Empat raja yang kejam berdiri di atas tanah kelahirannya, merusak semua yang mereka pijak, menghancurkan segala yang mereka tatap. Datang bersama keempatnya adalah petaka yang dibawa pergi oleh badai raksasa.
Cassander membuka matanya. Keringat dingin membasahi tubuhnya, dia melihat dan menginspeksi sekelilingnya untuk memastikan bahwa dia masih ada di dalam kamar yang telah diberikan sang ratu kepadanya.
Sudah puas dengan kenyataan yang jauh lebih baik dari mimpinya, dia melompat dari kasur itu kemudian mulai berlari keluar dari kamarnya yang terletak di antara kamar-kamar para pelayan yang lain.
Namun dia bukanlah bagian dari mereka yang dirinya abaikan dan lewati, tidak peduli pada sapaan dan budi pekerti saat dirinya punya hal sekecil ini untuk disampaikan kepada sang ratu pagi ini.
Kaki kecilnya berlari dan berlari, membawa dia ke depan pintu kamar sang raja setelah diizinkan lewat oleh penjaga yang mengawasi koridor menuju ke sana.
Akan tetapi, "Eleanor!" Mereka bukanlah halangan yang sesungguhnya.
"Dan apa yang kau inginkan sepagi ini dengan, Yang Mulia?" Tanya wanita yang menghadang Cassander dari masuk ke kamar sang ratu yang sudah memberikannya rumah. Wanita itu merupakan pelayan pribadi sang ratu yang tidak tahu tata krama.
Cassander memasang ekspresi jengkel kepada sang wanita yang jelas sekali sedang merendahkannya, "Izinkan aku bertemu dengan Yang Mulia!" Dia protes, berusaha mendobrak.
"Bagaimana kalau begini ...." Hanya untuk didorong mundur dengan mudah oleh si wanita, "Kau memberitahuku hal penting ini, dan aku akan memberitahukannya kepada Yang Mulia?" Menawarkan kompromi memalukan kepada Cassander.
"Tapi ini ...!"
"Mimpi buruk lainnya?" Eleanor memotong, "Aku tahu Yang Mulia sudah menyelamatkanmu, bocah." Mengingatkan Cassander terhadap kondisinya, "Tapi dia bukanlah ibumu." Mempermalukan dia yang kini hanya bisa menunduk dan berjalan pergi dengan marah.
Telah berhasil mengusir si bocah, Eleanor membuang napas lelah sembari menonton si bocah berjalan pergi. Belum apa-apa, dan dia sudah harus menghadapi si paranoid itu sekali lagi di pagi hari.
Setelah bocah itu sungguh hilang dari pandangan matanya, Eleanor akhirnya melanjutkan rutinitas paginya, membuka pintu yang mengeluarkan suara yang membangunkan Athelina.
Wanita itu membuka mata ke kasur yang kosong setengah, memberitahunya bahwa sang suami telah bangun lebih awal seperti biasa dan pergi bekerja.
Dan itu berarti, "Eleanor ...." Dia berbalik, menyambut pelayan pribadinya yang menunduk dan membalas, "Yang Mulia." Masih sempurna dan feminin seperti biasa.
Tidak ada yang berubah. Kalau tidak ada yang berubah, berarti tidak ada yang salah. Pikir Athelina yang duduk sebelum sang pelayan bisa mencapainya.
Wanita yang sudah bekerja untuk dirinya selama beberapa bulan ini datang menawarkan dirinya sendiri di ruang takhta pada suatu hari, menceritakan bahwa dirinya tidak punya rumah, dan ingin bisa bekerja di istana di saat yang tepat.
Karena pada saat itu, Athelina baru saja hamil dan memang sungguh membutuhkan bantuan orang dalam beberapa urusan yang seharusnya bisa dia urus.
Seperti berpakaian setelah mandi atau mengingat undangan orang-orang yang kini sedang disebutkan satu persatu kepadanya yang masih sibuk menggosok badannya.
Dia mendengarkan mereka dengan penuh perhatian, membuat catatan mental tentang hal-hal yang ingin dia datangi untuk dia beritahukan kepada sang suami yang menjadi tujuannya sekarang.
Telah selesai berpakaian dan masih diikuti oleh pelayan setianya di belakang, dia kini sedang berjalan menuju ruang kerja suaminya yang dia buka tanpa mengetuk.
Tidak protes, "Athelina!" Sang suami mengangkat kepalanya dari dokumen apa pun yang sedang dia baca untuk menyambut Athelina dengan senyuman bahagia.
Meniru suaminya, "Darius!" Athelina melakukan hal yang sama, membuat Darius bangun dari kursinya dengan senyuman kecil terukir di muka.
Pria favorit Athelina berjalan mendekatinya, menarik dia mendekat untuk sebuah ciuman singkat sebelum ketiganya kini menuju ke ruang makan demi mengisi perut yang sudah keroncongan.
Mereka duduk di meja panjang yang penuh makanan mahal dan berlebihan dalam jumlah untuk mereka berdua di kursi yang berdekatan dengan pelayan pribadi Athelina di belakang si wanita berdiri dalam diam.
Sarapan mereka berjalan lancar untuk beberapa lama hingga, "Paduka!" Seorang prajurit mendobrak paksa pintu ruang makan mereka.
Menarik perhatian Darius. "Dan apa ...."
"Sang Badai sudah mendobrak jatuh gerbang utama kita." Yang dipotong langsung oleh sang prajurit yang masih berusaha menormalkan napasnya dari berlari begitu cepat.
"Di mana dia sekarang?" Darius berdiri dari kursinya tidak percaya, "Dari mana dirinya datang?" Tidak pernah mendengar kabar ini sebelumnya, "Apa yang dia inginkan?" Melemparkan jutaan pertanyaan.
"Sedang menuju kemari dari gerbang Selatan, dan kami tidak tahu apa yang dia inginkan." Berusaha sebaik mungkin untuk menjawab, sang prajurit melemparkan segala informasi yang dia tahu kepada Darius yang cepat membuat keputusan.
Dia memandangi istrinya, "Kita ke ruang takhta." Tidak ingin wanita itu keluar saat maniak semacam sang badai ada di dalam tembok kotanya, "Sekarang." Dia menawarkan tangan.
Sang istri yang tak bisa menyembunyikan senangnya bisa bertemu dengan pria yang diceritakan telah mengelilingi seluruh benua cepat berdiri dari kursinya dan menggenggam tangan Darius.
Berbeda dengan sang pelayan yang harus Athelina bangunkan dari khayalan, "Ayo, Eleanor!" Athelina panas semangatnya dari menanyakan jutaan pertanyaan tentang dunia luar kepada sang badai.
Sosok yang kini sudah mendobrak jatuh pintu istana mereka, memaksa masuk ke ruang takhta dengan bangganya bersama tiga orang lainnya.
Setiap dari mereka berpakaian begitu berbeda dari yang lainnya. Dengan sang badai yang paling menonjol di antara mereka karena tidak menutupi paruh atas tubuhnya yang penuh luka.
Tentu saja, itu bukan berarti rombongan yang menemani sang badai tidak eksentrik di mata Athelina. Ada wanita pendek yang memakai topi koboi hitam dan jubah panjang, serta seorang anak gadis dengan gaun mahal yang memiliki kilau-kilau benang emas di dalam mereka.
Satu-satunya orang yang mungkin bisa Athelina bilang normal adalah seorang gadis muda pirang berpakaian seperti seorang pria yang memegang tangan si anak kecil bergaun.
Telah selesai menginspeksi mereka semua, Athelina membuka mulutnya untuk bertanya.
"Dan apa tepatnya yang diinginkan Sang Badai dan rombongannya hingga dia datang ke hadapanku?" Hanya untuk dipotong oleh Darius yang sedang bertopang dagu di sampingnya.
Athelina melemparkan tatapan tidak suka yang jelas sekali tidak dilihat atau dirasakan oleh sang suami, sebuah tatapan yang tidak bertahan lama saat sang badai menyebutkan sesuatu yang sudah membuat Athelina bertanya-tanya sejak kemunculannya.
"Simbol kalian." Kata si pria perkasa, seakan simbol yang dengan sakit terukir ke pundak kirinya itu punya suatu guna selain menjadi tanda keberuntungan Athelina yang menjadi semakin sehat sejak kemunculannya.
Yakin bahwa sang badai yang sangat mencintai damai itu tidak mungkin mencari dan meminta sesuatu dari mereka secara paksa andai kata tidak ada alasan yang bagus.
Percaya pada penilaiannya, Athelina jatuh pada pikiran panjang yang mengabaikan perdebatan mereka hingga sebuah getaran membangunkannya.
"Untuk menghapus kutukan Lucy-ku." Membuat dia bisa mendengarkan alasan sang badai menginginkan simbol yang mereka berdua punya.
Tentu saja! Teriak Athelina dalam pikirannya, "Bagaimana kalau tidak?" Memaksa dia mengucapkan secara tidak sengaja apa yang dia tebak akan sang suami ucapkan.
Dan dari tatapan mata suaminya, dia tahu bahwa tebakannya benar.
Cepat, "Bagaimana kalau kami tidak memberikanmu simbol kami, tapi kami membantumu menyembuhkan kutukan anakmu?" Athelina memperjelas tawarannya.
"Kami setuju." Jawab sang badai, membuat Athelina mengepalkan tangannya bahagia.
Dia melakukan perayaan kecil-kecilan sembari mempertanyakan detailnya kepada Darius dengan tatapan memelas, "Clara bisa melakukannya 'kan?" Berusaha membujuk dalam suara.
"Mungkin saja." Membuat suara suaminya melemah, "Tapi Athelina ...."
"Bagus!" Dan membiarkan dirinya mengambil kontrol begitu saja.
Darius menganga menonton tindakan istrinya, kemudian membuang napas berat dan menggelengkan kepala. Setelah memijat keningnya untuk beberapa lama, "Bantu kami menuntaskan invasi iblis ini." sebuah ide akhirnya tiba ke kepalanya, "Dan kesembuhan anakmu adalah jaminan kami."
"Kami sudah melakukannya!" Balas wanita pendek bertopi koboi dengan bangganya, sebuah pernyataan yang menerima anggukan dari dua orang lainnya.
Darius mengiyakan, "Benar. Di Tenggara." Lalu memperbaiki konsepsi salah mereka, "Tapi masalah ini berasal dari kota kecil di Barat Laut ibu kota."
Kota kecil di Barat Laut ibu kota ...? Quinn memegang dagunya, merasa familier dengan tempat yang dideskripsikan oleh Darius.
Hal itu membuatnya membuka mulut, "Apa pun itu." Mengeluarkan suara yang kini dimakan habis oleh bariton George, "Kami akan melakukannya." Yang mengiyakannya dengan tidak sabaran.
Melihat antusiasme dan motivasi dari si pria besar, "Luar biasa." Darius tersenyum, "Kami akan memberimu kabar segera." Mempersilakan mereka keluar dituntun oleh beberapa orang prajurit agar dibawa ke rumah khusus untuk tamu-tamu politik yang penting baginya.
Telah kehilangan tamunya, Darius jatuh bersandar ke takhtanya, memandang ke istrinya di seberang yang sibuk tersenyum dengan sinar yang menyilaukan.
"Bolehkah aku mengunjungi mereka besok?"
"Hm ...." Darius pura-pura berpikir, "Tidak?" Menggoda istrinya yang terlalu tertarik pada dunia luar. Bukan berarti Darius tidak mengerti alasannya, istrinya itu tidak pernah benar-benar melihat dunia kecuali istana dan ibu kota.
Oleh karena itulah, "Kenapa tidak!?" Sang istri bereaksi dengan keras saat Darius menolak permintaannya untuk bertemu dan berbicara dengan kelompok yang sang istri anggap telah melihat seluruh benua itu.
Tubuh sang istri maju mendekat, memperjelas wajah cemberut yang terpasang di sana, "Aku bercanda. Bercanda." Memaksa Darius mengangkat tangannya menyerah, "Kita akan pergi mengunjungi mereka bersama-sama besok sore."