Chapter 6 - Bab 6

"Robin!"

Teriak ayahnya dari pintu depan yang kemudian didobrak dengan kasar, Robin diam di tempat tidak ada apa yang baru saja terjadi di luar sana.

Kemudian, "Demeter!" Nama ibunya diteriakkan oleh suara yang sama, Robin mulai memandang penasaran keluar kamarnya ingin mengerti apa yang sedang terjadi kepada sang ayah.

Namun Robin tidak perlu keluar untuk tahu kebenarannya, pintunya dipaksa terbuka juga, membuat Robin menjatuhkan pisau dapur yang ingin dia gunakan ke lantai kamar.

Wujud ayahnya kini jelas di depan mata Robin, sempurna berdiri tegak seperti biasa, tapi sangat berbeda. Tentu saja, yang paling mengundang perhatian adalah zirah logam yang sang ayah peluk dengan kuat.

Akan tetapi, wajah sang ayah juga aneh. Mereka merah, ekspresi yang tertanam di sana adalah khawatir dan buru-buru yang tidak pernah Robin lihat sebelumnya. Napas sang pria yang sesak memberitahukan pada Robin bahwa ada sesuatu yang sangat salah.

Dan benar saja, "Kenakan." Ayahnya membuang zirah itu ke lantai.

Membuat Robin, "A ... apa ...?" Menatap dan bertanya kebingungan, sembari sesekali melemparkan tatapan pada ibunya yang sedang bersandar di daun pintu kamar.

Meski begitu, "Kenakan zirah ini, Robin!" Tatapan memelas bingung Robin hanya mengundang amarah dari sang ayah yang menaikkan suaranya, kini memperjelas bahwa kalimatnya merupakan sebuah perintah.

Tidak bisa melakukan apa-apa, Robin menahan air matanya di pelupuk, kemudian berdiri dari kursinya.

Pelan dia mengenakan zirah itu untuk menutupi tubuhnya, dengan bantuan sang ayah, tentu saja. Ini pertama kalinya mereka begitu dekat secara fisik sejak lama, tapi Robin tidak bisa bahagia. Robin bisa merasakannya di udara, di ekspresi kedua orang tuanya, ini adalah yang terakhir bagi mereka.

Di dalam zirah, air matanya mulai mengalir, berharap sang ayah tidak bisa melihatnya di dalam sana.

Sang ayah yang kini memegang kedua pundak Robin dengan keras, "Sekarang." Memastikan agar Robin mendengarkan, "Dengarkan aku baik-baik, Robin." Memperhatikan, "Pergi dari sini ...." Menangkap kekejaman, "... dan jangan pernah kembali." Merasakan tubuhnya kehilangan kekuatan.

Robin gemetar, dia ingin lari dan menghilang, mengulang semua ini dari awal. Dia ingin satu lagi kesempatan, karena itulah matanya lari ke sang ibu yang mengkhianati harapannya.

Ibu Robin mengalihkan mata dengan wajah menyerah, meninggalkan Robin sendiri menghadapi keputusan dua orang yang telah membawanya ke dunia, dua orang yang begitu Robin cinta, dua orang yang ingin Robin banggakan selamanya.

Oleh sebab itu, "Ta ...." Dia mencoba mencari kesempatan hanya untuk dipotong oleh sang ayah, "Pergi, Robin!" Pria itu meremasnya lebih kuat, "Pergi dan jangan pernah kembali."

Suara ayahnya melemah, "Lupakan kami." Memelas, "Ini bukan keluargamu lagi."

Robin terdiam membeku di tempatnya.

Dia menangisi semua yang akan hilang setelah ini.

Semua yang akan berubah menjadi memori.

Segala kenangan indah yang sekarang akan memberinya perih.

Akhirnya, "Aku mengerti." Robin mengangguk.

Tubuhnya dilepaskan sang ayah, membiarkan dia jatuh ke lantai rumah. Ibunya kemudian melewatinya dengan sebuah tas agak besar, melemparkan tatapan iba tapi tidak menenangkan Robin seperti biasa.

Perlahan, lemari Robin dikosongkan. Semua baju favoritnya dimasukkan ke dalam tas itu dan beberapa yang lainnya sebelum sang ibu akhirnya keluar.

Robin sendirian, sesuatu yang sebentar lagi akan terjadi setiap hari, setiap saat.

Tidak ada lagi harapan untuk menyatukan kedua orang tuanya.

Tidak ada lagi harapan untuk berubah, Robin sudah terlambat untuk melakukan semuanya.

Memikirkan itu semua, Robin menyesali setiap keputusan yang dia ambil untuk tiba pada titik ini, entah apa saja yang termasuk dalam keputusan itu.

Dia mulai memikirkan masa yang lebih indah, jauh dari semua masalah, saat keluarga mereka tidak harus menghadapi ancaman apa pun dari luar sana.

Dan di sinilah mereka sekarang, dengan sang ayah yang mengangkat Robin berdiri tegap dan sang ibu yang memaksa Robin untuk menggendong tas kulit yang kini sudah penuh itu.

Robin ingin goyah dan merajuk, dia mau menanamkan kakinya ke lantai dan menyatu dengan rumah ini agar tidak pernah meninggalkan kedua orang tuanya.

Namun, "Ayah." Robin tidak mau melakukannya, "Jika aku berhasil menjadi seorang pria ...." Dia lebih memilih untuk bertanya, "... pria yang sesuai dengan standarmu." Bertanya apakah ada kesempatan, "Bolehkah aku kembali?" Kesempatan untuk pulang.

Menyelesaikan kalimatnya, Robin memekarkan senyum paling lebar yang dia bisa, mengangkat wajahnya untuk menatap langsung ke arah sang ayah yang memandangnya berkaca-kaca.

Ini pertama kalinya Robin melihat pria perkasa itu ingin menjatuhkan air mata karena Robin, "Kalau memang hari itu tiba." Ini pertama kalinya setelah sekian lama sang ayah menepuk pundak Robin dengan penuh cinta, "Maka ayah akan datang menjemputmu, Robin." Pertama kalinya pula sang ayah tersenyum kepadanya sejak.

Robin mengangguk mengerti dengan semua tenaganya, ingin menyampaikan niatnya untuk melakukan semua yang dia bisa agar bisa kembali ke tempat kesukaannya ini suatu hari nanti.

Sang ayah melepaskan Robin yang kemudian berjalan ke pintu kamarnya.

Robin berdiri sebentar di sana mengenakan senyuman, menatap mondar-mandir antara, "Ayah." Dan, "Ibu." Dia punya sejuta kata untuk dikatakan pada mereka, "Aku akan kembali." Namun untuk sekarang, "Suatu hari nanti." Hanya itu yang boleh Robin katakan.

Lalu Robin berlari keluar, melompat-lompat kecil berusaha menipu dirinya sendiri, persis seperti apa yang kedua orang tuanya berusaha lakukan sekarang.

Arion mengepalkan tangannya begitu keras hingga putih, ingin rasanya dia menghantam dirinya sendiri berkali-kali.

Ayah macam apa aku ini!? Dia berteriak dalam hati, tidak tahan lagi; tangannya menghantam tembok rumahnya, menciptakan lubang pada mereka.

Napasnya berat dan abnormal, perasaannya yang ingin menghancurkan lebih banyak barang lagi perlahan menenang saat pundaknya dipegang oleh sang istri yang sedang menangisi kepergian anak semata wayang mereka.

Air mata kekasih yang sudah merebut hatinya itu jatuh dan pecah ke lantai pelan dan perlahan, hingga semakin cepat bersama waktu yang menolak berhenti.

Iba, Arion balas menggenggam tangan sang istri, menarik pasangannya itu ke kasur putra mereka yang sekarang ada di luar sana, entah di mana tepatnya, berpikir bahwa kedua orang tuanya tidak benar-benar mencintainya.

Istrinya masih menangis, kini sembari mengelus-elus kasur anak mereka, Arion sibuk menyalahkan diri, menatap sekitar mencari hiburan apa pun yang bisa mengalihkan perhatiannya.

Akan tetapi semua yang ada di dalam sana merupakan milik sang anak, "Ini ...." Kecuali tentu saja pisau tajam yang anak lelakinya itu arahkan ke lehernya sebelumnya.

Mendengar suaminya, Demeter mengintip, melihat senjata tajam dari dapur yang dipegang sang suami, "Apa itu?" Demeter harus bertanya, mencari pengalihan dari sedih dan kecewanya.

"Robin mengarahkan ini ke lehernya saat aku masuk." Arion menjawab, menggoreskan mata pisau itu ke telapak tangannya, menemukan darah segar di sana selanjutnya.

"Kau berpikir dia ...."

Arion mengangguk menghentikan Demeter dari menyelesaikan kalimatnya. Sang pria tidak ingin percaya bahwa anaknya akan melakukannya.

Dia tidak mau, "Kita orang tua yang gagal, huh?" Tapi dia harus mengaku.

Dirinya tertawa menghina, tidak diarahkan kepada siapa pun kecuali dirinya sendiri dan sang istri yang selanjutnya ikut tertawa menemani hingga mereka jatuh terbaring ke kasur anak mereka.

"Kau ingat saat kita sedang memperdebatkan masalah nama, Ion?"

Arion mengangguk menunggu lanjutan.

"Sudah kubilang kita seharusnya menamainya Robert."

"Oh, ayolah!" Arion menaikkan suaranya dengan senyuman, "Kau akan menyalahkan aku, lagi?" Dia menggerakkan kepala untuk melihat langsung kepada sang istri yang melakukan hal yang sama.

"Tentu saja!" Demeter memproklamasikan, "Memangnya salah siapa lagi?!" Dia kemudian menunjuk dirinya, "Aku?"

"Tepat sekali!" Arion membalas, "Kau terlalu feminin sampai anak kita terpengaruh besar."

"Aku?" Demeter menaikkan alisnya, "Feminin?" Bertanya dengan nada tidak percaya, "Aku mengalahkanmu saat kita masih remaja dulu!"

"Kenangan tahun berapa itu!?" Arion protes, "Coba aku sekarang!"

"Boleh!" Senyum istrinya melebar, membuat Arion tidak terkejut saat sang istri melompat ke atasnya, memulai laga gulat bodoh mereka di atas kasur sang anak.

Keduanya bergerak dan berputar, berusaha memaksa lawan main mereka untuk tetap tinggal di bawah mereka selama beberapa lama, tapi tidak ada yang bisa melakukannya.

Matahari terus meninggi, dan waktu terus bergerak, hingga akhirnya mereka berhenti karena lelah. Arion berada di bawah masih tertawa, Demeter di atasnya memiliki senyum lebar di wajah yang membeku di sana, lalu menjatuhkan air mata.

"Eter?"

Demeter tidak lagi memandang suaminya, ���Dia hanya ingin membanggakan kita ...." Matanya menatap masa lalu, "Dia hanya ingin membanggakan kita dan kita ...." Mendengarkan suara manis anaknya itu di telinga, "... kita mengecewakannya." Melihat matanya yang terang penuh semangat dan cinta.

Kalimat Demeter patah dimakan kesedihan yang kembali kepadanya, tidak tahu lagi harus berbuat apa. Demeter kini marah.

Dia marah pada dirinya sendiri, pada suaminya, pada dunia, pada masyarakat, pada para dewa, dan kepada semua lainnya yang bisa dia salahkan untuk apa yang sedang terjadi kepada mereka.

"Eter ...."

"Diam, brengsek!" Demeter memotong, "Lagi pula, kenapa kita harus mengusir dia kalau Badai datang!?" Demeter bertanya, "Kau bisa mati kalau kau mau mati!" Akhirnya sadar bahwa dia salah sudah membiarkan bajingan yang membenci anak mereka ini memutuskan.

Namun, "Mereka akan mengambilnya!" Arion cepat menjawab, "Mereka akan mengambilnya, dan membuat dia mati bersama anak-anak lelaki lain setelah aku tiada!"

"Kenapa ...?" Demeter tidak mengerti, "... siapa mereka?"

"Kami berencana untuk menghadapi Sang Badai secara langsung dengan semua kekuatan militer ibu kota."

"Itu ...."

"... bodoh, kami tahu, Eter." Arion tersenyum pasrah, "Tapi pilihan apa lagi yang kami punya? Membiarkan monster itu menghancurkan seluruh isi kota?" Dia melemparkan pertanyaan retorika, "Jelas sekali tidak bisa." Lalu lanjut menjawabnya.

Demeter diam sejenak, memikirkan semua implikasi dari rencana itu, lalu dia paham sepenuhnya, sesuatu yang bisa Arion baca dengan mudah melihat kilau indah yang sudah terlalu sering Arion lihat di mata biru muda istrinya.

"Jadi mereka akan mengisi ulang militer seluruh kota selanjutnya dengan wajib militer paksa untuk semua pemuda atau pria yang cukup umur tanpa benar-benar peduli apakah mereka memenuhi persyaratan atau apakah mereka ada tanggung jawab yang lebih penting daripada menjadi agen bunuh diri bagi negara?"

Arion tersenyum dan mengangguk.

Kemudian, "Kalian bodoh." Merasakan sakit di perutnya yang ditinju sang istri. Demeter memanjat turun dari tubuh Arion yang kini menggenggam perutnya.

"Terlalu bodoh." Demeter mengulang, "Bawa aku." Melanjutkan.

"A ... apa ...?" Arion kesulitan berbicara bukan karena sakit tinju di perutnya, tapi karena permintaan tidak masuk akal istrinya.

"Aku bilang, Arion." Demeter memperlambat suaranya, "Bawa aku bersamamu." Meninggikan volume mereka.

"Jangan bodoh!" Arion melompat turun dari kasur itu cepat, "Aku tidak akan membawamu!" Berdiri tegap.

"Jadi apa!?" Demeter membantah, "Kau akan membiarkanku mati sendirian dan kesepian setelah kehilangan anak kita juga?!" Memaksa, "Memangnya kau pikir dia akan bertahan di luar sana!?"

"Aku ...." Arion kehilangan kata-kata, "... aku ...." tidak mau mengaku bahwa kalimat terakhir istrinya hampir terdengar benar, "... maafkan aku." Tapi dia harus melakukannya.