Chereads / Tragedi Cinta / Chapter 16 - Bagian 15

Chapter 16 - Bagian 15

Oliver tak tahu apa yang direncanakan William. Ia benar-benar khawatir. Apalagi mendengar suara teriakan Debora, membuatnya cemas karena seperti kata adiknya, Debora bisa sangat agresif saat sedang marah dan dia bisa melukai siapapun. Prilaku impulsif sering kali ditunjukkan Debora dan itu sebabnya ketika dia mengamuk, tak ada pelayan berani mendekatinya.

Oliver sudah memelajari semua hasil pemeriksaan psikiater yang menangani Debora dan semua menunjukkan hal yang sama seperti cerita Illona. Sekarang ketika keadaan menjadi sangat sulit tatkala adiknya terbaring koma di Rumah Sakit, ia tidak bisa berbuat apapun dan Debora dalam keadaan demikian labil yang membuatnya terus menangis. Oliver tak punya pilihan selain membiarkan William yang turun tangan menyelesaikannya. Bagaimanapun, dia yang bertanggung jawab penuh atas apa yang terjadi pada Debora. Tapi, entah mengapa saat suara berisik di ruangan itu mendadak hilang dan hanya terdengar suara pembicaraan yang sangat pelan. Ia mendadak khawatir.

Ia tak mau berpikir buruk, tapi pikiran itu terus menerkamnya diam-diam. Apakah kakaknya akan menyakiti gadis itu lagi seperti dulu? Ataukah Debora akan menyakiti kakaknya untuk membalas rasa sakitnya? Sebelum semua itu terjawab, darah merah yang mengalir hingga ke depan pintu kamar Debora menghentikan semua pertanyaannya. Oliver terkejut dan seketika memerintahkan pelayan membuka pintu kamar itu. Pemandangan mengerikan tampak di depan matnya. Tangan Debora tampak berdarah dengan belati yang tergeletak di sampingnya, sementara di dada kiri kakaknya darah segar, mengalir menodai kemeja putihnya.

Sungguh ia tak tahu apa yang terjadi. Tapi, untuk jaga-jaga, ia memerintahkan para penjaga mengurung Debora dan menghubungi ambulans untuk segera menyelamatkan kakaknya. Ia tak tahu apakah sudah terlambat baginya menyelamatkan sang Kakak atau tidak. Tapi yang pasti, ia akan berjuang menyelamatkannya. Ia dokter dan tak mau gagal menyelamatkan kakaknya setelah ia gagal menyadari penyakit jantung adik perempuannya kambuh.

"Oliver, ada apa? Apa yang terjadi? Siapa yang mereka bawa? Itu bukan Debora, kan?" tanya Stefan yang memang ia perintahkan menjaga adiknya dan tentu saja saat mengetahui ia menuju IGD tidak lama setelah seorang pasien dibawa masuk ke ruangan itu Stefan langsung menyerangnya dengan berbagai pertanyaan.

Stefan baru saja dari kantin Rumah Sakit. Tentu saja tidak sempat melihat wajah pasien IGD itu yang jika tidak, ia pasti sudah gemetar ketakutan.

"Bukan. Itu Hyung."

"Hyung?"

"Iya. Debora menusuknya."

"Apa? Kenapa? Apa yang terjadi?"

Stefan tak bisa menghentikan dirinya untuk bertanya, tapi Oliver tak punya waktu untuk menjawab semua pertanyaannya.

"Nanti saja kujawab semua pertanyaanmu. Sekarang aku harus mengurus Hyung," kata Oliver sembari berlalu pergi meninggalkan Stefan yang tampak shock.

Oliver sungguh tak tahu bagaimana Debora mendapatkan belati hingga menusuk kakaknya. Ia yakin ada yang salah di rumah itu, karena tidak mungkin Debora bisa mendapatkan belati yang ke dapur saja ia tak pernah diizinkan. Selama ini Debora hanya boleh berada di taman dan di kamar. Benar-benar sangat dibatasi oleh adiknya. Pernah sekali Debora berada di teras rumah dan sang Adik langsung membawanya masuk. Debora memang diperlakukan baik, tapi ruang geraknya sangat dibatasi. Hanya beberapa tempat yang boleh ia kunjungi dan itu pun terbatas.

Oliver kadang membantu Illona untuk menjaganya dan sering kali ia diminta untuk melarang Debora ke beberapa tempat. Ruang tamu dan beberapa ruangan lain terlarang untuk dikunjungi Debora, karena ada colokan listrik yang berbahaya serta pisau dapur yang kadang ada saja di tempat itu untuk mengiris buah dan semacamnya. Lebih ekstrim lagi, Illona hanya mengajarkan Debora makan menggunakan tangan, bukan sendok atau garpu. Illona benar-benar dalam fase paranoid. Dia takut Debora menggunakan benda-benda tajam untuk mengakhiri hidupnya atau melukai siapapun. Begitu paranoidnya Illona, bahkan pernah memarahi Debora saat wanita itu diam-diam masuk ke dapur.

"Aku percayakan kakakku padamu," kata Oliver kepada salah satu rekannya yang bertugas untuk menangani sang Kakak.

Saat ini tangannya gemetar hebat dan ia tak mungkin masuk ke ruang operasi dengan keadaan demikian, hingga ia pun memercayakan kakaknya pada Dokter Dave. Sembari menunggu kakaknya dioperasi, Oliver duduk di depan ruang IGD sambil menarik napas panjang untuk menenangkan perasaannya.

"Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Stefan yang tiba-tiba duduk di sampingnya.

"Kenapa kau di sini? Harusnya…"

"Aku sudah menyuruh para penjaga mengantikanku. Hyung tenang saja."

"Baiklah."

"Katakan, apa yang terjadi?"

"Aku tak tahu lagi apa yang harus kulakukan pada Debora," kata Oliver sembari memejamkan matanya, tapi bayangan mengerikan itu justru muncul dan membuat dadanya terasa sesak, seolah ditindih sesuatu yang berat. Di saat itu ia pun masih harus menjelaskan apa yang terjadi pada kakaknya dan Stefan seperti yang bisa diduga ia langsung beraksi.

"Hyung, kita perlu membawa Debora ke Rumah Sakit Jiwa," kata Stefan yang sudah untuk kesekian kalinya Oliver mendengar saran itu.

Sebelumnya Stefan juga pernah menyampaikan saran itu kepada Illona, tapi tentu saja Illona menolak dan lebih memilih mendatangkan psikiater untuk mengobati masalah kejiwaan yang mendera Debora.

"Kau tahu kan Illona sangat keberatan? Dia tidak mau Debora dibawa ke sana, karena akan membuatnya benar-benar gila. Hyung saja tidak dibawa ke sana, tapi ke Rumah Sakit rehabilitasi, meskipun sebenarnya fungsi rumah sakit itu tidak jauh berbeda dari Rumah Sakit Jiwa."

"Tapi, Debora sudah membahayakan"

"Kau tenang saja. Aku akan segera mengatasinya. Sementara ini para penjaga mengurungnya."

Stefan menarik napas panjang saat merasa beban perasaannya sedang menumpuk. Stefan dan Oliver sama saja. Mereka sama-sama terbebani dengan masalah yang datang tanpa henti yang kini harus mereka hadapi. Sekarang mereka tahu, seperti apa rasanya jadi Illona ketika harus menghadapi semua masalah yang bahkan ditanggung bertiga plus bantuan Kenzi sekalipun mereka tetap merasa berat dan nyaris tak sanggup. Bagaimana bisa mereka melepaskan beban sebesar ini pada Illona seorang dan menganggap Illona baik-baik saja?

"Aku bisa mengerti kalau Illona bisa sampai kena serangan jantung dan berakhir seperti ini. Bebannya terlalu besar dari yang bisa ia tanggung dan jantungnya yang sejak kecil bermasalah akhirnya tidak sanggup," kata Stefan yang sepertinya baru saja mendengar hasil pemeriksaan Illona dan sepertinya bukan kabar baik.

"Keadaan Illona bagaimana?"

"Tidak ada perubahan. Tadi dia tiba-tiba kejang."

"Kejang? Apa yang terjadi padanya?"

"Aku tak tahu. Tapi, untung dokter segera datang. Aku sangat ketakutan."

"Maaf Stefan, aku tak bisa membantumu karena harus mengurus Debora."

"Tidak apa-apa. Bukannya kita sudah sepakat membagi tanggung jawab?"

"Iya, kau benar."

"Tadi orang dari perusahaan menelepon menanyakan Illona dan aku memberi tahu mereka, sekarang kondisi perusahaan tanpa presdir mereka. Aku tak tahu harus bagaimana."

"Kenzi, apa yang dia lakukan?"

"Dia tadi menemui beberapa pengacara. Entah ada apa."

"Dia bukan keluarga kita, tapi kita bahkan juga memberinya beban."

"Tenang saja. Kenzi itu gila kerja. Pekerjaan membuatnya senang karena dia harus bekerja untuk menghibur perasaannya."

Oliver tak tahu bagaimana ia menggambarkan sosok Kenzi yang seumur hidupnya tak pernah ia bertemu seorang pria seperti Kenzi yang setelah bertahun-tahun masih menjaga cintanya dan terus menunggu. Padahal, wanita yang ditunggunya bahkan tak pernah memberinya sedikit pun harapan kemungkinan bersama. Illona selalu bersikap seolah semua kebaikan Kenzi hanyalah kebaikan sahabat. Entah gadis itu memang tidak peka atau dia pura-pura tidak peka.

"Dia seperti itu apa karena memang sulit jatuh cinta atau memang benar-benar bodoh sampai harus menunggu selama ini pada seseorang yang tak pernah bisa diharapkannya?"

"Kurasa keduanya karena cinta sudah membuatnya bodoh dan Hyung tahu dia pernah menyebut dirinya apa?"

"Apa?"

"Si Bodoh yang Tampan."

"Benarkah?"

"Iya. Dia mengakui dirinya tampan, tapi juga mengakui kalau dia bodoh."

Oliver tahu ini bukan saatnya untuk tertawa, tapi mendengar cerita Stefan tentang Kenzi membuatnya tak bisa menahan diri dan akhirnya tertawa meski setelahnya ia juga menangis di balik tawanya.

"Astaga. Situasi apa ini, Hyung?"

"Jangan tanya padaku. Aku bahkan tak tahu apa yang sedang kuhadapi ini."