Chapter 7 - Bab 7

"Hm ...!" Lucy protes kecil, berbalik untuk meregangkan badannya meski masih terlentang.

Matanya mengintip, melihat George di sampingnya yang masih belum juga menggerakkan tangan yang menjadi bantalan Lucy untuk tidur yang hampir nyenyak.

Lalu, matanya mencuri pandang keluar, berusaha menebak apa yang ada di balik tirai jendela hanya dengan menilai cahaya yang ingin mendobrak masuk dari sana.

Dan Lucy menebak, "Matahari saja belum ada ...."

"Sebentar lagi dia akan ada, Sayang." George membantah, "Kita ingin pergi saat itu tiba." Menjelaskan, "Ditambah lagi, Lucy tidak mau tampil buruk saat pertama kali memasuki ibu kota mereka 'kan?"

Berpikir sebentar, Lucy akhirnya mengangguk dan bangun dari posisi terlentangnya. Kali ini, sang gadis duduk dengan malas di kasur sembari memperhatikan ayahnya yang membelakanginya untuk mengganti pakaian.

Sang ayah tidak mengambil banyak waktu, hanya mengganti hal-hal yang dikenakan paruh bawah tubuhnya, karena memang hanya itu yang ditutupi sesuatu.

Lucy tidak pernah mengerti mengapa ayahnya tidak suka pakai baju, dia cuma iri karena sang ayah bisa melakukannya dengan bebas sementara Lucy tak boleh melakukannya.

Lucy padahal ingin bertelanjang dada juga ..., protesnya di dalam hati.

Ingin dia untuk mengatakan hal itu secara keras sekali lagi, pakaiannya kadang terlalu panas bahkan untuk Lucy, tapi setelah pembicaraan dan penekanan yang keras dari sang ayah, Lucy tahu betul mengatakan hal itu hanya akan menghasilkan hal yang sama.

Oleh karena itulah, "Lucy, kemarilah." Saat sang ayah memanggil untuk mengganti pakaiannya, "Hm!" Lucy hanya bisa mengangguk dan menelan tidak sukanya terhadap pakaian.

"Mau yang mana hari ini, Sayang?" Sang ayah menunjukkan padanya beberapa gaun mewah dari tas perjalanan besar mereka, tapi Lucy tidak menginginkan satu pun dari mereka, sejujurnya.

Dia sudah merasa gerah dengan melihat wujud mereka saja, apa lagi mengenakannya di tubuh. Dan ekspresi tidak suka Lucy itu bisa George baca jelas di mata putrinya.

Anaknya itu memang terlalu jarang menyuarakan sesuatu bagi George agar dia bisa menyesuaikan tindakan, sikap, dan cara bicaranya agar tidak membuat putri semata wayangnya kewalahan.

Akan tetapi, untuk hal semacam ini, George bisa mengerti terlalu mudah. Dia menyentuhkan punggung tangannya ke kepala sang gadis, merasakan punggung tangan itu terbakar.

Naik lagi, huh. Bisik hati George yang memasang senyum yang dia paksa keluar, dia harus menemukan sesuatu yang bisa menghentikan panas ini dari merenggut putrinya.

"Bagaimana dengan mandi sebelum ganti pakaian?" George mengubah topik mereka.

"Tapi di sini tidak ada pemandian ...." Lucy menjawab segera, tertarik untuk menghentikan rasa gerah yang mengunyah seluruh tubuh ini, tapi tidak melihat solusi.

"Ayah melihat sebuah sungai dekat sini saat berkeliling kemarin." George menghapus khawatir, "Dia ada di arah ibu kota yang akan kita tuju." Lalu kembali bertanya, "Bagaimana?"

Lucy menaruh telunjuknya di bibir, menekan-nekan mulutnya sembari berpikir, "Akankah Papa ...."

"Ayah akan menghalangi orang-orang dari menonton, tentu saja." George menghentikan kereta pikiran anak semata wayangnya dengan jawaban penuh keyakinan.

Senyum percaya diri yang lebar itu ditiru Lucy yang mengangguk yang mengizinkan George untuk mulai bergerak.

Dia menggendong tas besar yang penuh berbagai barang untuk kehidupan nomad, lalu mengangkat putrinya ke gendongan depan yang putrinya cukup suka.

Lucy hanya diam di sana dengan George berjalan keluar setelah merebut beberapa keping emas dari kantung emas yang tergantung di belakang pinggangnya.

Dia menaruh keping-keping emas itu di atas meja resepsionis yang masih kosong sebelum kemudian keluar dari pintu penginapan, memulai perjalanan keduanya ke ibu kota dengan sedikit berhenti di sungai.

George menatap sang putri yang sibuk memeluknya.

Dia berbisik, "Bertahanlah ...." Entah sudah berapa kali Arion membisikkan hal itu kepada dirinya sendiri, berharap jantungnya berhenti berdetak terlalu cepat.

Matahari sudah begitu tinggi di langit, tapi Arion tidak peduli. Dia tetap berjemur di bawah mereka di depan rumah, memastikan semua perlengkapannya siap perang.

Istrinya tidak melakukan hal yang sama, wanita itu sudah menghilang sejak tiba kabar dari informan mereka bahwa Sang Badai sedang menuju ke ibu kota pagi ini.

Arion berharap sang istri ada di sini agar keduanya bisa mengalihkan perhatian masing-masing dari bencana yang akan datang ini. Paling tidak, Arion ingin tahu apa yang istrinya sedang lakukan sekarang agar dia bisa membohongi dirinya sendiri bahwa mengiyakan permintaan istrinya kemarin untuk ikut dalam perang ini bukanlah hal yang salah.

Dia berharap istrinya sedang latihan dasar perang, atau bahkan olahraga lari agar bisa menjauh dari ladang pembunuhan di depan tembok ibu kota nantinya.

Apa saja yang akan memberikan kesempatan untuk selamat lebih banyak kepada sang istri yang sampai sekarang belum juga memaafkan keputusan Arion dan para petinggi negara.

Tentu saja Arion berusaha mendebat istrinya beberapa kali kemarin dan bahkan meminta maaf, tapi semua yang sang istri lakukan adalah diam dan membalas Arion dengan tinju, dan Arion tidak pernah ingin ditinju wanita itu.

Bukan hanya karena dia tidak benar-benar ingin membalas sang wanita, tapi juga karena hampir semua orang di kota tahu bahwa beradu tinju dengan putri jenderal besar yang sebelumnya itu adalah kesalahan besar.

Istrinya punya tendensi terhadap kekerasan, dan Arion harus mengaku dia tidak benar-benar ingin tendensi itu diarahkan kepadanya, seperti bagaimana Arion harus mengaku dia tidak mau melihat gadis muda yang baru saja dia lihat lewat di depannya.

Gadis itu mengenakan pakaian mewah, mahal yang Arion selalu anggap terlalu membuang uang. Bagai seorang putri, gadis muda itu berjalan dengan anggunnya melewati semua yang memandang dari kejauhan, tidak ada yang tidak tahu petaka apa yang gadis itu bawa bersamanya.

"Tenang sebelum bencana ...." Arion mengulangi ucapan mereka, "Iblis sebelum Menara ...." Menyelesaikannya sembari mengisyaratkan kepada seorang prajurit di sana untuk pergi berlari dan melapor ke istana.

Putih indah yang dibungkus ungu dan merah tidak pernah datang sendiri, dan prajurit yang datang terburu-buru beberapa saat setelah sang gadis muda menghilang entah ke belokan mana menjadi penandanya.

Prajurit itu kehabisan napas, hanya menunjuk-nunjuk ke arah gerbang barat berusaha mengatakan sesuatu yang Arion ucapkan, "Sang Badai."

Prajurit itu mengangguk, mengizinkan Arion untuk cepat mempersiapkan dirinya dengan bantuan sang prajurit.

Zirah penuhnya dia pakai, berkilau perunggu itu di bawah mentari berusaha meniru emas, senjata peraknya memiliki kilau yang sedikit lebih mengkilap, seakan memanggil prajurit-prajurit yang mulai tampak di mata Arion.

Mereka melangkah dengan disiplin, berada dalam zirah penuh yang hampir mirip dengan zirah yang dikenakan Arion.

Setiap dari mereka memiliki zirah, hanya dibedakan oleh senjata yang terbagi antara pedang dan tombak saja. Mereka berhenti di depan Arion yang kemudian mengambil posisi sebagai pemimpin, memulai perjalanan mereka menuju akhir.

Orang-orang bersembunyi di dalam rumah mereka, menangisi orang tua, anak, atau suami mereka yang akan mati di barat ibu kota, mati demi melindungi mereka semua.

Arion yang gagal menemukan istrinya tepat waktu, hanya bisa mengharapkan hal yang sama, bahwa dia akan mati agar cinta seumur hidupnya akan hidup untuk menjemput anak mereka pulang suatu hari nanti.

Dengan harapan semacam itu mengisi pikiran, Arion dan mayoritas kekuatan militer ibu kota telah melewati gerbang barat.

Di depan mereka tampaklah sang musuh. Sendirian, besar, berotot, dan menakutkan. Ekspresi pria itu semakin jelas semakin dekat mereka bergerak, mengizinkan semua orang untuk melihat senyum kejam arogan yang terukir di wajah sang pria.

Mereka berhenti agak jauh dari sang pria yang tidak bergerak dari posisinya. Strategi perang mereka yang standar akan selalu merekomendasikan mereka membangun tembok dari perisai yang semua orang genggam.

Akan tetapi, semua orang bisa melihat seberapa sia-sianya hal itu dari tangan musuh mereka yang hampir sebesar kepala mereka.

Mungkin itulah alasan ada senyap di sana, sebuah sunyi tenang sebelum bencana.

Tidak, tidak, tidak! Arion menggelengkan kepala, menghapus putus asa dari hatinya, kemudian meneriakkan perintah, "Untuk semua yang berani!" Yang dimakan oleh suara musuh mereka, "Majulah!" Yang menantang.

Lawan mereka yang tidak punya zirah, senjata, dan telanjang dada itu mengambil satu langkah ke depan, kemudian menggunakan kakinya itu untuk menggambarkan garis ke tanah.

Si lawan lalu mundur beberapa langkah, kemudian menunduk dengan isyarat mempersilakan. Semua orang termasuk Arion dimakan bingung, perlu beberapa saat untuk memproses apa yang sedang musuh mereka tawarkan.

Dan saat semua orang sadar akan apa yang sang musuh sedang tawarkan, tidak ada yang berubah. Mereka semua ingin pulang ke rumah tanpa benar-benar menghadapi legenda hidup di depan mereka, termasuk Arion.

Meski begitu, tentu saja ada orang bodoh. Pikir Arion menonton salah satu prajurit yang dia asumsikan muda dan kurang berpengalaman itu maju. Seperti anjing pemburu yang haus darah, si prajurit jelas sekali menginginkan ketenaran yang mustahil dimilikinya.

Arion tersenyum menghina sampai matanya yang jeli menangkap sedikit rambut pirang dibalik helm dari zirah penuh itu.

Robin!? Arion berteriak dalam hati hanya untuk cepat tenang karena sadar tubuh anaknya tidak setinggi itu, Aman .... Dia membuang napas lega, "Demeter!?" Dan sekali lagi menyuarakan terkejutnya.

Benar saja prajurit itu berbalik, melemparkan tatapan tajam ke Arion yang tahu betul istrinya sedang tersenyum kejam di bawah helm itu. Sang istri ingin bunuh diri.

Sial, sial, sial! Arion menggerutu dalam hati sembari berlari menyusul sang prajurit yang terus melanjutkan perjalanannya dengan tenang ke depan tanpa ragu.

Saat Arion mencapai sang prajurit, "Apa yang kau pikir sedang kau lakukan, Eter!?" Dia menarik paksa pundak istrinya itu dan meminta jawaban.

"Ion, Sayang." Suara sang istri merespons dari balik helmnya, "Itu pertanyaanku." Melanjutkan dengan sombongnya, "Lihatlah dulu."

"Apa ...." Arion menatap sekeliling, "... maksudmu ...." Lalu kehilangan suaranya.

Dia ada tepat di belakang garis yang sudah ditentukan musuh mereka, dan sang lawan ada di depan keduanya, tersenyum dengan begitu hangatnya seakan mereka bertiga adalah teman baik.

Pria itu jauh di atas Arion, menjulang tinggi, mungkin dua meter lebih. Ada beberapa otot si pria yang lebih besar daripada badannya, tangan besar itu dikepal, sedikit besar dari kepala Arion yang menonton George yang dipenuhi luka sangar di bagian-bagian vital dan seluruh tempat lain.

"Namaku George." Sang lawan membuka mulut memecah senyap, "George Mayn." Memperkenalkan dirinya, "Bagaimana dengan kalian?" Menawarkan tangan.

"Demeter." Sang istri dengan santainya menjabat tangan si monster, jelas sekali sudah kehilangan pikirannya karena tindakan Arion yang mengusir anak mereka kemarin.

"A ... Arion." Sadar bahwa dirinya ditatap dengan penuh ekspektasi oleh dua orang yang sudah berjabat tangan itu, Arion bergabung dan juga menggenggam tangan besar sang pria.

Mengangguk, lawan mereka berdua itu menarik tangannya mundur, "Bisakah kita mulai sekarang?" Dan bertanya.

Sesuatu yang dijawab cepat oleh istrinya yang mengiyakan dengan kepala kemudian melompat ke samping.

Arion menirunya, menghindari tangan sang raksasa yang jatuh cepat ke bawah, menghancurkan tempat mereka berpijak sebelumnya.

Melihat kesempatan, Demeter mendorong pedangnya ke depan, menusuk lengan atas lawannya, tapi tidak cukup. Kulit pria itu kuat seperti cerita-cerita orang, dan Demeter mengharapkan itu.

Dia menarik mundur pedangnya, telah berhasil mendapatkan perhatian sang raksasa, Demeter menggunakan tubuhnya yang lebih kecil dan cekatan bergerak lebih cepat daripada serangan sang pria.

Mereka berdua berdansa, membiarkan Arion menonton di samping dengan heran tanpa benar-benar menyerang.

Tapi kemudian, "Seekor lalat, eh." Bisikan sang raksasa menggerakkan Arion cepat. Sekilas saja dia bisa melihat bahaya yang ditunjukkan oleh senyum lawan mereka yang semakin besar.

Ingin menghentikan apa pun yang berusaha sang raksasa lakukan pada Demeter, Arion bergerak maju dan mulai menebas, membuat dia tidak lagi bebas.

Pedangnya ditangkap, gerakan pria itu menjadi lebih cepat daripada sebelumnya, mengejutkan Demeter yang tidak percaya, tapi sudah berada dalam jangkauan tebakan Arion.

Dia tahu betul lawannya suka bermain-main dengan mangsanya, dan ini adalah salah satu permainan busuknya, menahan senjata Arion yang berusaha keras untuk menarik pedang kesayangannya itu lepas dari genggaman sang raksasa.

Namun tidak peduli berapa kali dia menarik, pedangnya tak mau keluar.

"Hanya itu?" Sang raksasa menghina, mengejek, dan menantangnya.

Arion menambah kekuatannya, berusaha lebih keras lagi, tapi tidak ada perubahan kecuali satu: sang raksasa memperkuat genggamannya, mengizinkan Arion untuk menarik pedangnya yang kini sudah kehilangan mata.

Dia terlempar terduduk di tanah karena tenaganya sendiri, menatap pedangnya yang buta dan telapak tangan sang raksasa yang terbuka lebar dan berdarah dengan kepingan-kepingan pedangnya tersangkut di sana.

Sang istri yang melihat kesempatan mencoba menebas leher sang raksasa, tapi semua yang pedang itu berhasil lakukan adalah membawa perhatian sang raksasa kepada istrinya.

"Tunggu!" Arion berteriak berusaha mengalihkan perhatian sang raksasa dari istrinya yang hanya diam di tempat.

Kakinya bergerak cepat, tangannya membuang pedang yang sudah tidak berguna itu ke tanah, dia menggunakan seluruh tenaganya untuk menahan sang raksasa, tapi dengan sedikit tenaga; sang raksasa menghempaskannya jauh.

Lalu, tidak ada lagi jarak antara sang raksasa dengan istrinya. Arion ingin mengalihkan mata, tahu betul apa yang sang raksasa biasa lakukan kepada lawannya bila dia sudah sedekat itu.

Namun, "Lucy?" Alih-alih melakukan hal yang sudah pernah Arion saksikan itu, sang raksasa mengalihkan mata, menyebutkan nama yang tidak Arion kenali.

George bisa merasakannya, ada yang salah dengan anak semata wayangnya.

"Lucy!" Dia berteriak sekeras yang dia bisa, kemudian berlari ke tempat di mana sang putri harusnya ada.

Tengah ibu kota, di dalam salah satu restoran paling mahal di sana, Robin sedang membiarkan seorang anak gadis muda berbaring di pahanya.