Hasil visum yang akhir keluar menyatakan kalau Debora mengalami perkosaan, tindak pemukulan, dan itu benar-benar di luar batas kewajaran. Kondisi itu diperparah dengan kenyataan Debora yang sedang hamil mengalami keguguran akibat pemukulan yang dilakukan Illona. Keadaan membuat Illona tak punya pilihan saat sang Ibunda menikahkan Debora dengan William demi meredam masalah yang mungkin timbul di kemudian hari. Ternyata keputusan itu benar-benar berdampak buruk. Debora yang setelah pernikahan kembali dipertemukan dengan William mendadak kehilangan kendali.
Dia berlari meninggalkan William dan para pelayan terpaksa harus menyeretnya ke kamar untuk menenangkannya. Saat itulah William sadar hal mengerikan apa yang sudah ia perbuat pada Debora hingga melihatnya saja sudah demikian takut.
"Oppa, tidak usah pikirkan masalah Debora. Aku yang akan mengurusnya," kata Illona setelah melihat kakaknya tampak tertekan menyaksikan kondisi Debora.
"Maafkan aku."
"Iya, Oppa. Aku sudah memaafkan Oppa."
"Nona, sudah saatnya Tuan berangkat," kata salah seorang anak buah William yang kini berada di bawah perintah Illona dan diperintah untuk mengantar William sampai ke lokasi tempat kakaknya akan menjalani terapi psikis di Swiss di mana Margareth Lee sempat keberatan sampai Illona menunjukkan hasil visum Debora hingga membuat wanita itu tak bisa berkata apa-apa. Kali ini Margareth tak bisa lagi melindungi putranya dan hanya Illona yang bisa melakukannya.
"Oppa jangan khawatir. Masalah di sini aku akan mengurusnya."
"Oppa pergi dulu. Jaga kesehatanmu dan juga Eomma."
"Iya, aku akan jaga Eomma dengan baik."
William memeluk Illona dengan erat sebelum akhirnya melepaskan tubuh kurus adik perempuannya itu dan berlalu pergi menuju mobil sedan hitam yang telah menunggunya. Margareth hanya bisa menangis. Kepergian putra tertuanya yang seharusnya sudah sejak lama ia membuat keputusan ini tidak perlu menunggu sampai putranya itu menggila dan menjadi seorang pemerkosa, penghancur masa depan seorang wanita. Sebagai ibu, ia merasa gagal karena tindakan yang tepat justru dilakukan putri angkatnya.
"Eomma, maaf ya kalau Illona harus mengambil keputusan ini."
"Tidak, sayang. Ini keputusan yang tepat. Eomma tidak menyalahkanmu."
***
Tujuh tahun kemudian,
Waktu berlalu demikian cepat, tapi tak mampu menenggelamkan tragedi yang menghancurkan hidup Debora. Kini jiwa wanita itu terperangkap dalam keterpurungan, ketakutan dan trauma psikis yang bahkan waktu tak mampu menghapusnya. Pagi itu lagi-lagi Debora terbangun dengan bulir air mata yang kembali membasahi wajahnya. Pemandangan langit cerah tak membuat kesedihannya menghilang.
"Mimpi buruk lagi?" suara Illona yang memasuki kamar Debora menyentak kaget gadis itu. Sudah cukup lama ia tinggal serumah dengan Illona yang seakan menjadi penganti sosok ibu baginya, melakukan banyak hal untuknya ketika ibu kandung Debora saja bahkan tak peduli terhadapnya.
"Aku tidak ingin membebanimu dengan rasa bersalah hanya karena kondisiku, tapi setiap kali mimpi itu selalu menganggu tidurku"
"Ini bukan membebaniku tapi memang sudah seharusnya aku merasa bersalah atas keadaanmu, orang yang sudah membuatmu dalam keadaan seperti ini adalah kakakku"
Jika boleh jujur, Debora sebenarnya juga takut pada Illona karena di balik sikap . lembutnya dia juga punya sisi menakutkan. Tapi, di sisi lain wanita yang dianggapnya menakutkan itu justru bisa membebaskannya dari ketakutan. Pelukan Illona yang hangat, sentuhan lembutnya, kata-katanya, juga sorot matanya yang teduh membuat Debora seakan merasa bisa memercayainya tidak seperti para pelayan. Meski mereka tak pernah menyakitinya, Debora benar-benar takut dan hanya Illona alasan ia membiarkan para pelayan mendekat.
"Apa kau akan meninggalkanku lagi?" tanya Debora saat melihat Illona sudah memakai pakaian formal.
"Aku harus kerja. Tidka bisa sepanjang hari aku harus menemanimu. Jadi tolong biarkan pelayan mengurusmu." kata Illona yang sejak beberapa hari ini dia terus mengusir pelayan dari kamarnya dan tidak mengijinkan mereka mendekatinya.
"Tap…" Debora langsung terdiam saat Illona memeluknya dan inilah cara yang selalu ampuh dilakukan Illona untuk menenangkan Debora.
Benar saja. Setelah memeluknya, Debora menjadi lebih tenang dan bahkan dia bisa merasakan jantungnya berdegup normal setelah beberapa saat lalu detak jantungnya berdetak kencang.
"Aku pergi dulu. Baik-baiklah pada pelayan. Mereka akan menjagamu sampai aku kembali. Oke?"
***
"Kenapa lama sekali?" tanya Adrian saat Illona baru tiba di mobil setelah lebih dari setengah jam ia menunggu.
"Maaf, Debora… sudahlah. Ayo, berangkat," kata Illona yang sebenarnya ia ingin menjelaskan apa yang tadi harus dilakukannya. Tapi, Adrian tak pernah suka mendengarnya. Dia sangat benci dengan Debora yang dianggapnya bencana bagi kehidupan tuannya. Karena dari Debora, prilaku mengerikan tuannya muncul kembali dan menghancurkan tuannya.
"Belajarlah memaafkan. Kebencian hanya akan mengubahmu menjadi orang jahat," kata Illona pada Adrian yang seketika menoleh mendengarnya.
Illona memang memiliki sifat yang berbeda dibandingkan kakak-kakaknya terutama William. Karakternya adalah kebalikan dari William dan Adrian menyadari hal itu. Hingga tak heran jika diusianya yang masih muda ia harus menghadapi situasi sulit sampai memaksanya dewasa seperti seorang wanita berusia 40-an, bahkan lebih tua dari itu, yang harusnya tidak demikian. Illona harusnya bisa menikmati masa mudanya dengan indah, bukan sibuk mengurus perusahaan, anak orang lain, bahkan memikirkan kakak sulungnya.
"Berapa kali kau mengeluh sakit dada dan susah napas? Sudah beberapa kali dalam sebulan, itu tidak wajar," kata Adrian yang sering kali melihat Illona bersembunyi di tempat sepi saat merasa dadanya sakit hanya untuk membuat orang lain tak melihatnya dan lama-lama ia merasa khawatir. Saat ini ia juga melihat Illona sedang menahan rasa sakit di dadanya sambil memegangi dadanya dan Adrian menyaksikannya dengan sangat jelas.
Gejala Illona tidak terlihat seperti penyakit biasa dan itu membuatnya cemas setiap kali memikirkannya. Apalagi Illona, sejak kematian sang Ibunda, mendadak jadi mengambil seluruh tanggung jawab orang tua.
Sudah lama ia mendengar dari Oliver kalau Illona sebenarnya punya masalah dengan jatungnya sejak masih kecil. Hanya saja tidak terlalu parah, karena Margareth bisa mengurusnya dengan baik ditambah pekerjaan Illona terbilang ringan karena hanya menjadi seorang pelukis dan terlibat dalam proyek pembuatan panggung saja bukan pekerjaan berat jika dibandingkan menjadi presdir. Sampai akhirnya posisi presdir yang terpaksa diambilnya memicu masalah jantung Illona kambuh tapi karena jarang memperlihatkannya banyak orang berpikir Illona adalah gadis yang sehat, padahal tidak demikian.
"Aku hanya lelah. Tenang saja."
"Nona, kurasa Anda perlu istirat beberapa minggu agar kondisi Anda kembali pulih."
"Tenang saja. Bulan depan aku akan ke Swiss sambil liburan. Jadi, kau bisa berhentilah mencemaskanku."
***
New York, Amerika Serikat
Kenzi sedang menatap langit malam yang indah penuh bintang. Musim semi belum beranjak pergi, tapi rindu sudah menyiksa hati. Sudah lima tahun ia meninggalkan Paris dan mulai berkelana untuk membangun bisnisnya juga menjalani hidup dengan cara lebih baik. Ia mulai lelah dengan cinta yang tak juga terjawab. Tapi, saat mencoba memulai kisah dengan orang lain, sama sekali tak pernah berhasil. Jangankan jatuh cinta, tertarik saja tidak. Dan itu membuatnya merasa sebagai pria gagal, karena hanya bisa jatuh cinta pada satu wanita yang bahkan belum bisa diajaknya berkencan karena masih fokus pada urusan keluarga.
Banyak orang menyebutnya lelaki bodoh, karena menunggu seorang wanita yang tak bisa memberinya jawaban, padahal sudah sangat lama ia menunggu sampai hampir benar-benar lupa kapan awal ia jatuh cinta pada wanita itu. Kenzi mencurahkan isi hatinya pada Stefan yang berusia sebayanya. Meski memiliki orientasi seksual yang berbeda dengannya, tapi dia adalah teman bicara yang bisa memahaminya, bukan menghakiminya. Kadang Stefan memang bisa menjengkelkan saat mulai menertawakannya, tapi tidak jarang Stefan bersikap sangat pengertian terhadapnya.
"Cinta bukan hal mudah yang bisa kau ganti, sekalinya cinta tetap akan cinta."
"Iya, tapi dia bahkan tidak mengerti keseriusanku."
"Dia hanya butuh waktu dan saat ini belum waktunya dia memikirkan hal itu. Dia bahkan tak punya cukup waktu untuk memikirkannya diri sendiri, bagaimana bisa dia punya waktu memikirkanmu? Tunggulah sampai saatnya tiba."
"Apa selama ini aku belum cukup menunggu?"
"Kau bisa pergi kalau tidak mau menunggu lagi. Dia juga tak melarangmu."
"Masalahnya hatiku yang tidak bisa pergi, Hyung," kata Kenzi dengan ekpresi wajahnya yang terlihat frustasi.
Kenzi merasa sudah hampir gila dibuatnya, tapi wanita yang sudah membuatnya seperti ini tak pernah tahu akan penderitaannya. Wanita itu bahkan baik-baik saja saat ia berpamitan meninggalkan Paris untuk berpetualang, membangun usaha, dan melakukan banyak hal untuk mencoba sesuatu yang baru. Kata-kata jangan pergi, segera kembali, atau jangan lupakan aku, sama sekali tak terucap dari mulutnya. Justru kata-kata nikmati hidupmu, semoga sukses, juga sederet kata penyemangat yang membuatnya seolah disemangati untuk berada lama-lama di luar negeri meluncur mulus dari mulutnya.
"Mungkin dia tak ingin kencan, tapi pernikahan," kata Stefan saat mendengar curahan hati nelangsa sang jomblo akut yang berwajah rupawan itu.
Untuk seorang pria berstatus jomblo, sebetulannya Kenzi terbilang menyedihkan. Bagaimana tidak, wajah tampannya tak menjadi alasan wanita pujaannya segera memutuskan bersamanya. Wanita itu seolah tak peduli dia tampan atau tidak. Tetap saja di matanya Kenzi belum menjadi prioritas, kecuali keluarga juga pekerjaannya.
"Kau harus mengerti beban tanggung jawabnya besar. Bagi kami, dia telah mengambil tanggung jawab sebagai ibu juga kepala keluarga sekaligus. Pernikahan Hyung bahkan dia yang mengurusnya. Kalau tidak ada dia, entah apa jadinya kami ini, para pria yang tak mandiri dan hanya bisa menggandalkan dia yang telah menggantikan posisi Eomma juga Appa," lanjut Stefan yang jujur saja sepeninggal ibundanya, bukan hanya ia, tapi juga kakak-kakaknya semua seperti kehilangan pegangan.
Tapi, Illona seolah mengulurkan tali harapan hingga ketiga kakaknya perlahan bangkit dengan mengandalkannya, sementara Illona sendiri nyaris kelelahan. Harus memegang tali harapan itu yang di sana tergantung harapan ketiga kakaknya dan Debora. Kadang Stefan merasa ini tidak adil untuk adiknya yang justru paling muda, tapi diserahi tanggung jawab melebihi usianya.
"Seumur hidupku, baru kali ini ada seorang wanita berusia 27 tapi harus menanggung tanggung jawab dari orang-orang yang usianya lebih tua darinya. Malah ada yang hampir 40."
"Itulah hebatnya Illona. Tiga pria tak sebanding dengan satu wanita sepertinya."
"Iya, sampai aku saja tak ada apa-apanya dibandingkan dengan dia."
"Bersabarlah. Saat keadaan membaik, Illona pasti akan mulai punya waktu untuk memikirkan kehidupan asmaranya," kata Stefan yang paham betul frustasinya Kenzi menunggu Illona, tapi menantiannya tak juga membuahkan hasil.
"Pria yang kupikir dicintainya sama sekali tak ditanggapi. Aku bahkan ragu kalau dia masih peduli dengan hidupnya."
"Itu juga yang sering membuatku cemas. Dia peduli pada kami semua, tapi tidak peduli pada hidupnya sendiri."
"Itu sebabnya aku datang kemari selain ingin mencurahkan isi hatiku yang benar-benar menyedihkan," kata Kenzi yang sejujurnya sudah lama ingin cerita pada Stefan tentang kondisi Illona.
"Kau ingin cerita soal apa?"
"Illona, apa Hyung tahu dia sering menangis dan terakhir dia bahkan mengeluh dadanya sering sakit?"
***
Illona bergegas meminum obatnya begitu dadanya mulai terasa sesak dan sakit. Ia tak mau ada yang melihat keadaannya saat ini. Apalagi pergi ke dokter hanya akan membuat situasi rumit. Semua orang akan berpikir ia sakit keras atau semacamnya. Illona yakin ia hanya kelelahan, karena sudah tujuh tahun ini sibuk mengurus pekerjaan yang sering kali membuatnya bergadang, bahkan harus juga mengurusi Debora yang sangat menguras tenaga dan pikiran.
Adrian diam-diam mengamatinya tanpa membuat Illona menyadari. Ia sangat yakin itu bukan hanya kelelahan. Ada masalah dengan jantungnya. Demi Tuhan, ia tak tahu harus bagaimana. Illona sulit diyakinkan. Semakin hari keadaannya terlihat memburuk. Dia jadi sering minum obat-obatan pereda sakit, padahal itu tidak dibenarkan kalau penyakitnya memang parah.
Illona selalu menyimpan bebannya sendiri, bahkan sekarang pun rasa sakitnya. Selama bekerja dengan Illona, dia sering diam-diam mengamati wanita itu kadang menangis sendiri tanpa ada yang menemani. Padahal, dia selalu ada di antara orang-orang yang dijaganya dibuatnya tersenyum. Tapi, giliran gadis itu sedih, kesepian, atau bahkan merasa sakit, dia malah memilih menyendiri. Tak membiarkan siapapun melihatnya. Adrian tak tahu apa ini karena Illona tak ingin membebani keluarganya atau dia terlalu bodoh untuk tahu cara mengutarakan masalahnya.
"Sepertinya aku harus mulai cari pengganti. Kepergianku menemuinya tidak akan cepat. Pasti akan makan waktu lama," gumam Adrian masih memperhatikan Illona yang menghadap ke jendela ruangannya sembari bahunya naik turun dan memegangi dadanya.
"Tuan."
"Sst," kata Adrian pada Maria yang langsung diajaknya menjauh agar Illona tak menyadari keberadaan mereka.
"Ada apa?"
"Ini rahasia kita berdua. Jangan ada yang tahu."
"Apa?"
"Mulai hari ini, carikan asisten untukku, karena aku berencana pergi ke suatu tempat dalam waktu lama. Aku tak bisa meninggalkannya sendiri."
"Tapi kenapa, Tuan? Anda akan pergi ke mana?"
"Kau tidak bisa ya melakukan perintahku tanpa bertanya?"
"Baiklah, akan kuusahakan."
"Secepatnya. Aku merasa ini sangat mendesak."
"Baiklah."