Chereads / Tragedi Cinta / Chapter 15 - Bagian 14

Chapter 15 - Bagian 14

Setelah agak membaik, akhirnya Oliver memutuskan untuk membawa Illona berobat ke Paris, karena lebih dekat dengan kediaman mereka dan juga ia punya Rumah Sakit sendiri dengan kualitas yang tak diragukan lagi. Beberapa dokter spesialis dilibatkan untuk membantu kesembuhan Illona, tapi kondisinya justru kembali memburuk sejak mendarat di Paris. Hingga kini tak ada perubahan baik yang terjadi padanya.

William yang paling terpukul dengan keadaan Illona, karena ia yang pertama kali menyadari kondisinya. William yang bertemu Illona setelah sekian lama tak pernah menemuinya melihat langsung adiknya tiba-tiba tak sadarkan diri dalam pelukannya.

"Apa katamu? Ok, aku segera ke sana," kata Oliver, kali ini menatap William.

"Ada apa?"

"Hyung, kita harus ke mansionmu. Debora berusaha keluar kamarnya dan mereka cemas kalau Debora melukai diri. Mereka masih menguncinya di kamar"

"Aku akan mengurusnya."

"Aku bantu."

William dan Oliver meninggalkan Rumah Sakit untuk pulang ke kediaman William. Mansion itu masih sama seperti dulu dan jujur membuat William agak trauma sebenarnya. Karenanya, sejak kembali ke Paris ia tak pernah menginjakkan kaki di mansion kebanggaannya itu. Bayangan kesalahannya di masa lalu membayangi William setiap kali ia berniat kembali ke tempat itu. Dan sekarang ia harus benar-benar kembali ke tempat di mana seorang wanita telah ia nodai.

Masih jelas terekam dalam ingatannya, apa saja yang dilakukannya pada Debora. Berapa kali pelayannya harus repot mencuci seprai yang selalu terkena darah wanita itu dan berapa kali setiap malam harus selalu mendengar jeritannya. Ketika itu William sedikitpun tak bergetar hatinya, bahkan bisa dikatakan sangat menikmati tatkala ia mendengar bagaimana dia menjerit kesakitan. Jika saja hari itu Illona tidak datang, mungkin hal yang lebih mengerikan akan ia lakukan pada wanita itu. Saat memikirkannya lagi, William merinding. Bagaimana bisa hal mengerikan itu bisa tumbuh dalam otaknya dan terbit dalam prilakunya.

"Buka pintunya! Aku mau ketemu Illona…"

"Itu Debora?" tanya William saat mendengar suara teriakan wanita itu langsung dikenalinya.

"Ya, itu Debora"

"Aku akan menemuinya"

"Hyung"

"Aku tidak akan menyakitinya. Kau kunci saja dari luar pintunya."

"Tapi…"

"Aku harus menghadapinya, sebenci apapun dia terhadapku."

"Hyung, tunggu!"

William terus melangkan masuk ke dalam kamar itu, disusul para pelayan yang tak lama kemudian keluar dari kamar dan mengunci pintu. Oliver tak tahu apa yang akan terjadi dan bagaimana reaksi Debora melihat sang Kakak.

Berulang kali ia sudah membahas hal ini dengan Illona yang ingin membuat Debora berdamai dengan masa lalunya, termasuk menemui kakaknya, bukan dengan kebencian. Tapi, Oliver terus mengulur waktu. Ia tidak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi. Entah kakaknya yang terluka atau Debora. Semua sama buruknya di mata Oliver. Terlebih dari hasil pemeriksaan psikiater belum menunjukkan tanda-tanda Debora sudah membaik. Dia masih sering mimpi buruk dan mengamuk tanpa alasan, bahkan beberapa kali menyerang pelayan saat mengira mereka adalah sang Kakak yang selalu disebutnya monster.

"Sekali saja. Aku harap tidak ada masalah yang datang bertubi-tubi. Kondisi Illona sudah cukup buruk. Aku tak sanggup jika harus menanghadapi satu masalah lagi."

***

Debora seolah tak peduli dengan penampilannya saat ini. Berantakan dengan rambut acak-acakan yang membuatnya terlihat mengerikan. Monster gila yang pernah hidup dalam diri William pasti akan suka dengan penampilan Debora saat ini. Tapi, monster itu sudah dilepas paksa dari dalam diri William yang selama tujuh tahun harus merasakan tersiksa oleh berbagai metode terapi. Sekarang hanya ada William, pria dengan jutaan rasa bersalah dan Debora korban dari kejahatan masa lalunya.

Seperti dugaannya, kedatangan William membuat wanita itu ketakutan. Itulah mengapa sebelum masuk William meminta Oliver mengunci pintu kamar, karena ia tahu Debora akan berusaha kabur begitu melihatnya. Saat ini Debora yang semula hanya duduk diam dengan rambut acak-acakannya langsung berteriak histeris dan menangis dengan suara yang sangat kencang dan berusaha melarikan diri. Tapi, William menahan langkahnya dengan berdiri menghalangi jalan wanita itu.

"Jangan takut. Aku tidak akan menyakitimu," William berusaha mendudukkan Debora di atas ranjang, tapi wanita itu mendorongnya dengan kasar.

"Bohong!" kata Debora sambil menangis dan tampak sekali dia ketakutan, karena saat ini tangannya yang mencengkeram tepi ranjang gemetar.

"Aku tidak akan menyakitimu," William mendekati Debora yang terus menangis.

Tapi, anehnya dia seolah tak bisa bergerak. Entah apa sebabnya, tepat di bagian mana dulu William sering menyakitinya ia tiba-tiba merasakan kesakitan yang luar biasa. Sudah lama sekali Debora tak merasakan rasa sakit seperti ini dan kemunculan William membuat ia kembali merasakannya.

"Jangan…"

"Aku datang bukan untuk menyakitimu. Aku ingin kita menghadapi masa lalu dan semua keadaan bersama bukan lari. Kau boleh membenciku, membalasku. Tapi, aku tetap berharap kau bisa memaafkanku. Hukum aku kalau itu membuatmu lega."

William tak tahu, apakah ucapannya akan menenangkan Debora atau tidak. tapi, melihat tatapan matanya yang begitu marah, sepertinya ia tak berhasil menenangkan Debora tapi justru membangkitkan kemarahannya.

"Permainanmu telah menghancurkan hidupku," kata Debora dan mendengarnya William merasa seperti ditikam.

"Aku tahu. Maafkan aku."

"Maaf? Setelah kau tidak menyisakan apapun dariku? Maaf kau bilang? Pergi saja kau ke Neraka!!!" teriak Debora sembari berdiri ranjang dan mendorong William sampai pria itu membentur almari di belakangnya.

Di waktu yang sama, sebuah benda terjatuh dari atas almari dan membentur lantai marmer di kamar itu. Debora menatap benda itu yang begitu tajam, berkilau, dan sepertinya cukup untuk menghabisi monster di hadapannya. William juga melihat benda itu yang kini diraih Debora. Tapi, bukannya menghindar, ia justru mendekati Debora. Seolah sengaja memberikan kesempatan wanita itu menghabisinya.

"Kalau dengan menghabisiku kau akan lebih baik, lakukan saja. Aku memang tidak pantas hidup setelah menghancurkan hidupmu," kata William.

Mendengarnya, Debora justru marah. Kenapa monster itu tidak melawannya, menyiksanya seperti dulu? Kenapa dia menjadi jinak? Di mana sosok mengerikan yang sudah menghancurkan hidupnya?

"Di mana kau? Jangan sembunyi. Tunjukkan dirimu!!!" teriak Debora.

Tidak ada tanda-tanda perubahan dari ekpresi wajah William dan itu membuatnya sangat marah, hingga tanpa pikir panjang ia menancapkan belati di tangahnya tepat di dada kiri William yang sedikit pun tidak melawan. Darah segar mengalir seketika dan Debora terkejut melihatnya.

"Aku tidak akan mati dengan tikaman, tapi aku akan mati dengan kebencian."

"Kenapa kau tidak menghindar? Apa kau tidak sadar aku sedang menusukmu?"

"Aku tahu. Tapi, jika itu membuatmu menjadi lebih baik, tidak masalah."

"Kau…

"Amarahku sudah selesai. Giliranmu yang menyelesaikannya agar kita bisa menghadapi kenangan dengan tenang. Jika menyakitiku membuatmu lega, aku akan terima."

"William?"

"Hidup terlalu singkat untuk dihuni kebencian, karena cinta tak akan punya ruang. Debora, berikan ruang untuk cintamu hidup. Jangan kau akhiri hidupmu dengan kebencian."

Ucapan William yang lemah dan darah yang mengalir dari tubuhnya membuat Debora yang sempat kehilangan kewarasan, dipenuhi kebencian, dan kehilangan logika seketika seolah kembali sadar. Kenangan lama tentang awal dia bertemu William, perbuatan buruknya terhadap pria itu, sampai semua sikapnya yang membuat repot Illona seketika muncul. Hal paling menyakitkan adalah saat Illona menangis menatapnya dan berkata maaf berkali-kali di hadapannya saat pria itu bahkan tak meresponnya. Sekarang ketika semua kenangan kembali dan pria yang ia cintai kembali bukan sebagai monster mengerikan itu, Debora segera tersadar hal buruk apa yang ia lakukan pada William.

"William, maafkan aku. Sedikit pun aku tak bermaksud menyakitimu. Aku…"

"Aku yang harusnya meminta maaf."

"William …"

"Aku pantas menerima kemarahanmu."