermalam di perbatasan antara tiga negara. Yaitu negara kecil tempat asal Robin, Aeshen, dan dua negara yang pecah karena perang, Yidia dan Yudia.
Melihat ini adalah musim panas, mereka tidak memasang tenda. Lebih memilih untuk tidur dengan angkasa yang indah dan kanopi hutan sebagai atap mereka, dan kain tebal yang menjadi alas Robin.
Rekan-rekannya tidak menggunakan alas tidur, seperti yang bisa Robin lihat di sampingnya.
George tidur langsung di tanah dengan Lucy berbaring di dadanya, sebuah kondisi tidur yang baru pertama kali Robin lihat karena ini pertama kalinya mereka benar-benar berada di luar peradaban, tapi itu bukanlah hal yang membuat Robin terjaga.
Dia terjaga karena sekarang punya kesempatan untuk melihat tubuh George cukup dekat, sesuatu yang tidak dia miliki sebelumnya karena si pria selalu memilih kamar dengan dua kasur yang cukup berjauhan, dan Robin merasa cukup tidak sopan bangun dari tidurnya hanya untuk melihat otot-otot si pria.
Namun sekarang saat dia punya kesempatan untuk menatap matanya tidak bisa lepas, dia hanya bisa menonton dan mempelajari setiap detail otot sang raksasa yang dihiasi luka dan bertanya, "Bagaimana bisa ...?" Dalam kepalanya.
"Apanya?" Sayang karena dia gagal menjaga pertanyaannya itu ke dalam dirinya sendiri dan ternyata George juga belum tertidur.
"Eh!?" Robin yang dikejutkan oleh tatapan mata si pria mengalihkan mata, "Ti ... Tidak." Sudah belajar bahwa melihat seseorang dalam waktu yang cukup lama bisa dianggap sebagai semacam tantangan entah bagaimana.
Meski begitu, George tidak melepaskan topik, "Kau yakin?" Bertanya memastikan dengan nada netral, sebuah tindakan yang membuat Robin kembali menemui mata si pria.
Setelah berusaha mencari sedikit pun emosi negatif di air muka George dan gagal menemukannya, "Aku hanya penasaran." Robin akhirnya memberanikan diri, "Bagaimana caramu mendapatkan tubuh semacam itu?" Dia bertanya sembari menunjuk tubuh penuh luka George.
"Tubuh ..." George mengangkat kepala berusaha melihat tubuhnya sendiri, "... semacam ini?" Sesuatu yang dia tunjuk saat dirinya selesai.
Robin mengangguk penasaran.
Melihat itu, "Ah!" George tertawa sadar, "Benar juga!" Dia kembali mengingat apa yang Robin ingin minta kepada siapa pun atau apa pun yang mampu mengabulkan keinginan itu saat George bertanya di hari pertama perjalanan mereka, "Kau ingin menjadi seorang pria!"
Tidak malu terhadap mimpi naifnya itu, "Hm! Hm!" Robin kembali mengangguk, "Jadi?" Agak memaksa George untuk lanjut menjelaskan.
Si pria besar diam berpikir sebentar, jelas sekali berusaha memberikan jawaban serius kepada Robin hingga akhirnya, "Tidak tahu." Dia menyerah.
"Eh ...." Robin melemparkan tatapan kecewa, "Tidak mungkin Anda langsung mendapatkannya, Tuan Badai ...."
"Sudah berapa kali aku harus bilang namaku George, teman kecil."
"Dan namaku Robin."
George mengernyitkan alisnya, ini adalah perdebatan yang sudah terjadi beberapa kali di antara mereka berdua sejak Robin memutuskan untuk ikut dengan George.
Awalnya, Robin sungguh serius dalam memanggil George 'Tuan Badai' tapi setelah beberapa kali melihat reaksi tidak suka kecil si pria yang Robin anggap lucu, Robin memutuskan menggunakan nama panggilan itu demi memecah suasana yang canggung seperti sekarang.
Sang pria menggeleng kepalanya, menghapus semua pikiran untuk menyakiti pemuda di sampingnya karena masih berpikir bahwa Robin adalah teman pertama yang anaknya buat dalam kehidupan.
Sepotong pikiran yang Robin perkuat dalam beberapa minggu perjalanan mereka menuju ke pusat dunia. Bukan hanya Robin mampu memasak makanan kesukaan Lucy, tapi pria itu juga membantu George merawat dan menjaga anaknya saat putri semata wayangnya itu memiliki episode lain di perjalanan ke pusat dunia.
Dan sekarang, di sinilah mereka.
Di tempat gersang dengan bebatuan, kaktus, dan pasir sebagai teman. Robin dan grupnya berhenti untuk menyaksikan secara penuh struktur bangunan di depan.
Megah dan mengundang, mereka semua berhasil diyakinkan oleh penampakan struktur itu bahwa siapa pun yang tinggal di sana mampu mengabulkan keinginan manusia.
Dan terik mentari tidak bisa menghentikan mereka semua dari merasa semangat terhadap hal yang akan segera mereka dapatkan.
Robin akan menjadi seorang pria sejati, George akan mendapatkan kesembuhan anaknya, dan Lucy akhirnya bisa meminta pasokan bistik seumur hidup.
Mimpi semacam itu membuat Robin berbisik, "Pusat dunia, huh ...." Di bawah napasnya. Tidak bisa menahan diri dari merasakan semangat yang nyata karena bisa pulang begitu cepat kembali ke rumahnya.
Dirinya bahkan mampu melihat secercah cahaya indah di sana yang bergerak dan berbisik di telinga, memanggilnya untuk cepat datang dan tiba untuk mendapatkan hasrat terdalamnya.
Akan tetapi, saat dia mencoba untuk maju, "... apa?" Robin terpental mundur dengan lemah.
Melihat ke sebelahnya untuk mencari jawaban, Robin menebak George juga mengalami hal yang sama dari ekspresi bingung si pria.
Telah memastikan bahwa dia tidak sendirian mengalami hal aneh, Robin mencoba lagi, dan mengalami hal yang sama. Sekali lagi, tubuhnya didorong mundur dengan lemah ke belakang.
Tidak gila, dia tidak mencoba hal yang sama untuk ketiga kalinya seperti George yang sudah menurunkan Lucy, dan sekarang sedang mengambil aba-aba untuk berlari lebih jauh; berusaha mendobrak jatuh apa pun yang menghalangi mereka.
Robin hanya menjulurkan tangan untuk meraba, menemukan penghalang yang sebelumnya kasat mata kini menunjukkan dirinya sendiri di bawah telapak tangan Robin.
Mereka terus bergetar setiap kali George yang semakin lama semakin marah itu menabrakkan tubuhnya ke si penghalang dengan Lucy menonton dengan kagum di samping, tapi lebih dari itu; penghalang yang menghadang mereka dari melanjutkan perjalanan dengan tenang.
Sesuatu yang Robin sadari tidak akan bertahan lama saat dia tidak lagi mendengar suara George berlari dan terpental berulang kali.
Melihat ke sebelah, Robin sadar kalau pria itu sekarang berdiri diam, membiarkan pasir-pasir yang sebelumnya beterbangan untuk kembali jatuh ke bawah.
Akan tetapi, ekspresi si pria jelas sekali mengatakan kepada Robin dan Lucy bahwa semua ini belum berakhir, apa yang terjadi sekarang hanyalah diam sebelum badai.
George yang tidak lagi tersenyum mengukur jarak capaian kepalan tangannya ke si penghalang. Setelah menemukannya, dia memasang kuda-kuda dan menarik napas dalam, memastikan bahwa pengukurannya tidak salah dan kemudian, "Hal itu tidak akan berhasil, Menara." Dihentikan oleh sebuah suara.
Tangan George berhenti dengan jarak sehelai rambut saja dari penghalang tak kasat mata, menghasilkan angin hebat yang menerbangkan debu-debu ke udara.
Saat semua pasir emas tua itu kembali jatuh ke bawah, wujud Quinn tampak penuh kepada Robin dan dua teman perjalanannya.
Wanita pendek itu mengenakan jubah panjang dan kemeja, dengan topi koboi dan ikat pinggang kain sebagai pelengkap setelannya yang memang sangat cocok untuk lingkungan ini.
Namun tidak cocok untuk menghadapi satu raksasa marah yang kini bertanya dengan kasarnya, "Dan dari mana kau tahu itu?" Kepada sang wanita yang tersenyum.
Quinn membuka telapak tangan kirinya, "Dari undanganku." Menunjukkan simbol mata tertutup dengan motif pagan yang diukir di sana menggunakan senjata tajam.
George mengambil satu langkah besar ke depan, "Kalau begitu ...." Menantang.
Quinn mengambil satu langkah mundur ke belakang, "Hohoho!" Menolak tantangan George, "Tenang dulu, Pak Tua." Mengangkat tangannya ke depan dada.
"Dan kenapa aku harus ...." George berusaha mengambil satu langkah maju lagi, "Karena aku akan membantumu untuk masuk ke dalam." Tapi Quinn memotongnya.
Tahu betul bahwa George tidak bisa menolak penawaran itu begitu saja, Quinn mengambil beberapa langkah maju. Lalu melanjutkan, "Semua yang perlu kita lakukan adalah ...." Dia mengitari tubuh George yang menatap jeli setiap pergerakannya, "... kembali." Dan akhirnya berhenti tepat di depan si pria dan menunjuk ke belakang.
"Kembali?" George mengangkat alisnya ragu, tapi Quinn tidak kehilangan kontrol di bawah tatapan skeptis itu dan mengangguk dengan penuh percaya diri.
Masih belum yakin, "Kenapa?" Robin ikut melemparkan pertanyaan penuh sinisme, mengundang perhatian Quinn yang segera merespons.
Wanita itu berlari ke arahnya dan berkata, "Pertanyaan yang bagus, homo!" Sembari merangkul Robin di leher.
Cepat, "Aku bukan homo!" Robin protes.
Quinn diam sejenak, "Oh." Lalu senyap agak lama sebelum berbisik, "... belum." Dan melanjutkan, "Apa pun itu!" Memotong Robin yang ingin protes lebih jauh.
Tidak lagi melihat ada perlawanan, si pendek melanjutkan aksi teatrikalnya.
"Kita akan kembali ke arah sana karena untuk menembus dinding ini!" Dia mengetuk penghalang tak kasat mata itu beberapa kali, "Apakah kalian tahu cara untuk menembusnya?" Lalu bertanya, menutup mulut seakan sungguh menunggu jawaban.
"Ti ...." Kemudian memotong Robin yang berusaha memenuhi ekspektasinya, "Benar sekali!"
Pasir-pasir gurun naik membentuk sesuatu di atas kepala mereka semua, "Untuk menembus dinding ini." Bergerak sesuai pergerakan tangan Quinn yang mengontrol mereka, "Kalian memerlukan dua puluh satu simbol yang tersebar di tubuh orang-orang terpilih di seluruh dunia." Dan sekarang menampilkan dua puluh satu simbol itu di udara.
Simbol lingkaran kecil di dalam lingkaran yang lebih besar seperti di tangan Robin, luka petir berakar seperti milik George, simbol mata tertutup seperti milik Quinn, dan banyak lainnya.
Selanjutnya, simbol-simbol itu menyatu, "Dan oh, betapa beruntungnya kalian." Menunjukkan gambar dua belah mahkota yang dipotong tepat di tengah, "Karena ratu dan raja kerajaan yang dekat dari sini memiliki masing-masing satu simbol yang kalian butuhkan!" Sebelum akhirnya pecah, dan menghujani mereka berempat.
"Kalau begitu." Sementara Robin sibuk membersihkan dirinya dan Lucy dari pasir, "Apa yang kita tunggu?" George dan Quinn sibuk bernegosiasi dengan pakaian dan tubuh yang kotor.
Ada senyap yang memisahkan mereka saat Quinn memegang dagunya dan pura-pura berpikir, melihat ke udara memikirkan makanan apa yang harus pertama kali dia pesan saat kembali ke Peterarchland nantinya.
Sayangnya, jumlah jenis makanan yang ada di kerajaan itu, tatapan penuh ekspektasi rekan-rekan barunya, dan sunyi yang mulai menggerogoti Quinn juga memaksa wanita pendek itu untuk akhirnya menjawab, "Tidak ada!" Kemudian mengajak, "Ayo!" Mulai berjalan tanpa menunggu grup Robin bergerak.
Robin menatap bolak balik antara George, Lucy, Quinn yang semakin jauh, dan pusat dunia yang ternyata tidak bisa mereka capai dengan begitu mudah.
Akhirnya, "Sial." George menggelengkan kepala, "Kemarilah, Sayang." Berlutut dan menjulurkan tangannya sembari memanggil Lucy yang berlari mendekat, semangat untuk berjalan bergandengan tangan dengan sang ayah, meninggalkan Robin yang masih berdiri diam sejenak.
Pemuda itu menatap dan terus menatap, sedikit berharap bahwa semuanya akan semudah bayangannya saat perjalanan ini bermula, hingga dia memutuskan untuk bergerak juga.
Dia berlari kecil untuk mencapai George yang berjalan lambat karena sedang berpegangan tangan dengan Lucy, mengizinkan Robin untuk tidak tertinggal di belakang dan juga ikut merasakan petualangan mereka di negara baru.