Illona berusaha menutupi apa yang terjadi pada kakak sulungnya. Tapi, entah bagaimana berita itu menyebar luas hingga membuat orang-orang di perusahaannya tahu tentang kakak sulungnya yang berobat di tempat rehabilitasi untuk mengobati masalah kejiwaannya yang terganggu. Tentu saja sekalipun kakaknya kembali, para direktur akan keberatan dipimpin sang Kakak, termasuk juga para investor. Memikirkan itu, Illona menjadi memiliki beban tambahan, karena ia tak akan pernah bisa melepas posisinya di sini. Padahal, ia sudah sangat lelah.
Banyak orang sangat senang memiliki kedudukan tinggi, kekayaan berlimpah, dan segala kemewahan. Tapi, Illona tidak merasa senang dengan semua itu. Ia justru merasa lebih menikmati hidupnya saat hanya bekerja sebagai seniman, menghabiskan waktu dengan melukis dan terlibat pameran yang sekali waktu ikut proyek tata panggung. Itu tak terlalu melelahkan. Ia sangat menikmatinya. Tapi, menjadi presdir perusahaan adalah hal berbeda yang tak bisa dinikmatinya.
"Presdir, rapatnya akan segera dimulai," Maria memasuki ruangannya.
Illona hanya mengangguk sambil menutup matanya. Ia benar-benar lelah hari ini, karena baru saja pulang dari lokasi proyek, datang ke rapat para investor, meninjau beberapa anak perusahaan setelah melakukan perjalanan jauh dari Moscow ke Paris. Ia hanya punya waktu istirahat tidak lebih dari tiga jam. Itupun harus berkurang, karena ia memiliki janji dengan para pengurus yayasan ibundanya untuk berkunjung ke panti serta sekolah milik yayasan.
Keadaan perusahaan tidak sebagus ketika kakaknya memimpin. Begitu Illona menjabat, kondisi perusahaan ternyata sangat terpuruk. Ada kasus penggelapan dana yang belum selesai, kegagalan proyek, dan setumpuk masalah lainnya yang nyaris membuat perusahaan tumbang. Illona berusaha berjuang mempertahankan perusahaan dan otak encernya berhasil menyelamatkan perusahaan, meski ia harus berkorban waktu serta tenaga. Ia memang seperti kakak tertuanya, berbakat dalam urusan bisnis. Tapi, kemampuan bekerjanya tidak bisa dibandingkan dengan kakaknya. Kondisi fisiknya berbeda dengan William. Namun selama ini karena pekerjaannya sebagai seniman terbilang santai Illona sangat jarang mengeluhkan masalah jantungnya. Belakangan hal itu jadi masalah tambahan karena pekerjaan berat membuat Illona sering merasa sakit didadanya tapi ia terus mengabaikannya dan hanya bergantung dengan obat-obatan pereda sakit sekalipun Adrian sering kali memintanya untuk memeriksa keadaannya. Seandainya Oliver tahu pasti pria satu itu sudah menyeretnya ke rumah sakit. Di antara kakak-kakaknya Oliver yang paling paham tentang kondisi kesehatan Illona dan itulah mengapa ia menutupi kondisinya dari kakak keduanya itu.
"Jika Eomma di sini, aku pasti tak akan seperti ini," kata Illona sambil menarik napas panjang dan berdiri tegap untuk memaksa tubuhnya bertahan, karena hari masih panjang.
Illona sering merasa sudah hampir mencapai batasnya, tapi ia memaksakan diri untuk tetap berdiri demi kakak-kakaknya dan juga Debora. Mereka sangat mengandallkannya dan Illona paling benci jika harus mematahkan harapan sekalipun untuk mewujudkannya akan sulit.
***
Sebentar lagi musim semi akan berakhir. Tidak terasa tujuh tahun sudah William menghabiskan waktunya di tempat ini. Ia tak tahu apa yang terjadi pada adik perempuannya yang kini memegang kendali penuh perusahaan miliknya. Bahkan, seluruh orang kepercayaannya, termasuk mata-matanya, hingga para pengawalnya. Dia telah menjadi wanita dengan kekuasaan penuh, pengaruh besar, dan setiap orang selalu angkat topi untuknya.
Jujur saja William merasa bersalah telah menempatkan adiknya dalam kondisi yang tak seharusnya ia tanggung. Masa muda yang indah tak bisa dimiliki Illona setelah ia hancurkan hidupnya sendiri dan membuat adiknya itu harus menanggung semua beban tanggung jawab. William masih ingat kata-kata Illona saat itu, dia akan mengambil tanggung jawab penuh atas semua masalah yang sudah dibuat William. Dan Illona sungguh membuktikan itu. William mendengar kalau istrinya, Debora, diurus oleh adik perempuanya itu dengan bantuan psikiater. Ini akan menambah beban berat di pundaknya. Terlebih setelah dua tahun lalu ia sempat mendengar ibu mertuanya mendatangi Illona dan meminta sejumlah uang untuk biaya hidupnya lantaran Rudolf tak lagi menanggung hidupnya, sementara Debora sudah tak bisa bekerja. Jika William dalam posisi Illona, sudah pasti ia akan menggila menghadapi orang seperti itu. Ternyata selain William, ada yang sama gila dengannya. Ibu mertuanya.
"Kau bisa pulang kapan saja. Keadaanmu sudah membaik," kata dokter Ricardo yang tujuh tahun ini banyak membantu William dalam belajar mengolah emosi dan bisa pulih dari masalah kejiwaannya. Dia juga yang membantu William mengetahui kabar adiknya, meski ia yakin dokter itu tak akan mengatakan apapun jika adiknya sedang dalam masalah.
"Aku sudah berencana pergi setelah bertemu Illona."
"Maksudmu?"
"Kalau keadaannya baik, aku akan pergi ke suatu tempat untuk memulai hidup baruku dan sekali waktu menemuinya. Tapi, kalau keadaannya tidak baik, aku akan pulang bersamanya."
"Bagaimana dengan istrimu?"
"Pernikahan kami hanya di atas kertas. Itu hanya pernikahan untuk memberi Illona hak mengurusnya, karena sejujurnya aku tak cukup berani menikahinya setelah yang kulakukan padanya. Bagaimana bisa aku berpikir menikahinya sementara aku sudah terlihat seperti monster di matanya?"
"Jangan berpikir seperti itu. Bisa jadi dia tak berpikir demikian."
"Bagaimana Dokter tahu?"
"Cara berpikir wanita itu rumit. Tidak akan bisa diukur laki-laki. Hanya Tuhan yang tidak akan bingung dengan cara pikir wanita. Tapi, kau bukan Tuhan. Pasti tak akan mengerti."
William hanya tersenyum mendengar jawaban dokter jiwa yang ternyata punya masalah dengan belahan jiwanya. Sejujurnya setelah William mulai menemukan kewarasannya, ia telah belajar menguasai emosi dan ia menjadi cukup dekat dengan dokter Ricardo yang bermasalah dengan kekasihnya. Sebagai dokter jiwa Ricardo ahli dalam urusan kejiwaan pasiennya tapi bukan kekasihnya dan ia sering menceritakan itu pada William saat mereka berbagi cerita di tengah terapi yang dijalani William.
"Maafkan dirimu. Tenggelam dalam rasa bersalah bisa memperburuk keadaanmu. Kau sudah cukup baik saat ini."
"Tapi, Debora tidak. Dan Illona, aku tak tahu apa dia baik-baik saja mengambil beban sebesar itu di pundak kecilnya hanya karena aku?"
"Dia wanita yang kuat dan bukannya kau sendiri yang bilang. Dia yang ingin mengambil tanggung jawabmu. Itu artinya dia tahu kalau dirinya mampu."
"Aku harap tidak memberinya beban terlalu besar."
"Percaya saja."
"Dokter, Nona Illona ada di sini," kata salah seorang perawat mengabarkan dan mendengarnya William benar-benar senang.
Begitu senangnya, ia sampai tak sadar berlari untuk menghampiri Illona yang baru saja memasuki pintu gerbang yang menghubungkan bagian depan Rumah Sakit dan bagian belakang Rumah Sakit tempat pasien dirawat.
"Illona," William menghampiri Illona yang tersenyum lemah. Wajah gadis itu pucat sekali. Sungguh William cemas. "Kau baik-baik saja?" tanya William khawatir.
"Aku baik," jawab Illona.
William memeluknya erat. Tapi, saat itu tubuh Illona mendadak lemas dan jatuh pelukannya. William melepaskan pelukannya dan seketika menyadari Illona sudah keadaan tak sadarkan diri.
"Illona!"
***
Illona tak tahu apa yang terjadi padanya. Ia merasa baik-baik saja saat tiba di kota ini. Tapi, mendadak dadanya sakit. Illona mencoba meredakan sakit di dadanya dengan obat yang biasa ia minum dan sepertinya tidak banyak membantu. Rasa nyeri kembali menerjangnya ketika ia tiba di Rumah Sakit dan menghampiri kakaknya. Tiba-tiba sesuatu yang keras menghantam dadanya saat sang Kakak memeluknya dan ia kehilangan kesadarannya seketika. Illona sempat mendengar suara teriakan sang Kakak sebelum akhirnya ia tak bisa mendengar suara apapun lagi.
Cahaya terang sang Surya menyambutnya saat ia membuka matanya kembali. Seseorang tertidur di sampingnya sambil mengenggam erat tangannya. Illona menatap rambut pirang itu dan membelai lembut. Pria itu seketika terbangun dan menatapnya dengan cemas sembari menghampirinya.
"Illona, kau membuatku takut."
Illona terkejut melihat wajah pria itu. Sangat banyak berubah dari tujuh tahun lalu. Saat ini dia terlihat seperti agak tua. Matanya yang biru menatap Illona dengan cemas dan Illona yakin tadi ia sempat melihatnya meneteskan air mata yang dulu tak pernah dilihatnya dari mata sang Kakak.
"Oppa."
"Maafkan aku," kata William dengan penuh penyesalan.
Illona ingin mengatakan sesuatu, tapi suaranya berat sekali. Ia merasa ada yang menganjal di hidungnya. Seketika ia merabanya terasa seperti selang. Illona benar-benar kaget. Apa dia sedang berada di Rumah Sakit?
"Aku…" Illona mencoba bersuara, tapi yang keluar hanya suara lirih.
"Jangan bicara apa-apa. Kondisimu masih belum baik. Kau tak perlu berkata apapun. Aku sudah mengerti apa yang ingin kau katakan."
Refleks Illona menyentuh dadanya saat rasa nyeri di dadanya kembali menyerang. Ia berusaha menahannya agar tidak membuat kakaknya panik. Kondisi kakak lelakinya itu belum bisa ia pastikan seperti apa. Tapi, ia tak mau membuat jiwanya terguncang dan membuat buruk keadaannya.
"Saat aku memiliki masalah, kau orang yang selalu kudatangi, menolongku, bahkan menanggung semua bebanku. Tapi, saat kau membutuhkanku, aku tak ada bersamamu. Jadi, tolong sekali ini saja, jangan membuatku menjadi kakak yang kejam. Biarkan aku tahu seburuk apa keadaanmu. Kumohon. Kau adik perempuanku satu-satunya."
Illona sama sekali tak bisa menjawab ucapan kakaknya. Yang bisa ia sampaikan hanya air mata yang mengalir di pipinya sebelum ia kembali tak sadarkan diri. Kondisi Illona langsung berubah kritis setelah air matanya jatuh dan William orang pertama yang tahu seburuk apa kondisi adiknya. Dia punya masalah dengan jantungnya sejak kecil dan saat ini kondisi jantungnya memburuk. Adik-adiknya di Paris tak seorang pun yang mengetahui keadaan Illona, hingga saat ia memberi tahu mereka sontak saja itu membuat kedua adiknya terkejut. Mereka seolah tidak percaya, karena tidak ada yang tahu seperti apa keadaan Illona. William yang paling terpukul dengan keadaan adiknya.
Detak jantung Illona tidak stabil. Demikian juga tekanan darahnya. Dokter mengatakan, apa yang dialami Illona adalah serangan jantung dan ini jelas tidak lazim untuk seorang wanita muda sepertinya. William mencoba memikirkan sebabnya dan ia hanya bisa berpikir apakah karena beban yang terlalu besar diletakkan padanya melebihi kapasitasnya atau ada hal lain.
"Sejak kecil jantungnya memang sedikit bermasalah, tapi selama ini tidak pernah ada yang menjadi pemicu sampai dia menerima bebas sebesar ini karenaku," kata William saat ia duduk di samping Stefan.
"Jangan menyalahkan diri. Aku juga ikut andil dalam hal ini," balas Stefan.
"Kita semua bersalah, meletakkan beban tanggung jawab sebesar itu pada gadis yang baru berusia 20 tahun selama tujuh tahun. Bagaimana bisa ia menanggung selama itu? Pasti akan ada bagian fisiknya yang kalah. Bebannya melebihi kapasitas yang bisa dia tanggung," kata Oliver yang memang juga seorang dokter, tapi kacaunya dia lupa kalau adik perempuannya punya masalah jantung.
"Maafkan aku. Sebagai kakak, aku justru menghancurkan kalian," William menatap wajah adik-adiknya yang sudah berubah menjadi lebih dewasa. Tapi, hal menyakitkan melihat mereka semua, ia tak bisa melihat senyuman mereka.
"Hyung, kita sama-sama menghadapi masa sulit. Tidak ada yang tahu bagaimana menghadapinya. Ini pertama bagi kita dan wajar kalau kita tidak ada yang berani mengambil tanggung jawab ini."
"Perusahaan akan sangat kacau jika mereka tahu kondisi nona Illona" kata Maria salah satu karyawan perusahaan yang secara khusus datang untuk menemui William.
"Aku tak ingin memikirkannya saat ini"
"Jika diizinkan, biarkan aku mengurus perusahaan sampai keadaan Illona stabil" kata Kenzi yang tiba-tiba muncul.
William hampir lupa kalau pemuda itu saat ini adalah presdir perusahaan Heiji Group dan telah menjelma menjadi perusahaan raksasa yang berhasil melahap belasan bidang industri, termasuk mendominasi pasar saham dunia.
"Aku tidak keberatan, karena saat Illona dalam kondisi seperti ini kau pasti yang akan dia percaya untuk mengurusnya."
"Terima kasih sudah memercayaiku."
"Aku akan hubungi pengacara untuk penunjukan presdir sementara."
"Tidak masalah."
William memang sudah bukan lagi presdir perusahaannya. Tapi, ia tetap pemilik dan berhak menunjuk penganti, termasuk presdir sementara selama Illona masih dalam keadaaan koma. Menurut dokter, kondisi Illona benar-benar buruk dan tidak akan pulih dalam waktu dekat. Butuh waktu yang lama.
"Aku tidak memberi tahu Debora. Aku takut," kata Stefan tiba-tiba saat melihat tatapan Oliver.
"Aku juga. Tapi, sepertinya dia peka. Dari kemarin dia tidak berhenti menangis."
"Tunggu, kalian bicara Debora? Istriku?"
"Istri? Hyung menganggapnya istri?" tanya Oliver yang juga tahu alasan William menikahinya.
"Entah hanya di atas kertas atau akan menjadi sungguhan, pernikahanku dengannya tetap sah. Apalagi setiap bulan uang dalam rekeningku mengalir untuk biaya hidupnya. Itu artinya aku masih menafkahinya," kata William yang meski ia tak akan mengikat Debora seperti dulu, tapi ia tak akan melepasnya semudah itu sekalipun akan butuh waktu lama untuk bisa meraih tangannya.William bisa mengerti kalau ia akan sangat dibenci wanita itu.
"Begini, kita bagi tugas bagaimana?" tanya Oliver akhirnya mengambil alih urusan keluarga. "Aku dan Hyung akan mengurus Debora. Stefan akan berjaga di sini mengurus Illona dan Kenzi perusahaan. Bagaimana? Sepakat?"
"Yakin kami berdua bisa mengurusnya? terutama Hyung. Debora bisa histeris jika melihatnya"
"Aku tahu, kalau dia ingin membalasku tak masalah."
"Ini lagi. Stop bahas hal semacam itu. Tidak ada balas dendam atau apapun. Hyung harus membuatnya memaafkan Hyung bukan karena takut, tapi karena rela," tegas Oliver yang sudah muak dengan segala tragedi keluarganya karena balas dendam dan semacamnya.
"Tapi, kemarahannya padaku harus selesai, bukan disimpan karena aku tidak ingin dia menjadi sepertiku. Setiap kemarahan selalu kusimpan hingga akhirnya kulampiaskan pada orang lain."
"Hyung tidak takut?"
"Ini tanggung jawabku dan harusnya aku yang menanggungnya, bukan Illona."
"Baiklah. Kalau gitu, kita lakukan sama-sama. Ada kesulitan kita saling bantu. Ok?"