Chereads / Tragedi Cinta / Chapter 12 - Bagian 11

Chapter 12 - Bagian 11

"Kenzi, kau kenapa? Kau baik-baik saja?" tanya Giovani saat melihat Kenzi yang tiba-tiba memegangi dadanya dan tampak seperti kesulitan bernapas.

"Aku tak tahu apa yang terjadi. Dadaku nyeri sekali, seperti ada yang baru mengantam dadaku, tapi entah apa."

"Mungkin kau lelah."

"Tidak. Aku tidak lelah," kata Kenzi sambil meraih ponselnya dan mencoba menghubung Illona.

Firasatnya tidak enak, tapi ia tak tahu sebabnya dan saat ini yang ada dalam pikirannya hanya Illona. Tapi, gadis itu sama sekali tak menjawab teleponnya, hingga ia tak tahu apa yang sedang terjadi.

"Kau mau ke mana?"

"Pergi ke manapun. Aku tak bisa hanya duduk diam," kata Kenzi memutuskan untuk pergi ke manapun untuk mencari ketenangan.

Sayangnya, ia tak tahu akan ke mana dan lucunya saat ia mengemudi sambil melamun, ia malah menuju ke apartemen tempat Illona serta keluarganya tinggal.

"Ada apa denganku? Kenapa malah kemari?" kata Kenzi hendak melajukan mobilnya. Tapi, saat itu ia melihat mobil sport biru metallic milik Oliver serta mini van hitam melesat keluar dengan kecepatan tinggi.

Kenzi tak tahu apa yang terjadi, tapi ia memutuskan untuk mengikuti Oliver. Mobil sport mewah itu keluar dari area pusat kota dan disusul mini van hitam menuju ke suatu tempat entah di mana. Oliver bukan orang yang peka seperti Illona. Dia bahkan tak menyadari kalau Kenzi sedang mengikutinya.

Cukup lama perjalanan yang ia tempuh sampai akhirnya tiba di tepi kota dan menuju sebuah jalanan di mana kanan kirinya tampak seperti hutan. Kenzi mematikan lampu mobilnya saat ia mengikuti Oliver dari belakang dan tetap menjaga jarak agar tak diketahui. Mobil Oliver masuk ke dalam sebuah rumah dengan bangunan megah yang sekilas terlihat seperti museum. Kenzi tak tahu rumah siapa itu, karena ia tak pernah tahu ada rumah semacam itu di Paris. Ia jadi penasaran. Akhirnya, diam-diam Kenzi mengambil gambar tampilan luar rumah itu sambil berjalan pelan mendekat. Ia pun mengirimkan gambar rumah tersebut pada salah seorang rekannya untuk mencari tahu rumah siapa itu.

Tidak lama kemudian, ia mendapatkan balasan pesan. Temannya mengatakan kalau rumah tersebut bersertifikat atas nama William Lee. Betapa terkejutnya ia saat tahu bahwa rumah itu adalah rumah besar yang pernah dibicarakan Illona padanya. Kenzi tak mengira kalau mengikuti Oliver akan membawanya kemari.

***

Illona sungguh mengambil alih sepenuhnya para pekerja di rumah itu, termasuk pengawal pribadi sang Kakak. Ia mendesak mereka untuk mematuhinya dan mengancam akan memenjarakannya mereka kalau sampai melawannya. Tentu saja ancaman Illona terdengar menakutkan, apalagi dia mengatakannya dengan raut wajah yang terlihat marah. Seketika semua orang yang bekerja di mansion itu hanya bisa menuruti kemauannya, termasuk saat Illona memaksa para pengawal mengurung kakak sulungnya di kamar tamu.

"Illona, ada apa sebenarnya?" tanya Oliver setibanya di rumah besar yang baru ia tahu ternyata mansion kakak sulungnya yang tak pernah sekalipun ia ketahui. Sepertinya sang Kakak lebih memercayakan segala hal pada Illona daripada dirinya, padahal Illona hanya memiliki setengah hubungan darah dengan kakak sulungnya.

"Akan kuceritakan setelah Oppa melakukan tugas Oppa."

"Tugasku?"

"Iya, sebagai dokter Oliver," kata Illona yang mendengarnya Oliver kaget, karena baru kali ini adiknya menyebut profesinya.

Ia memang sudah diminta Illona membawa perlengkapan medisnya dan juga para perawat yang bisa dipercaya untuk menjaga rahasia sebesar apapun, tapi ia tak mengira kalau Illona sungguh akan menggunakan kewajiban Oliver sebagai seorang dokter.

"Kenapa? Apa ada pasien gawat di sini?"

"Iya dan aku ingin Oppa melakukan pemeriksaan sekaligus visum."

"Visum?" tanya Oliver tak mengerti ada apa adiknya itu tiba-tiba meminta visum. Memangnya baru ada tindak kriminal di rumah ini?

"Aku akan jelaskan itu nanti. Tapi sebelumnya, aku mau lakukan sesuatu bersama para perawat Oppa," kata Illona menunjuk enam orang perawat wanita yang dibawanya kemari.

Jujur saja, Oliver kesulitan mencari perawat yang bisa membantunya dan menjaga rahasia dan untungnya ia punya sahabat baik seorang perawat dan pernah bekerja di sebuah organisi intelejen. Kebetulan anak buahnya sekitar lima orang. Mereka benar-benar bisa dipercaya.

"Baiklah."

"Ayo masuk," kata Illona pada Oliver serta keenam perawat itu.

Saat mereka masuk ke dalam kamar tersebut, mereka dikejutkan oleh sosok wanita bertubuh kurus dengan longdress putih dan ada bercak darah pada longdress-nya yang kini tampak basah. Mereka tak tahu apa yang terjadi.

"Itu Debora?"

Oliver hampir tak mengenali sosok dengan dress putih itu. Sangat jauh berbeda dari yang dulu sering ia lihat. Tiga bulan dia menghilang kini tubuhnya sangat kurus, bahkan lebih kurus dari foto-fotonya di majalah.

"Aku akan meninggalkan Oppa bersama para perawat untuk memeriksanya," kata Illona sembari berlalu pergi dan menutup pintu kamar kakak sulungnya.

Entah apa yang terjadi di dalam. Ia mendengar suara tangisan dan teriakan Debora benar-benar sangat gaduh. Tapi, tidak terlalu lama, karena beberapa menit kemudian suasana di kamar itu kembali tenang.

"Hasil visumnya baru bisa keluar beberapa hari lagi," kata Oliver setelah keluar dari kamar dan menghampiri Illona yang sedang duduk di sofa panjang dengan wajah tertunduk.

"Iya, Oppa. Tidak apa-apa," kata Illona mengangkat kepalanya.

"Sekarang jelaskan padaku apa yang terjadi dari awal sampai akhir," tegas Oliver sembari duduk di samping Illona yang tampak sangat lemah dan terlihat shock.

"Persiapkan mental untuk mendengarnya, karena akupun juga sulit menerimanya."

"Cepat katakan, ada apa sebenarnya?"

Oliver menyimak semua cerita Illona yang terdengar sangat tidak masuk akal. Tapi, jika diperhatikan kondisi fisik maupun psikis Debora, tak bisa disangkal. Bagaimana bisa Debora hamil setelah tiga bulan menghilang dan memiliki luka di bagian organ intim serta area beberapa bagian tubuhnya? Luka-luka yang ada pada organ intim Debora terlihat mirip dengan luka bekas perkosaan salah seorang pasien yang sempat dilarikan ke Rumah Sakit miliknya, bahkan diperiksa sendiri olehnya.

"Aku sudah menduga Hyung akan melakukan hal mengerikan pada wanita itu, meski aku tak mengira akan sejauh ini," kata Oliver yang sudah lama tahu masalah kejiwaan kakaknya, bahkan dulu pernah meminta ibundanya membawa sang Kakak berobat ke psikiter tapi ibundanya menolak, karena tidak mau kakaknya dianggap gila. Padahal, ada hal yang lebih mengkhawatirkan daripada memikirkan anggapan tentang kakaknya.

"Oppa tahu dan tidak memberitahuku?"

"Kau akan shock kalau tahu. Sekarang saja kau sudah seperti orang tertekan."

"Aku benar-benar shock dan hampir ikut gila rasanya."

"Kau bayangkan Eomma yang lebih dulu tahu, seperti apa rasanya?"

"Kita akan bawa Oppa berobat."

"Hyung masih ada tanggung jawab dengan perusahaan. Sudah berbulan-bulan orang perusahaan menelponku, aku tak tahu harus bagaimana."

"Kita pikirkan itu nanti," Illona beranjak dari sofa.

"Kau mau kemana?"

"Menemui Oppa William. Aku harus bicara dengannya."

Oliver tak tahu harus bagaimana sekarang. Kini adik kecilnya itu mengambil alih masalah besar yang harusnya bisa ia tangani, bukan justru terdiam dan membiarkan gadis itu yang mengurusnya.

Kini Illona yang dalam keadaan tertekan masih harus memikirkan masalah perusahaan, sementara ia bahkan masih bingung bagaimana mengurus masalah Debora. Ini benar-benar beban berat untuknya.

"Oppa, mari kita bicara," kata Illona saat tiba di kamar tamu tempat kakak tertuanya berada.

Kali ini tak ada kemarahan di wajahnya, tapi kesedihan yang bahkan William tak tahu bagaimana menghapus kesedihan itu di wajah adik kesayangannya.

"Illona..."

"Oppa, tenanglah. Semua akan baik-baik saja. Tapi, tolong izinkan aku mengurus masalah ini."

"Maksudmu?"

"Aku akan bertanggung jawab penuh terhadap semua yang sudah Oppa lakukan."

"Illona, tidak. Kau tidak boleh melakukannya. Ini kesalahanku, perbuatanku," William sungguh terkejut mendengarnya, bagaimana gadis semuda itu harus mengambil tanggung jawab atas segala perbuatannya. Ini hanya akan merusak masa depannya dan William tak bisa membiarkan hal itu terjadi.

"Sebagai adik, aku tak banyak membantu Oppa. Malam itu yang kulakukan justru memprovokasi Oppa berbuat hal seperti ini. jadi, ini juga kesalahanku."

"Illona."

"Sekarang Oppa ikuti saja rencanaku. Semua akan baik-baik saja."

William memeluk Illona, karena sungguh tak tahu harus berkata apa dan hanya pelukan yang saat ini bisa bicara betapa dia menyesal telah membuat adiknya masuk dalam masalah besarnya. Sepertinya beberapa hal yang sempat ia pertimbangkan dan akan ia lakukan saat Illona berusia 25 tahun harus ia percepat. Entah gadis itu setuju atau tidak, ia akan memaksanya setuju, karena ini hal yang bisa ia percayakan pada Illona yang bahkan tak bisa ia serahkan pada ibu atau adik-adiknya yang lain.

"Aku akan ikuti rencanamu, tapi aku punya syarat." Kata William setelah melepas pelukannya

"Apa?"

"Perusahaan dan semua asetku kau yang akan mengurusnya. Duduklah sebagai presdir mengantikanku."

"Oppa."

"Aku membangunnya tidak dalam waktu singkat dan tidak mudah. Jangan karena masalahku, semua hancur. Ada milyaran pegawai hidup dari perusahaan itu. Para direktur pasti tak akan bisa memercayai orang lain kecuali kau. Mereka lebih mengenalmu daripada Oliver atau bahkan Stefan. Kau yang lebih berjiwa bisnis dibandingkan Oliver atau Stefan."

Illona sungguh tak mau masuk dalam urusan bisnis kakaknya. Ia hanya ingin bekerja dalam kapasitas yang mampu diembannya. Posisi presdir terlalu tinggi. Ia bahkan tidak berani membayangkan dirinya dalam posisi itu.

"Jangan takut. Ada banyak orang kepercayaanku akan membantumu. Kau tidak akan sendiri."

"Oppa, ini bukan kemampuanku."

"Kau itu fotokopi dari keahlianku. Sejak kecil aku yang selalu berurusan dengan isi kepalamu. Jadi, aku tahu apa yang tidak dan sanggup kau kuasai," kata William yang dari kecil Illona dalam urusan intelektual, bahkan pemahaman bisnis, hingga bahasa asing sepenuhnya belajar darinya. Bahkan, meski Illona tak menyadarinya, tapi William telah mewariskan seluruh bakat bisnisnya pada gadis itu hingga perihal analisis termasuk membaca pasar Illona bisa. Hanya saja gadis itu tak percaya diri untuk melakukannya.

"Jika aku gagal?"

"Aku mungkin salah dalam menilai diriku atau orang lain, tapi padamu tidak pernah salah. Aku bisa membaca seberapa mirip kita dalam urusan kepala."

Sejak kecil Illona memang sering kali disamakan dengan William dalam urusan kecerdasan, sebab Illona memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Bedanya, William memiliki masalah kejiwaan hingga kecerdasan itu justru mengalir dalam rencana liciknya. Tapi, Illona tak sepertinya. Dia pasti akan lebih bisa mengurus bisnisnya tanpa diganggu masalah pribadi. Illona sangat stabil dibandingkan ia. Illona tahu persis cara melepas emosi lewat berteriak, marah, menangis, bahkan tertawa. Dia sangat ekspresif lebih hidup, bahkan di antara para makhluk hidup dan paling lembut jiwanya yang setiap tutur katanya selalu bisa memengaruhi orang lain, yang karenanya William lebih membutuhkan Illona sebagai pengantikan daripada adik laki-lakinya yang lain.

"Setelah itu, apapun yang kau minta aku akan lakukan."

"Oppa…"

"Aku bahkan akan menyerahkan diriku ke polisi jika itu yang kau inginkan"