Chapter 8 - Bab 8

Robin menghentikan sandiwara saat dirinya menutup pintu rumah keluarganya. Tangannya melekat di gagang pintu itu tidak mau melepaskan. Perasaan yang dia bendung terus naik ke tenggorokan, tubuhnya gemetar.

Begitu banyak kenangan yang disaksikan oleh gagang pintu itu, terbuka dan tertutup oleh tangan-tangan keluarga kecil mereka serta beberapa tamu yang jarang sekali datang ke rumah.

Robin berharap, tidak, dia berdoa. Dia berdoa agar suatu hari nanti dia bisa kembali lagi kemari, berdoa agar ini bukanlah yang terakhir kali dirinya menyentuh gagang pintu yang sekarang dia coba elus itu, ingin dorong agar dirinya bisa masuk lagi, dan menemukan kedua orang tuanya di dalam mengatakan bahwa mereka bercanda, atau berubah pikiran.

Apa saja ... apa saja selain ini .... Pikir Robin, tapi seakan mengingatkan akan kenyataan, tangan kanannya yang sedari tadi memegang gagang pintu itu ditusuk rasa sakit yang menyengat.

Dia menarik tangannya, jatuh berlutut kemudian di tanah memegangi pergelangan tangan kanannya itu. Perlu beberapa lama sebelum rasa sakit itu berhenti, mengizinkan Robin untuk kembali berdiri sembari berusaha mengatur napasnya agar kembali normal.

Dia menatap tangan kanannya dengan rasa penasaran, tidak tahu apa yang baru saja terjadi di sana, tapi tidak berani juga membuka zirah yang sudah dilekatkan ke tubuhnya oleh sang ayah.

Pada akhirnya, Robin memutuskan untuk mengabaikan itu, seperti bagaimana dia memutuskan untuk mengabaikan fakta bahwa dirinya baru saja diusir dari rumah.

Seperti orang bodoh, dia hanya melangkah tanpa tujuan mengelilingi ibu kota. Matanya sesekali menangkap nostalgia di jalanan-jalanan yang sepi di bawah terik mentari siang itu.

Robin masih ingat beberapa kali dia berhenti di sekitar distrik pasar tempatnya ada sekarang untuk berbincang dengan beberapa orang, dia masih ingat anak-anak di daerah kumuh yang selalu mengajaknya bermain setiap kali mereka ketemu.

Dirinya ingat kali pertama dan terakhir dia masuk akademi militer, dia ingat hari dikala sang ibu menawarkan padanya untuk masuk universitas wanita saja demi mengejar pendidikan.

Dia mengingat semuanya, masa yang lebih indah, sesuatu yang tidak akan bisa dia capai tidak peduli apa, seperti luar tembok ibu kota yang telah menutup gerbangnya.

Robin yang terjebak dalam ibu kota karena terlalu sibuk nostalgia pada akhirnya dipaksa untuk menginap satu malam di penginapan dengan sebuah restoran mewah di bawah.

Dirinya melepaskan zirah yang dipakaikan ke tubuhnya oleh sang ayah dengan hati-hati, tidak ingin ada satu pun lecet di tubuhnya atau si zirah.

Kemudian, dia melemparkan tubuhnya ke kasur, merasakan empuk itu mengobati sedikit luka di hatinya, tapi juga menyadarkannya dari segala hal bodoh yang sudah dia lupa.

Tangan kanannya cepat dia angkat untuk dia tatap, membiarkan dirinya melihat simbol lingkaran besar kosong dengan lingkaran kecil berisi di dalamnya sudah terukir di punggung tangannya dengan luka yang mirip stempel besi panas.

Pemandangan itu dan kedamaian palsu yang sekarang adalah hal yang membuat bendungan perasaannya pecah. Air matanya mengalir perlahan, semakin cepat jatuhnya bersama setiap ingatan akan apa yang akan hilang setelah hari ini.

Masakan ibunya, makan malam bersama ayahnya, cerita kecil tentang hari-hari membosankan mereka. Semuanya akan hilang, segalanya akan sirna, dan sebabnya adalah Robin.

"Maafkan aku." Dan dengan pikiran buruk itu, "Ayah ...." Robin menutup mata, "... Ibu ...." Tertidur tanpa mampu menahan kesendirian yang menggerogoti.

Mimpinya malam itu adalah bisikan-bisikan yang sama, mengajaknya ke pusat dunia agar satu hal yang dia inginkan bisa dikabulkan oleh siapa pun, apa pun yang menunggu di sana.

Lalu, Robin membuka mata.

Apa yang membangunkannya adalah sinar mentari yang silau menembus kelopak mata. Dia melompat berdiri dari kasurnya, tidak ingin terlambat ke kelasnya hari ini.

Awalnya dibingungkan oleh tempat dia berada, tapi kemudian dia kembali duduk, sudah sekali lagi mengingat semua yang terjadi sebelum hari ini.

Tidak ingin lagi menangis, Robin hanya menatap kosong ke depan, membuang napas berat sembari membisikkan kebohongan demi kebohongan ke telinganya.

Setelah beberapa lama, sebuah senyum manis mekar di muka Robin, mantranya berhasil. Sekarang, Robin memulai rutinitas paginya dengan sedikit berbeda.

Pertama, dia menggeledah tas agak besar pemberian ibunya yang berisi pakaian serta beberapa perlengkapan berdandan sederhana seperti sisir yang untuk sekarang Robin simpan di atas kasur.

Dirinya masih sibuk mencari baju yang akan dia gunakan hari ini sembari berpikir apakah dia masih ingin menggunakan zirah pemberian sang ayah atau menyimpannya.

Belum bisa memutuskan yang terakhir, Robin sudah memutuskan untuk baju mana yang akan dia gunakan. Baju itu uniseks tapi melihat dirinya di cermin setelah selesai menyisir rambut panjangnya jatuh, Robin tahu betul dia tidak benar-benar tampak ambigu.

Robin membuang napas berat mengelus pipinya sendiri, "Kapan aku bisa menjadi pria sejati ...." Sudah bisa merasakan bahwa mimpi yang berusaha dia capai lebih sulit dari bayangannya.

Namun, keinginannya untuk tinggal dan meratapi hal semacam itu dihapuskan oleh suara perutnya yang bergemuruh, mengingatkan pada Robin bahwa dia belum makan dari kemarin.

Tidak mau sedih dan juga lapar, Robin akhirnya memutuskan untuk berjalan turun dan menuju ke bagian restoran dari penginapan berkelas ibu kota itu.

Di sana, dia melihat orang-orang terdiam di kursi mereka dengan ekspresi ketakutan kecuali seorang anak yang sedang makan bistik dengan lahapnya.

Robin tersenyum kecil, bukan palsu kali ini. Dia sungguh terhibur melihat cara sang gadis muda melahap habis bistik di meja itu secepat yang dia bisa.

Tentu saja, Robin merasa agak aneh bahwa anak itu hanya duduk sendirian di meja yang kini sudah punya beberapa piring keramik putih yang bertumpuk di atasnya.

Akan tetapi Robin tidak merasa itu cukup aneh untuk mendapatkan reaksi ketakutan orang-orang dalam restoran, sang gadis muda hanyalah anak dengan nafsu makan yang besar.

Oleh sebab itu, Robin memutuskan untuk mendekati si gadis, didorong oleh rasa penasaran dan kebutuhannya untuk mencari pengalihan dari masa lalu yang menghantui pikiran.

Dia menarik kursi tepat di depan si gadis yang kemudian memberinya sedikit perhatian, tapi tidak begitu lama melihat bagaimana sang gadis muda cepat kembali ke bistiknya yang dia makan dengan rakus.

Hal itu tidak menghapus senyum Robin, "Kau menyukainya, huh?" Yang mulai bertanya, "Bistik?" Pertanyaan retorika.

Si gadis muda hanya mengangguk, tidak benar-benar ingin mengalihkan matanya dari piring yang kemudian dia habiskan.

Setelah isi piring itu habis, sang gadis muda menatap sekeliling, mencari pelayan yang lebih dulu Robin panggil, mengisyaratkan dua piring bistik lagi untuknya dan si gadis muda yang jelas sekali ingin lebih.

"Siapa namamu, anak manis?" Robin melemparkan pertanyaan lain saat makanan mereka datang cepat.

"Lucy." Berbeda dengan si gadis muda yang menjawab dengan mulut penuh, Robin tidak memakan bistiknya. Dia hanya menunggu, menatap, dan terus bertanya.

"Apakah kau ke sini sendiri?"

Lucy menggeleng, membuat Robin melihat sekeliling sebentar untuk mencari orang yang mungkin merupakan orang tua atau wali dari Lucy, tapi jelas sekali siapa pun yang menemani si gadis muda ini, sedang tidak ada di sini.

Tambah penasaran, "Dengan siapa kau datang kalau begitu?" Robin memajukan badan.

"Papa!" Dan Lucy menjawab dengan begitu bangganya untuk pertama kali dalam percakapan mereka, nada suara sang gadis tidak datar, tapi tinggi dan bersemangat, dengan gerakan tangan yang seakan sedang berusaha menggambarkan wujud ayahnya.

Senyum Robin semakin lebar, "Kau menyukai Papamu, huh, Lucy?" Dan Lucy mengangguk dengan lebih bahagia lagi, dia menyukai setiap kesempatan di mana dia bisa membanggakan pahlawannya itu kepada siapa saja.

Menyukai respons Lucy, "Apakah kalian sering bertualang bersama seperti ini?" Robin menawarkan lebih banyak topik yang sang gadis muda sukai.

Lucy mengangguk lagi, dengan semangat yang sama, dan mulut yang penuh bistik.

"Ke mana saja kalian pernah pergi?" Robin bertanya, menunggu respons lebih jauh dari sang gadis muda, tapi Lucy membeku.

Dia tidak pernah merasakan sakit separah ini sejak dirinya berada di panti asuhan, sebuah panas yang menggerogoti punggungnya, seakan ada makhluk yang ingin keluar dari sana.

"Aaah ...!" Dia berteriak, melepaskan piring itu dari tangannya, mengundang perhatian semua. Tubuhnya memanas, panas luar biasa bagai dia mau meledak.

Robin menatap anak manis di depannya menderita, jatuh ke lantai restoran dan berguling seakan berusaha memadamkan api yang tidak ada.

Semua orang di sekitar hanya menonton, membiarkan Robin mendekat secepatnya dan berusaha menolong Lucy yang masih menggila.

Pada akhirnya, Robin dipaksa menggunakan kekerasan. Dia menahan kedua pundak gadis itu agar bisa mengangkat Lucy ke dalam sebuah pelukan hangat.

Mulutnya mulai menyanyikan lagu-lagu tidur yang biasa ibunya nyanyikan saat Robin mimpi buruk dulu, bersenandung dengan bisikan syahdu di telinga Lucy yang perlahan kembali tenang.

Pelan Robin membaringkan Lucy di pahanya, mengelus lembut rambut putih susu sang gadis muda yang kini sedang berusaha menormalkan napasnya.

Mimpi buruk menghampiri Lucy yang tidak tidur, Neraka itu ingin merebutnya kembali, dia harus lari. Tangannya menjulur, "Papa ...." Berusaha mencapai tangan besar pahlawannya.

Tapi yang menangkap jari-jari kecil itu adalah Robin yang mengusapnya pelan, "Tidak apa, Sayang." Menenangkannya, "Papamu sedang menuju kemari." Menjanjikan sesuatu, "Pasti." Yang tidak dia tahu benar.

Petir menyambar, berusaha menghentikan George yang sudah mengobrak-abrik berbagai restoran di ibu kota.

Namun, George tidak berhenti, dia mengarahkan matanya kepada satu restoran lagi, dan melompat ke sana dengan kekuatan yang luar biasa.

Tanah bergetar saat dia melompat naik tinggi, tepat sasaran untuk jatuh langsung menembus atap restoran di bawah, menciptakan kawah kecil, dan melihat Lucy-nya berada di pangkuan orang yang tidak dia kenal.

"Apa yang sudah kau lakukan pada Lucy, jalang?" George bertanya, masih mengabaikan sakit dari luka lichtenberg yang sekarang permanen di tubuhnya.