Debora baru saja tiba saat ia melihat seorang pria dengan jas putih keluar dari mension dan bicara dengan Stefan, kakak Illona.
"Aku sudah memberinya obat, jadi dia akan tertidur untuk beberapa jam. Jantungnya masih cukup baik, tapi dia tetap harus dijaga ketenangannya. Resep dariku berikan padanya. Pastikan dia meminumnya sampai habis."
"Baik, Dokter. Terima kasih."
"Sama-sama."
"Debora?" kata Stefan saat melihat Debora dan dokter itu tampak kaget, tapi kemudian dia tetap berjalan pergi diantar seorang pelayan bersamanya yang langsung mengantarnya pergi tanpa membiarkan si dokter mendapatkan penjelasan apapun atas kekagetannya.
Debora segera berlari masuk ke dalam mansion dan William orang pertama yang dilihatnya. Entah karena terkejut atau apa, William sampai tak bisa berkata-kata.
"Aku ingin bertemu Illona."
"Dia sedang tidur. Keadaannya kurang sehat."
"Aku harus melihatnya," kata Debora tak peduli dengan ucapan William dan hanya memikirkan Illona.
Kakinya melangkah dengan panik hingga mengakibatkan suara yang cukup keras, tapi tidak membuat Illona bangun. Bahkan, saat Debora tiba di kamar wanita itu, yang terbaring dengan tubuh tertutup selimut ia tak mendapatkan sapaan seperti biasanya.
Debora menghampirinya dan menatap wajah Illona yang sangat kurus, bahkan pucat. Ia berlutut di dekat ranjang sambil menarik tangan Illona yang kurus. Tangan itu begitu hangat, tapi sangat lemah hingga Debora harus hati-hati mengenggamnya jika tak mau menghancurkan tulangnya. Ia dan Illona belum lama berpisah, tapi melihat kondisi Illona saat ini seolah dia mengalami penurunan berat badan beberapa kilo dalam sekejap.
Air mata tak bisa berhenti mengalir dari kedua mata Debora saat melihat Illona. Bahkan, panggilannya tak dijawab oleh Illona yang masih terbaring dengan tubuh lemah.
"Percuma kau memanggilnya. Dokter memberinya obat penenang jadi dia baru bisa bangun nanti saat matahari terbenam."
"Apa yang terjadi padanya? Kenapa dia bisa seperti ini?" tanya Debora pada William yang berdiri di ambang pintu.
Debora sudah sangat kurus, tapi tubuh Illona lebih kurus lagi. Ia yakin berat badannya pasti tidak lebih dari 50 kg dan dengan tubuh setinggi itu Illona akan terlihat seperti tulang berjalan.
"Kita bicara di luar. Jangan di sini. Illona butuh ketenangan," kata William yang tak ingin menganggu Illona yang baru saja tertidur setelah tak berhenti menangis sambil memegangi dadanya.
William terpaksa memanggil dokter melihat kondisi Illona dan Oliver yang sedang ada panggilan mendadak dari Rumah Sakit mengirimkan dokter lain untuk mengantikannya. Saat itu William tak tahu lagi harus bagaimana dan Illona menolak tidur. Bahkan, dia tak mengizinkan dokter menyuntiknya hingga William terpaksa harus memeluknya untuk membuat Illona berhenti bergerak. Obat penenang yang akhirnya berhasil membuatnya tidur kini tidak membiarkan Illona membuka matanya, setidaknya sampai beberapa jam lagi.
"Dia mengidap penyakit jantung dan ketika berada di Swiss dia mengalami serangan jantungnya yang pertama," kata William saat ia dan Debora sudah berada di taman yang cukup jauh untuk bisa didengar Illona.
"Separah itu?"
"Iya, untuk wanita muda harusnya dia belum saatnya mengalami hal seperti ini. Semua disebabkan olehku, kakak yang telah membawa petaka dalam hidupnya."
"William, jangan bicara seperti itu."
"Jangan lupakan kalau karena aku, bagaimana hidupmu hancur dan berakhir menjadi seperti ini, sampai Illona harus memikul tanggung jawab besar bahkan mengurusmu untuk menebus semua kesalahanku. Tapi, dia mencintaimu seperti kau itu anaknya sendiri sampai dia tak peduli dengan hidupnya."
Debora tak pernah tahu semua yang dilakukan Illona adalah untuk menebus kesalahan kakaknya dan dia mencintai Debora sebesar itu yang bahkan ibu kandungnya saja tidak demikian. Ia tak tahu bagaimana dunia yang kejam ini bisa melahirkan wanita dengan hati demikian mulia. Di masa lalu Debora sering kali bersikap buruk padanya, tapi Illona justru melakukan hal yang bahkan ibu kandung Debora belum tentu mau melakukannya. Debora berusia dua tahun lebih tua dari Illona, tapi ia tak pernah lebih dewasa atau lebih baik darinya.
"Dia melakukan segala hal untukku seolah ingin menebus dosa seluruh keluarganya."
"Kau benar. Aku yang bersalah, tapi tindakannya seperti dia sedang menebus kesalahan satu keluarga sekaligus" kata William dan tampak kedua mata biru itu berkaca-kaca seakan dia seperti ingin menumpahkan air mata.
Debora baru kali ini melihat sisi paling lembut dari seorang William yang jarang terlihat di matanya. Seketika William tampak begitu manusiawi dan Debora merasa pria itu sedang menghukum dirinya sendiri. Melihatnya, Debora benar-benar tidak tahan dan tiba-tiba ia memeluknya dengan air mata yang mengalir deras tanpa henti. Debora tak tahu perasaan apa yang sedang menghinggapinya hingga seakan ia lupa semua perbuatan jahat pria itu padanya.
"Ini juga kesalahanku. Semua dimulai dariku, tapi hanya kau yang menghukum dirimu
"Debora…"
"Aku sudah memaafkanmu, tapi kenapa kau terus menghukum dirimu? Tidak bisakah kau berdamai dengan dirimu sendiri?"
William mencoba melepaskan pelukan Debora. Takut kalau wanita itu tiba-tiba mengalami serangan panik saat sadar sudah memeluknya. Tapi, Debora justru semakin keras mendekapnya. William tersenyum dan entah mengapa ia merasakan sedikit kelegaan dengan pelukan Debora yang membuatnya menyadari Debora tak lagi melihatnya sebagai monster. William sangat menikmatinya sampai ia tak bisa menahan diri membelai punggung wanita itu hingga ia menyadari ada dua pasang mata sedang memperhatikannya dan Debora. Mereka diam tak bergerak. Benar-benar seperti patung pajangan di halaman teras depan.
"Debora, kau bisa berhenti memelukku?" kata William saat tiba-tiba menyadari keberadaaan dua pasang mata yang sedang menatap mereka.
"Kenapa? Sekarang kau jijik padaku?" tanya Debora melepaskan pelukannya dan menatap William.
"Tidak. Bukan begitu. Masalahnya ada dua manusia sedang berubah menjadi patung karenamu."
"Apa?" kata Debora langsung menoleh ke arah William sedang mengarahkan tatapannya seketika ia menyadari sosok Stefan bersama Kenzi menatapnya dengan wajah shock.
"Sepertinya kita salah arah. Kamar Illona bukan di sini, kan?" kata Stefan tersenyum menatap Kenzi yang ada di dekatnya.
"Kamar Illona? Memangnya kita mau kesana? Bukannya kau bilang tadi…" ucapan Kenzi terhenti saat tiba-tiba Stefan menutup mulutnya sambil mendorongnya menjauh.
"Jangan pikirkan dua orang bodoh itu"
"Aku lelah, boleh aku pakai kamarmu?"
***
Menjelang malam langit berubah gelap dan Illona akhirnya terbangun dari tidurnya. Tubuhnya masih terasa lemah, tapi ia memaksakan diri untuk tetap bangun. Dengan langkah kaki yang sempoyongan Illona berjalan keluar dari kamarnya sambil berusaha bernapas tenang dan memegangi dadanya yang nyeri. Langkah kakinya terhenti ketika ia merasa tak punya energi lagi untuk bergerak dan hanya bisa berpengangan dengan dinding di dekat pintu. Sebuah tangan tiba-tiba menyentuh punggung tangannya dan Illona mengangkat kepalanya meski dengan gerakan pelan.
"Kenapa keluar kamar? Kau masih kurang sehat." kata Kenzi dengan raut wajahnya yang terlihat cemas.
"Bantu aku ke ruang tengah. Di sini sesak." pinta Illona.
Illona mengira Kenzi akan mengandengnya atau semacamnya. Tapi, ia salah. Pria itu justru mengangkat tubuhnya. Kenzi mendudukkan Illona di sebuah sofa panjang dan meletakkan bantal di belakang punggungnya.
"Apa tidak sebaiknya kita ke Rumah Sakit? Wajahmu pucat dan kau kelihatannya sulit bernapas. Aku khawatir," kata Kenzi dengan tubuh yang ia posisikan tepat di depan mata Illona dan memandang bagaimana bahu wanita itu naik turun dengan sangat lambat seolah bernapas butuh perjuangan besar untuknya.
"Jangan terlalu mencemaskanku. Aku baik-baik saja."
"Sebentar. Biarkan kuambilkan air. Bibirmu terlihat kering," Kenzi hendak berdiri, tapi tangan lemah Illona menahannya dengan mencengkeram kerah kemejanya.
Seketika Kenzi berhenti bergerak sambil menatap tangan kurus itu yang kini bergetar karena memegang kemejanya. Ia menurunkan tangan itu perlahan dan membelainya lembut.
"Kenapa?" tanya Illona yang menyadari tatapan Kenzi ketangannya dan perubahan raut wajah pria itu.
"Melihatmu seperti ini, duniaku terasa berguncang hebat seakan langit segera runtuh menimpaku," kata Kenzi yang meski mengucapkannya dengan tenang, tapi Illona bisa melihat seperti apa kesedihan dan kecemasan di mata lelaki itu yang sekian lama selalu ada untuknya. Bahkan, saat mereka tinggal berjauhan, Kenzi selalu menjadi sosok di dekatnya yang bisa ia ajak bicara ketika kepada siapapun ia tak bisa mengatakannya. Termasuk ketika Illona bercerita alasan mengapa ia sering menangis diam-diam tatakala Kenzi menyadari suaranya yang terdengar habis menangis. Bahkan, saat Illona sering mengalami nyeri di dadanya hanya Kenzi seorang yang tahu akan hal itu.
"Kenapa bicaramu seperti itu? Langit mana yang mau runtuh gara gara-gara aku?"
"Langitku, langit di duniaku"
"Keni, ada apa denganmu?" tanya Illona yang selama ini sudah sering mendengar kata-kata romantic dari mulut Kenzi tapi belum pernah seromantis ini.
"Apa kau masih belum menyadarinya setelah begitu banyak waktu yang kuhabiskan denganmu?"
"Tentu saja aku sadar, kau selalu menghabiskan banyak waktumu denganku. Mengurus masalahku sampai tidak sempat berkencan"
"Tidak, bukan itu maksudku"
"Lalu?"
"Apa perasaanmu setumpul itu sampai kau tak pernah menyadarinya?" kata Kenzi yang benar-benar lelah dan ingin mengakhiri rasa frustasinya. Ia bertekad membuat Illona benar-benar paham tentang perasaannya.
"Menyadari apa?"
"Kau tahu aku berkencan dengan banyak wanita tapi sampai saat ini belum satupun yang berstatus kekasih, kau pikir kenapa aku melakukannya?" "Kenapa?"
"Karena aku ingin membuatmu cemburu"
Illona menatap Kenzi yang bahkan sama sekali tidak terlihat bergurau. Pandangan matanya sama, tapi kali ini terlihat putus asa seolah dia sedang frustasi. Illona terdiam sesaat dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, bertahun-tahun, baru hari ini ia sadar kalau Kenzi benar-benar mencintainya bukan sekedar menganggapnya sahabat sepeti yang ia pikir selama ini. Segala ucapan cinta yang diucapkan pria itu padanya adalah sungguhan bukan sekedar gurauan.
"Keni, kau…"
"Bagaimana caraku menunjukkan padamu kalau aku benar-benar mencintaimu, katakana Illona, apa yang harus kulakukan agar kau menganggap serius ucapanku"
"Jadi kau sungguh jatuh cinta padaku?"
"Pria jenius yang mendadak bodoh hanya seorang wanita. Kau pikir kenapa? Aku bahkan menghabiskan waktu panjangku untuk menunggumu, jika bukan karena cinta, untuk apa?"
Illona benar-benar bodoh. Ia sudah membuat pria itu menunggu. Ia tahu, kadang dirinya memang suka terlalu cuek. Tapi, ia tak mengira kalau kecuekannya akan membuat seorang pria menunggu sampai frustasi. Namun demikian, keadaannya kini sudah berbeda jauh. Ia bukan wanita menarik lagi. Ia hanya sosok wanita lemah, sakit-sakitan, dan bertubuh kurus yang bahkan memegang gelas saja sudah membuat tangannya gemetar.
"Aku bukan lagi Illona yang sama dan bisa kau pamerkan dengan bangga sebagai kekasih cantikmu. Kau hanya akan menghabiskan waktu melihat tubuh lemahku yang setiap kali jantungku kembali bermasalah tubuhku akan melemah. Kau hanya akan sibuk menemaniku yang seperti ini."
"Kalau tidak menemanimu, aku justru bingung harus berbuat apa. Bersamamu adalah kebiasaanku dan itu sulit untuk kuubah. Meski berulang kali aku mencoba menemani wanita lain, tapi hatiku, pikiranku, selalu saja berjalan ke arahmu."
"Keni…"
"Kita menikah."
"Aku bukan wanita sempurna untuk kau nikahi."
"Aku juga bukan laki-laki sempurna untuk menjadi suamimu, tapi aku selalu mencoba menjadi seseorang yang selalu ada saat kau butuhkan."
"Keni…"
"Akan aku katakan rahasia yang selama ini kusimpan darimu agar kau bisa melihatku dengan cara yang seimbang"
"Maksudmu?"
Kenzi akhirnya menceritakan semua rahasia yang selama ini ia simpan, termasuk pertemuan pertama mereka yang tak seperti Illona bayangkan dan seketika Illona baru menyadari pria yang ia kenal ternyata menyimpan demikian banyak rahasia kelam.
Jujur, Illona terkejut dengan masa lalu Kenzi yang tak pernah ia bayangkan. Kisahnya mirip dengan mendiang ayah kandungnya. Ia pernah sempat mendengar dari ibundanya tentang bagaimana ayahnya hidup dan meski tak sama persis, tapi cerita keduanya mirip. Kenzi juga pernah menjadi bagian dari Yakuza. Pernah menjadi pembunuh bayaran sebelum akhirnya sadar dan mencoba menjalani hidup barunya yang kemudian hidup baru itu telah mendekatkannya pada Illona. Entah ia akan bernasib seperti ibundanya atau tidak, tapi Illona merasa pria yang ada di hadapannya adalah pria terbaik yang bisa berada di sisinya dengan segala masa lalu yang bisa ia hadapi, bukan ingkari. Dan tetap memilih menjadi dirinya sendiri seburuk apapun itu, hingga tak takut untuk menginginkan wanita yang dicintainya.
"Sekarang kau tahu semuanya, jadi apa aku masih belum sepadan denganmu, kita dua orang dengan kehidupan yang sama buruknya, aku bahkan memiliki hidup jauh lebih buruk darimu"
"Tapi aku bisa menjamin hidupmu bahagia denganku"
"Aku bisa mencari kebahagiaanku sendiri dengan mencintaimu"
"Aku tak ingin hidupmu menjadi lebih buruk dengan menikahiku yang seperti ini"