Robin menggelengkan kepala, ingin menarik tubuhnya mundur tapi tidak tega meninggalkan Lucy di pangkuannya sendirian menghadapi sang raksasa di depan.
Kecuali pria yang marah ini adalah .... "... papanya?"
"Ha ...?" George melepaskan kepalan tangannya, dikejutkan oleh pertanyaan Robin yang mengetahui hubungan mereka berdua.
Robin mengulang, "A ... Anda papanya 'kan?" memastikan bahwa pria dengan tas raksasa di depannya ini memang benar datang untuk anak gadis manis di pangkuannya dan bukan untuk membunuh mereka berdua.
George diam sebentar memikirkan jawaban, ini pertama kalinya ada orang yang mempertanyakan hubungannya dengan Lucy seperti saat ini.
Sebelumnya, kebanyakan dari mereka hanya menggunakan putrinya sebagai semacam perisai untuk mengusir George selama beberapa waktu dari tempat kekuasaan atau diri mereka sendiri. Sebuah keputusan yang selalu berakhir buruk bagi mereka.
Oleh karena itulah, melihat tindakan si wanita dan kondisi Lucy yang walau memasang ekspresi sakit sudah bernapas agak normal di paha si wanita, "... kau temannya?" George hanya bisa mengasumsikan dengan sedikit takut.
Suaranya bergetar khawatir dirinya sudah mengusir teman pertama yang putrinya buat, sesuatu yang menurut George sangat penting untuk perkembangan putri semata wayangnya.
Teman? Robin memiringkan kepala, tidak mengerti asumsi itu datang dari mana. Mungkin maksud dia ... teman bicara? Tidak percaya George sebodoh itu dalam membaca ruangan, Robin tertawa canggung, "Iya ...?" Lalu menjawab dengan ragu.
Jawaban itu membuat George membeku, Apa yang sudah aku lakukan sekarang!? Dia berteriak dalam kepalanya, "Ma ...." Dan mulai berusaha untuk mengatakan sesuatu yang sudah begitu lama tidak dia katakan pada orang lain.
Tentu saja, dia gagal di percobaan pertama, hanya menyelesaikan kalimatnya pada angin yang berhembus sepoi-sepoi.
Diam yang lama mengisi mereka berdua, dengan George berpikir bahwa Robin mendengarkan, dan Robin yang masih menunggu lanjutan dari, "Ma?" Yang akhirnya dia tanyakan dan tagih.
George bergidik terkejut, merasakan takut melakukan kesalahan dalam situasi sosial sejak lama. Dia menelan ludah, bersama ludah itu adalah pil khayalan yang kemudian membuatnya bergerak.
"Maafkan aku!" Dia membungkuk cepat, begitu cepat hingga angin terbang dari arahnya, mengejutkan semua orang termasuk Robin yang tidak mengerti mengapa raksasa di depannya meminta maaf.
Tidak ada suara yang bisa keluar dari tenggorokan Robin yang mengaga, masih dibingungkan oleh George yang lanjut bertanya, "Dia memiliki episode lainnya saat sedang makan, huh?"
"Episode lainnya ...?"
George mengangguk, mengangkat tubuhnya untuk kembali tegap sebelum menjatuhkannya ke lantai agar dia bisa duduk di sana dan menatap anaknya lebih dekat sembari bercerita.
"Seseorang mengutuknya." George memulai, "Membuat penderitaannya terus meningkat setiap harinya." Mengambil tangan anaknya dari Robin, "Dan hanya ini yang bisa aku lakukan untuknya." Merasakan panas luar biasa yang tidak bisa membuatnya melepaskan.
Robin diam berpikir, "Jadi itu alasan kalian bertualang bersama?" Akhirnya berhasil mengaitkan cerita George dan Lucy menjadi satu kesatuan.
George tertawa kecil, "Benar." Dia lalu mengangguk mengiyakan, "Tapi tidak peduli ke mana kaki ini melangkah ... tidak ada yang bisa menghapus kutukannya." Kemudian melanjutkan.
Robin diam, tidak tahu harus mengatakan apa pada sang pria yang tidak pernah melepaskan mata penuh cintanya dari sang putri. Dia tahu betul bahwa dirinya pasti tidak lebih berpengetahuan dari pria di depannya yang mungkin sudah menginjakkan kaki di seluruh dunia.
Akan tetapi, jika itu sungguh benar maka harapan Robin untuk kembali ke rumah orang tuanya adalah tiada.
Menyadari hal itu, "... pusat dunia juga tidak bekerja?" Si pemuda melemparkan pertanyaan kepada sang raksasa yang terdiam karena pertanyaannya.
George mengalihkan matanya dari sang putri, "Pusat dunia ...?" Menatap langsung ke mata Robin berusaha mencari kebohongan, tapi sekaligus penuh harapan.
Melihat itu, Robin mengangguk.
"Memangnya ada apa di pusat dunia ...?" George mengangkat alisnya bingung, baru pertama kalinya mendengar masalah pusat dunia ini dari seseorang.
Mendengar pertanyaan itu, Robin membuka mulutnya untuk menjawab, tapi suara pintu restoran yang didobrak menghentikannya.
"Sang Badai!" Di sana, wujud sang ayah yang terengah-engah tampak jelas dengan wajah marah, "Kenapa kau lari!?"
Ekspresi George berubah total, "Namaku George, teman." Dia memasang senyum arogan sembari berdiri dengan pelan, "Dan aku sudah bosan." Menggerakkan tubuhnya untuk mengangkat Lucy kemudian Robin dari lantai restoran untuk dia gendong di dadanya.
Sedarah, dua teriakan terkejut dari ayah dan anak itu keluar di saat yang hampir sama.
"Robin!?" Arion mempertanyakan keberadaan anaknya, berpikir putranya itu sudah selamat dan keluar dari ibu kota dalam kasus terbaiknya, dan mati dimakan hewan buas dalam kasus yang paling buruk. Sebab sekarang, inilah kasus yang paling buruk.
"Sang Badai!?" Robin memperhatikan dengan jelas pria besar yang sekarang menggendongnya itu, berusaha membaca dan memastikan bahwa ayahnya tidak mengatakan omong kosong belaka.
Tidak ada yang tidak pernah mendengar masalah Sang Badai dan putrinya, seperti bagaimana tidak ada yang akan menyangka mereka akan diangkat dan digendong oleh sang badai entah kenapa.
"Tunggu, tunggu, tunggu!" Robin protes secara verbal, "Sampai jumpa lagi." Tapi George tidak mendengarkan.
Dia menciptakan kuda-kuda, merasakan ototnya berkontraksi lebih kuat dari sebelum-sebelumnya, seakan petir yang menyambarnya beberapa waktu lalu memberinya kekuatan baru.
George melompat, menciptakan lubang kedua di restoran itu dengan tubuhnya yang dia bentuk sedemikian rupa untuk melindungi kedua penumpang di dada.
Robin melihat sekeliling, akhirnya sadar bahwa dia takut ketinggian, menggenggam lebih dalam ke dada George dan menutup mata, hanya sadar bahwa mereka sudah mendarat dari guncangan kecil yang dia rasa.
Membuka mata, Robin sedang diturunkan oleh George agar berdiri tegap di jalanan ibu kota.
Kemudian, "Sekarang, katakan padaku tentang pusat dunia." George mulai berjalan sembari melemparkan pertanyaan.
Robin yang membeku bingung akhirnya tersadar, berlari kecil agar bisa berjalan di samping George, agar bisa menatap langsung ke wajah si pria yang tersenyum ke depan dengan putrinya di gendongan tertidur tenang.
"Di sana," Robin memulai, "Ada seseorang yang bisa mengabulkan permintaan semua." Dia menjelaskan menggunakan pengetahuan yang dia dapat dari mimpinya.
"Apa pun permintaan mereka?" George memastikan, tidak lagi menatap ke depan, kini berjalan sambil bertatap muka dengan Robin yang menjawab dengan anggukan.
Melihat itu, "Apakah kau ingin pergi ke sana?" George melempar pertanyaan lanjutan.
Langkah Robin berhenti mengingat-ingat alasan, lalu dia menjawab dengan lantang, "Iya!" Kepada sang raksasa yang tidak lagi ada di sampingnya.
Mencari-cari, Robin akhirnya sadar dia ada di mana.
Dikelilingi rumah-rumah warga, Robin memperhatikan dua penjaga gerbang timur ibu kota yang hanya diam menatapnya, bingung dan takut mewarnai mata mereka.
Lalu, "Kalau begitu." Perhatiannya ditarik George yang mengulurkan tangan, "Apa yang kau tunggu?" Memanggil Robin untuk melangkah keluar melewati gerbang.
Pria itu sudah ada di sisi lain, berada di luar dari tembok kota yang begitu dia cintai.
Kota penuh memori dan kenangan yang tidak akan pernah dia lupa ini serasa berusaha menghentikannya untuk lari.
"Robin!" Begitu pula teriakan ayahnya di belakang yang datang untuk mengejar George yang hanya memasang senyum percaya diri di wajahnya.
Robin diberikan pilihan oleh alam, menunggu ayahnya mencapainya dengan harapan bahwa semua dosanya akan dimaafkan, atau pergi dengan pria yang tidak dia kenal menuju tempat yang hanya dia tahu dari mimpi.
Dan Robin memilih.
Kakinya dia angkat bergerak untuk berlari, "Robin!" Berlari menjauh dari ayahnya yang mengulurkan tangan untuk menerima tawaran sang raksasa.
Dadanya sakit saat dia melewati gerbang timur ibu kota, begitu sakit saat dia berbalik dan melihat ayahnya hanya berdiri dibalik gerbang itu, diam di sana dengan mata tidak percaya.
Robin mengepalkan tangan, menahan iba dan keinginan untuk mengucapkan apa pun kepada sang pria paruh baya. Dia telah membuat pilihannya, seperti seorang pria, dan sekarang sudah siap untuk melewati segala macam bencana yang ada di antah berantah di depan mata.
George berbalik, tidak menunggu Robin yang diam sejenak lebih lama untuk memperhatikan wujud sang ayah, sebelum akhirnya mengikuti langkah sang raksasa ke perjalanan mereka menuju pusat dunia.
Arion berdiri lama di depan gerbang timur memikirkan semua tindakannya, perlahan ditinggalkan satu per satu oleh prajuritnya yang hanya bisa menepuk pundak dia.
Dirinya sibuk memikirkan anaknya, hanya bisa berharap darah dagingnya itu tidak dicabik-cabik bencana sebelum sang putra bisa kembali ke rumah.
Lalu akhirnya, "Ayah akan menunggumu, Sayang." Arion membalikkan badan saat hujan mulai jatuh ke tanah ibu kota, mengusir dia dari pos jaganya untuk kembali ke rumah, ke istrinya yang pasti akan marah besar jika dia menceritakan ini semua, konsekuensi yang pantas didapatkannya.
Benar saja, "Berhenti menghindar, bajingan!" Buku tangan istrinya luka-luka dari marah.
"Aku tidak ingin mati, Eter!" Tidak berhenti berusaha memukul Arion yang kini mengikuti keinginan sang istri dengan menangkis segala pukulan itu.
"Berhenti menangkis juga!" Demeter meneriakkan perintah lain, "Kau tidak akan mati!" Memastikan kepada Arion bahwa dia tidak akan mati hari ini, "Anak kita yang akan ...." Lalu menangisi anak mereka, "... akan ...." Sebelum akhirnya berhenti.
Arion menjatuhkan pertahanannya, menatap istrinya menderita di depan mata, ingin maju menenangkan, tapi tahu betul sang istri masih akan memukul dia.
"Eter aku yakin dia ...." Arion berusaha membujuk sang istri dari kejauhan, "Diam!" Hanya untuk dipotong oleh sang istri dengan tatapan geram.