"Kenapa kau lakukan ini pada Debora? Kau ingin menghancurkan kariernya?" wanita paruh baya itu tak bisa menahan emosinya dan seketika melepaskannya pada Rudolf.
Rudolf memang tak pernah membicarakan pada ibu tirinya tentang keputusannya yang tiba-tiba meminta pihak agensi memutus kerja sama dengan Debora. Bahkan, juga ketika ia memindahkan manajer Debora ke kantor agensi lain. Keputusan yang ia ambil bukan tanpa alasan. Itu dilakukannya setelah Adrian datang menemuinya atas permintaan William. Pria itu mengatakan kalau Debora mungkin tidak akan bisa kembali.
Saat itu ia pikir William membunuhnya. Tapi kemudian, saat ia dengar apa yang terjadi pada adik tirinya, ia sedikit tenang meski tak bisa dianggap lega. Apa yang terjadi pada Debora tetap dianggap tragedi dan sangat tragis. Itulah mengapa, apapun yang diajukan Adrian padanya ia sepakati. Tak peduli ibu tirinya setuju atau tidak. Apalagi Adrian memaksanya membuat Debora mengikuti kemauan tuannya. Rudolf sungguh dipaksa untuk menekan adik tirinya yang seperti dugaannya, tak akan mudah dibuat patuh.
"Mulai hari ini Debora sepenuhnya akan menjadi tanggung jawabku. Kau tidak akan bisa ikut campur dalam setiap keputusan yang kuambil untuknya," tegas Rudolf pada Bianca Fabrigo yang kini tampak terkejut mendengar apa yang baru saja dikatakan putra tirinya. Sebelumnya Rudolf tak pernah bersikap demikian arogan. Tapi, kali ini dia menunjukkan sikap arogan yang tak bisa diterima Bianca.
"Kau tak bisa berbuat semaumu."
"Kenapa tidak? Bertahun-tahun kalian bergantung hidup denganku. Jadi, kenapa aku tidak bisa berbuat semauku? Apalagi Debora. Yang menjadikannya sampai saat ini aku, bukan kau ibunya yang bahkan tidak mampu melakukan apapun untuknya."
"Rudolf, kau bisa menghancurkannya."
"Dia sudah menghancurkan hidupnya sendiri atas perbuatannya. Aku hanya berusaha menolongnya agar tidak terlalu tragis."
"Apa maksudmu?"
"Kau tak perlu tahu. Yang jelas, semua keputusan tentang Debora sekarang ada di tanganku. Kalau kau tidak suka, silakan pergi dari rumah ini dan bawa putrimu. Tapi, aku yakin kau tak akan sampai hati membuatnya menjadi gelandangan."
"Rudolf, jangan lakukan ini. Aku mohon," Bianca berlutut di hadapan Rudolf, memohon agar pria itu tak memperlakukan putrinya dengan buruk. Gadis itu sudah cukup menderita harus hidup di bawah tekanan Rudolf selama ini.
"Kalau kau ingin dia hidup dengan baik, menurutlah," Rudolf membungkukkan badannya, menatap wajah Bianca yang tampak dibanjiri air mata.
Sepertinya dia benar-benar akan bertindak kejam terhadap wanita itu. Tapi, ia tak punya pilihan, karena ia yakin sesuatu yang mengerikan sudah dilakukan William. Ia tak akan bisa tetap membuat Debora hidup seperti dulu. Dan satu-satunya alasan adalah dengan mengikuti kemauan Adrian yang sempat mengatakan, dia harus membuat Debora tidak sampai dibuang.
"Apa yang terjadi pada putriku sebenarnya?"
"Kau akan segera mengetahuinya. Aku tak bisa memberitahumu saat ini."
"Rudolf, katakan apa yang terjadi padanya!"
"Diam dan tenang. Jangan membuatku berpikir untuk menendangmu dari sini," kata Rudolf yang ucapannya seketika membuat Bianca terdiam.
Tanpa peduli seperti apa raut wajah wanita itu, ia pergi meninggalkan rumahnya untuk datang memenuhi undangan William. Jujur, ia takut setengah mati membayangkan apa yang sudah terjadi dan seperti apa buruknya kondisi Debora.
***
Debora sudah tak ingat lagi berapa lama ia berada di rumah ini. Tapi, sepertinya sudah berhari-hati. Pagi ini untuk kesekian kalinya ia membuka matanya dengan wajah William Lee sebagai pemandangannya. Tangan kekar pria itu tampak membelai lembut bahunya dan senyum mengembang di wajah tampannya. Debora menatapnya tanpa berkata-kata. Tapi, air mata yang mengalir di wajahnya telah mewakili ribuan kata yang bisa ia ucapkan.
William telah menanggalkan martabat Debora di atas ranjang mewahnya. Mata biru itu sudah menjadi pemandangannya sehari-hari setiap kali ia membuka mata. Bukan perasaan senang yang menghampiri hatinya, melainkan sedih bercampur marah. Namun, tak berani ia ekpresikan. Debora hanya bisa menyimpannya dalam hatinya yang sudah hancur.
Pria itu tak seperti yang pernah ia bayangkan. Sosok lembutnya telah hilang dalam sekejap ketika pertama kalinya Debora membuka matanya dan melihat keberadaan William yang sedang berbaring di sampingnya dengan wajah damai. Teriakan dan tangisan Debora sama sekali tak ditanggapinya. Bahkan, dia semakin bertambah kejam dari hari ke hari. Sekarang sudah kesekian kalinya ia terbangun dengan pemandangan wajah pria itu yang tersenyum, tapi senyumnya terlihat seperti sebuah hinaan untuk Debora. Ia telah benar-benar jatuh dan tidak ada tangan yang menangkapnya, bahkan tangan ibundanya. Debora merasa sebatang kara di dunia ini. Ketika hal mengerikan terjadi padanya, tidak seorang pun datang menolong. Bahkan, tubuhnya pun menolak untuk menyelamatkannya.
***
Menjelang malam, untuk pertama kalinya William meninggalkan rumah itu. Debora tak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk kabur. Pagi tadi ia mendengar percakapan para pelayan soal gerbang belakang yang rusak. Debora seolah mendapatkan ide untuk kabur dari rumah ini. Akhirnya, menjelang tengah malam ia pun pergi dari rumah saat menyadari William belum kembali.
Rencana Debora berjalan cukup lancar, karena begitu tiba di gerbang belakang ia tak melihat ada penjaga yang sibuk membantu para pekerja untuk mengelas gerbang belakang yang rusak. Mereka terpaksa melepaskan pintu gerbang berukuran kecil itu agar mudah untuk diperbaiki, tapi justru menjadi celah bagi Debora untuk meninggalkan rumah ini.
Perlahan ia melangkahkan kakinya untuk kabur dan berhasil keluar dari rumah itu. Seratu meter atau lebih mungkin yang sudah berhasil ia capai sejauh ini, sebelum tiba-tiba sebuah cahaya terang menerjang dari belakangnya. Debora mempercepat langkahnya sampai tiba-tiba mobil itu melesat kencang dari arah samping dan menabraknya.
Debora jatuh ke atas semak-semak dan sebelah kakinya menabrak sebuah pohon besar di dekatnya. Tiga orang pria berjalan menghampirinya, tapi Debora tak bisa berdiri. Kaki kanannya terluka dan pergelangan kakinya terkilir. Jangankan untuk kabur, berdiri saja ia tak bisa. Saat itulah sosok William muncul dan mengangkat tubuhnya. Debora berusaha merontak dan memukul pria itu yang hanya diam menerima setiap pukulannya sebelum akhirnya dia memasukan Debora ke dalam mobil. Kakinya yang terluka menabrak bagian belakang kursi kemudi, membuat Debora kesakitan. William menarik tubuhnya mendekat dan mobil pun berjalan cepat ke dalam mansion mewah William.
"Kau pikir semudah itu pergi? Sekalipun kau bisa meninggalkan rumah ini, belum tentu kau bisa sampai ke jalan raya."
"Lepaskan aku. Kumohon."
"Jarak dari tempat ini ke jalan raya 500 meter. Tidak cukup jauh, tapi kondisi fisikmu tak akan bisa mencapainya sebelum anak buahku menyadari kau menghilang. Beruntung aku yang menemukanmu. Kalau mereka, bisa jadi kau akan diseret seperti anjing."
Sekali lagi Debora dibuat ketakutan oleh William yang setiap kata-katanya selalu berhasil meneror Debora. Tapi meski begitu, Debora seolah tidak jera dan justru nekat kabur. Padahal, sudah jelas kalau tertangkap dia bisa mendapat masalah besar dari William yang kadang bisa sangat mengerikan.
"Seharusnya kalian lebih hati-hati. Kalau dia sampai kabur dan mengalami kecelakaan, kalian pikir apa yang akan terjadi? Aku tidak ingin membuatnya terbunuh," kata William setibanya di dalam rumah sembari mengendong Debora.
"Tuan, maafkan kami."
William mengabaikan ucapan anak buahnya dan tetap berjalan ke kamar sebelum akhirnya melemparkan tubuh Debora ke atas ranjang. Dengan kondisi Debora yang seperti itu William bukannya berbelas kasih. Dia justru menghajarnya habis-habisan. Debora menjerit, menangis, tapi tidak satu pun yang datang menolongnya. Bahkan, ketika William meremas kakinya yang terluka, tak seorang pun mencegahnya.
"Katakan padaku, kau akan patuh atau terus melawanku? Percayalah, aku bisa membuat kedua kakimu berhenti bergerak selamanya."
"Ampuni aku…" Debora akhirnya ia benar-benar menyerah setelah semua luka yang ia dapatkan dan darah merah mengalir dari kaki kurusnya.
"Kalau begitu, apa yang akan kau lakukan sebagai bukti kau akan menurut padaku?"
"Apapun."
"Apapun?"
"Iya, apapun."
"Berbaringlah dan aku akan panggil pelayan untuk mengobati lukamu," William beranjak dari kamarnya. Tidak lama kemudian pelayan masuk membawa kotak obat untuk mengobari luka yang kini bukan hanya di kaki, tapi juga wajahnya.
"Nona, sebaiknya jangan melawan Tuan. Anda tidak tahu seperti apa berbahayanya itu," seorang pelayan yang tampak prihatin dengan kondisi Debora mencoba memberinya nasihat, sementara pelayan lain mengobati lukanya.
"Kalian sebaiknya segera cari informasi tentang Nona Illona. Aku punya firasat buruk."
"Kenapa?"
"Aku khawatir dia tiba-tiba kemari. Kita tak akan bisa menghentikannya."
"Tempramennya juga sama buruknya dengan Tuan. Apa jadinya kalau Nona tahu."
Debora menyimak pembicaraan dua pelayan itu yang terdengar seperti takut pada Illona. Padahal, dari yang ia tahu, Illona bukan sosok menakutkan. Beberapa kali bermasalah dengan Illona karena berusaha mendekati William dan meski terlibat pertengkaran, dia tak pernah menggunakan tangannya. Debora tak mengerti apa yang harus ditakuti darinya. Selama ini dia hanya bisa berteriak padanya kalau marah. Debora yakin, dibandingkan William gadis itu jauh lebih lunak. Dia tak akan berani menyakiti Debora.
"Sebaiknya Nona jangan banyak bergerak. Ini luka yang cukup serius, karena kami yakin pertolongan dokter tak akan diizinkan untuk dibawa ke rumah ini."
Debora hanya diam mendengar apapun yang dikatakan pelayan padanya dan memilih kembali tidur daripada harus mendengar ocehan mereka.
***
Rudolf benar-benar tak menyangka kalau selain apartemen yang ditempati sahabatnya itu, ada mansion menjadi tempat tinggalnya sekaligus tempat dia menahan adik tirinya. Rudolf bisa mengerti kalau kemudian adiknya tidak bisa meninggalkan tempat ini. Dari depan hingga ke dalam rumah semuanya dipenuhi penjaga. Ditambah lagi jarak dari rumah ini ke jalan raya lebih 500 meter. Cukup jauh untuk adiknya jika kondisi adiknya dalam keadaan terluka. Ia tak tahu seperti apa kondisi adiknya. dan nanti Rudolf berniat melihat Debora sebelum memutuskan menerima semua kesepakatan yang diajukan William padanya selaku kakak.
"Langsung saja. Sudah kau apakan adikku?" Rudolf sudah tak bisa lagi basa-basi kepada orang yang sudah membuatnya takut bukan main, juga marah karena harus menghadapi masalah besar ketika tak ada cara bisa ditempuh.
"Maaf kalau aku membuatmu marah, tapi dia tak memberiku pilihan."
"Katakan seberapa buruk?"
"Tidak akan buruk kalau kau bisa membuatnya menurut."
"Maksudmu?"
"Dia masih terus berusaha melawanku dan tidak memberiku pilihan."
"Lalu, apa yang kau inginkan?"
"Adrian sedang menyarankan sesuatu padaku dan aku yakin dia sudah mengatakan padamu. Jadi, kupikir itu saran yang bagus."
"Kau sungguh akan membuatnya tinggal bersamamu?"
"Tentu saja. Kenapa tidak? Dia juga tak memiliki tempat tujuan."
"Dia tinggal di rumahku."
"Kau ingin membiarkan dia tinggal sementara dia bahkan tak bisa mengendalikan emosinya?"
Sepertinya Debora sudah benar-benar memprovokasi William hingga ia mulai tertarik menjadikan Debora mainannya. Rudolf tak tahu apa yang bisa ia lakukan untuk Debora, kecuali membiarkan gadis itu tinggal bersama William. Karena, saat membawanya pergi dari tempat ini, Rudolf bahkan tak tahu ke mana ia harus membawanya. Tidak ada tempat yang bersedia menampung adiknya dalam keadaan seperti itu. Hanya tempat William yang paling bisa menerimanya, karena di tempat ini segala malapetaka adiknya dimulai.
"Aku masih ingin menggunakan cara yang lunak. Karena itu aku memanggilmu."
"Biarkan aku bertemu dengannya."
"Tentu. Dia ada di kamarku, tapi mungkin pelayan sedang membantunya…" ucapan William belum juga selesai, tapi Rudolf sudah berajak meninggalkannya dan mencari kamar William di rumah yang begitu luas.
Tak mudah untuk menemukannya, seandainya ia tak mendengar suara pelayan yang tampak sedang membujuk seseorang dan menyebutnya 'nona'. Rudolf seketika memasuki kamar itu. Benar saja, adik tirinya sedang duduk di atas sebuah ranjang dengan wajah berlinang air mata, sementara dua orang pelayan sedang membujuknya turun dari ranjang untuk menganti pakaiannya.
"Biar aku yang mengurusnya. Kalian pergilah."
"Anda siapa?"
"Dia kakak dari wanita itu," kata William yang tiba-tiba sudah berdiri di belakangnya.
"Baik, Tuan. Tapi, sepertinya luka Nona berdarah."
"Ambilkan saja obat. Aku yang akan mengobatinya," kata Rudolf yang ia tahu para pelayan itu tak akan bisa melakukan apapun pada adiknya yang sedang tak ingin bergerak ke manapun.
Mungkin William bisa memaksanya, tapi ia yakin pria itu akan menggunakan cara yang akan menakuti adiknya. Menakuti adiknya memang cara terbaik untuk bisa menundukkannya. Tapi, Rudolf merasa itu cukup buruk. Ia ingin mengembalikan kewarasan adik tirinya sebelum dia benar-benar gila.
"Aku akan meninggalkan kalian berdua," William menutup pintu dan Rudolf berjalan menghampiri Debora.
Tidak ada gambaran yang lebih tepat untuk menjelaskan separah apa kondisi adiknya, kecuali tangisnya yang terdengar bagai jeritan kesakitan. Rudolf yakin bukan hanya fisiknya, tapi batin gadis itu juga terluka. Wajahnya tidak lagi bercahaya dengan luka lebam pada pipi juga sekitar matanya telah menunjukkan siksaan fisik juga psikisnya. Sepertinya ucapan Adrian benar. Debora tak akan bisa pergi dari tempat ini ketika dia bahkan tidak bisa menguasai dirinya. Dan apa jadinya jika keadaan Debora seperti ini akan dilihat orang-orang?
"Seharusnya kau mendengarku saat aku mencoba mengingatkanmu. Sekarang semua sudah berakhir,"
"Tolong, bawah aku pergi dari tempat ini"