"Apa? Menikah?" teriak Illona yang seketika membuat para pengunjung restoran menatap ke arahnya.
Kenzi yang duduk di hadapan Illona sampai malu sendiri dibuatnya. Ia tak tahu apa yang sudah terjadi, hingga Illona bisa berteriak seperti itu di tempat umum dan menyita perhatian banyak orang.
"Illona, pelankan suaramu. Banyak yang memperhatikan kita," Kenzi menarik Illona untuk membuatnya kembali duduk dengan tenang.
"Keni, tolong diam sebentar," kata Illona. Raut wajahnya benar-benar marah seolah ada yang baru saja memukul kepalanya. "Aku tidak akan biarkan Oppa menikahinya. Dia sudah menjebak Oppa dan sekarang akan menikah Oppa. Lelucon macam apa ini?"
"Illona, sebaiknya kita…." Kenzi baru saja mau mengajak Illona keluar, tapi gadis itu sudah lebih dulu berinisiatif dan kini dia bisa berteriak bebas di luar restoran, meskipun tetap menjadi pusat perhatian, karena suara lantangnya yang tak bisa diredam.
"Dia benar-benar membuatku gila," kata Kenzi sembari berjalan ke arah kasir dan membayar pesanannya. anpa menunggu kembaliannya ia segera berlalu pergi menyusul Illona.
"Pokoknya Illona gak setuju! Eomma harus menentangnya!" kata Illona langsung mengakhiri pembicaraannya di telepon dan menarik napas seolah seluruh beban dunia sedang berada di pundaknya.
"Ada apa? Kenapa kau marah-marah?"
"Bagaimana aku tidak marah! Oppa berencana menikahi Debora, wanita yang sudah berniat menjebaknya! Yang benar saja! Sampai kapan pun aku tidak akan setuju!"
Kenzi terkejut mendengarnya dan sungguh ia tak mengerti ada apa dengan semua ini. Baru bulan lalu ia membantu Illona menyelamatkan kakaknya yang sedang berusaha dijebak seorang wanita dan sekarang William berniat menikahi wanita itu. Sama sekali tidak masuk akal.
"Pasti ada kesalahpahaman di sini. Coba kau tanyakan pada kakakmu."
"Tentu. Aku akan langsung datang menemuinya."
"Tenang. Bicaralah baik-baik," kata Kenzi sembari mengikuti Illona yang tampak sudah seperti cerobong asap dan sebentar lagi akan meledak.
"Aku pergi dulu. Sepertinya kita pergi lain kali saja."
"Oke, hati-hati. Berkendaralah dengan baik," kata Kenzi yang sejujurnya agak cemas melihat Illona pergi dengan perasaan marah, karena ia sendiri mengenal seperti apa Illona kalau sudah marah suka kehilangan akal sehat dan bertindak ceroboh.
***
Genap tiga bulan, persis sejak Debora menghilang dan anehnya tiba-tiba saja Sora mengabarinya kalau Debora akan menikah. Tentu saja ini sangat mengejutkan. Terlebih ia dan Debora tak pernah lagi saling berhubungan sejak hari itu. Shim Hae Rim hanya terdiam mendengarnya meski dalam hati ia merasa bersalah. Ia yang telah membawa Debora ke tempat William dan kesalahannya tak bisa dimaafkan. Tapi, ia tak punya pilihan ketika William memperlihatkan enam anak buahnya di depan rumah Shim Hae Rim yang saat itu ada ayah, ibu, serta ketiga kakaknya, juga keempat keponakannya. Saat itu dia mengancam akan membuat mereka menjadi mayat kalau dia menolak untuk membantunya. Meski dengan berat hati, ia akhirnya membawa Debora ke tempat itu dan kembali sebelum benar-benar tahu apa yang terjadi di sana. Setelahnya Debora tak pernah ada kabar. Manajer Debora mendadak pindah agensi, termasuk perusahaan yang berencana mengotrak Debora tiba-tiba mengantikan Debora dengan model lain.
"Akhirnya, dia mendapatkan pria itu," Sora tersenyum tanpa tahu apa yang terjadi pada Debora yang jujur saja Shim Hae Rim merasa cemas. Ia menganggap berita pernikahan Debora sebagai kabar gembira meski tidak demikian dengan Shim Hae Rim.
"Tidakkah kau merasa ini aneh? William selalu bersikap dingin dan sekarang dia ingin menikahi Debora? Apa itu masuk akal?" tanya Shim Hae Rim yang benar-benar tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
"Kita tidak akan tahu hati manusia. Ya, siapa tahu Debora berhasil mendapatkannya."
"Bagaimana kalau tidak?"
"Tentu tak akan ada pernikahan."
"Kenapa kau bicara seperti itu?"
"Dia terlalu sempurna untuk menjadikan Debora pilihan kalau bukan karena cinta. Kau pikir dia yang bisa memilih siapapun menjadi istrinya akan memilih Debora jika bukan karena cinta? Debora hanya adik tiri Rudolf Richard."
Shim Hae Rim berusaha berpikir positif dan tidak membuat dugaan negatif, karena ia berharap William sungguh menikahi Debora karena cinta, bukan alasan lain. Ia sudah banyak mendengar para wanita menikahi lelaki tampan dan kaya raya, tapi si lelaki tak mencintai. Kemudian, si lelaki selingkuh sementara si istri menjadi korban pemukulan, karena si lelaki merasa superior atas kekayaan serta ketampanannya.
Shim Hae Rim pernah melihat hal seperti itu terjadi pada sepupunya. Ia takut Debora juga mengalaminya. Apalagi mengingat seperti apa sikap William saat pria itu mengamcamnya. Shim Hae Rim benar-benar takut hanya dengan memikirkannya saja.
***
Illona tiba di rumah besar itu dan menekan bel dengan kalap untuk memaksa penjaga membuka pintu untuknya. Tapi, tidak ada respon. Akhirnya, Illona terpaksa turun dari mobil, menghampiri penjaga gerbang yang ternyata ada di posnya.
"Kenapa kalian tidak membuka pintu untukku? Kalian tidak tahu ini aku?"
"Tuan sedang tidak ada di rumah. Jadi…"
"Jangan bohong. Buka pintu ini atau kalian ingin menguji apa mobil sport di belakangku bisa menghancurkannya?"
"Nona, tolong…" penjaga di samping pintu gerbang terlihat bingung saat Illona kembali ke mobilnya dan mulai menghitung mundur dengan jarinya.
Setelah Illona menunjukkan angka tiga dengan jari indahnya, para penjaga pun membuka pintu gerbang. Mobil sport hitam itu tak jadi menabrak gerbang. Tapi, saat Illona memasuki mension milik William, amarahnya yang menabrak Debora dengan satu pukulan keras dan cukup telak. Debora yang masih terluka dan kesulitan berjalan itu seketika terjatuh oleh tamparan keras Illona. Wanita itu menatap Debora dengan kemarahan yang membara.. Seandainya tatapan mata bisa membakar, barangkali saat ini Debora sudah habis terbakar.
"Nona, tolong hentikan! Dia sedang tidak sehat!" salah seorang pelayan berusaha menghentikan amukan Illona, tapi justru dibalasnya dengan tatapan tajam.
"Jangan ikut campur!" kata Illona dengan tatapan tajam yang seketika membuat para pelayan berjalan menjauh sebelum mereka menjadi sasaran kemarahan Illona.
"Setelah berusaha menjebak kakakku, kau sekarang memaksanya menikahimu? Kau pikir kau siapa? Dasar jalang!" amarah Illona tumpah seketika dan ketakutan menghiasi wajah Debora yang memerah akibat tamparan di wajahnya.
William entah sedang berada di mana. Pria itu tidak muncul untuk menghentikan adiknya yang sedang mengamuk. Dan sekarang Debora harus menghadapi harimau betina itu.
"Aku tidak melakukan apapun," kata Debora ketakutan. Air mata mengalir deras di wajahnya.
Illona terdiam seketika. Melihatnya, kemarahan yang sempat meledak di hatinya hingga membuatnya sampai menampar wajah Debora seketika lenyap. Sekarang entah mengapa Illona justru merasa kasihan. Tapi, ia berusaha mengabaikan perasaan itu, dengan terus berpikir Debora hanya berusaha menipunya.
"Nona, saya mohon. Dia benar-benar tidak sehat."
"Iya, dia tidak sehat otaknya, sehingga berpikir bisa memaksa kakakku menikahinya."
"Nona…"
"Aku tidak akan membiarkanmu menikahi kakakku!"
Kepribadian Illona yang dikenal lembut seketika berubah menyeramkan di mata Debora. Ternyata bukan hanya William. Adik perempuan pria itu juga tak kalah menakutkan. Illona yang ia kenal tak pernah bersikap kasar pada siapapun bahkan saat ia sengaja mencari gara-gara dengannya, kali ini sikapnya benar-benar berubah drastis hingga Debora sampai mengira gadis itu bukanlah Illona.
"Berdiri kau!" teriak Illona sembari menarik paksa Debora berdiri tanpa menyadari kondisi kaki Debora yang sedang terluka.
"Aku akan melemparmu ke jalan sebelum kau melanjutkan rencanamu," dengan paksa Illona menarik tangan Debora dan henda memaksanya keluar dari rumah itu. Tapi, kemudian Willian muncul.
"Illona, hentikan!" kata William.
Mendengar Debora dibela kakaknya, Illona marah dan mendorong Debora sampai terjatuh untuk kali kedua. Kali ini darah mengalir keluar dari dalam pakaian Debora. Seketika Debora memegangi perutnya dan hal itu disadari Illona. Menyaksikannya ia sangat terkejut dan merasa ada yang salah dengan Debora. William yang menyadari apa yang sudah dilihat adiknya tak bisa berkata apa-apa karena sepertinya sebentar lagi perbuatannya pada Debora akan segera diketahui.
"Bawa dia masuk," kata William sebelum Illona sempat berpikir untuk mencari tahu.
"Tunggu!" Illona menghentikan kedua pelayan yang sedang membantu Debora masuk ke kamarnya dan seketika keduanya berhenti.
Illona menatap kedua kaki Debora yang tampaknya bahkan tak bisa berdiri dan menyaksikan aliran darah segar dari paha wanita itu hingga ujung kakinya sampai menetes ke lantai.
"Kenapa dia berdarah?" tanya Illona kemudian saat ia merasa darah itu mengarah dari tempat yang bahkan tak berani dipikirkannya. Mirip dengan salah seorang pasien Oliver yang ditemukan di tepi jalan dan diketahui mengalami keguguran serta luka di organ vitalnya.
"Illona, sebaiknya kita bicara," kata William menyentuh tangan Illona yang seketika menatapnya tajam.
"Ada yang harus kupastikan dan ini sangat menganggu," kata Illona pada William yang tak bisa berbuat apapun ketika ekpresi wajah adiknya telah membuat ia takut.
Ekpresi wajah Illona saat ini mengingatkannya pada bagaimana ekpresi wajah mendiang ayahnya dulu ketika menghajar salah seorang temannya. Karena itu, ia sangat takut dan jujur saja di antara ibu serta ketiga saudaranya, Illona yang paling menakutkan sekaligus yang paling bisa ia percaya, karena tak pernah menghakiminya. Bahkan bisa dikatakan, meski ia berbuat salah, Illona tetap memihaknya. Tidak seperti ibu atau kedua adik lelakinya yang sering kali menghakiminya. Namun ketika dia marah dia bisa sangat menakutkan.
"Biarkan aku melihat dari mana asal darah itu," kata Illona saat pelayan sudah membawanya masuk ke dalam kamar dan mengejutkan sekali kamar tujuan Debora bukanlah kamar tamu, melainkan kamar kakaknya.
"Nona…" kata salah seorang pelayan yang tak tahu harus berkata apa saat Illona tiba-tiba mengunci pintu.
"Buka pakaiannya! Sekarang!"
"Tapi..."
"Kubilang buka!" teriak Illona.
Kedua pelayan itu menurutinya. Mereka langsung membuka pakaian Debora, tapi sebelum berhasil, Debora sudah bereaksi. Debora histeris dan menangis tanpa henti. Illona tak mengerti kenapa Debora bereaksi demikian, padahal pelayan saja belum sepenuhnya membuka pakaiannya. Illona menghampiri Debora dan teriakan Debora semakin keras. Tapi, kali ini dia memanggil nama kakak sulungnya, memohon ampun. Illona shock mendengar ucapan Debora. Apalagi saat ia melihat bercak darah begitu banyak dari bagian bawah perut Debora. Ini sangat tidak normal.
"Katakan padaku…" kata Illona. Kali ini suaranya terdengar gemetar.
"Nona…"
"Katakan, dia bukan diperkosa, kan?" Illona menatap kedua pelayan yang hanya diam, tapi mereka tak berani menatapnya. Pikiran tentang perkosaan itu tiba-tiba saja menerjang hingga tak bisa ia hentikan lagi.
"Aku, bilang jawab!" teriak Illona.
"Benar Nona, Tuan…"
"Kenapa kalian membiarkannya melakukan hal ini? Apa kalian sungguh manusia?!" "Maafkan kami, Nona. Kami dilarang memberi tahu siapapun dan kami tidak berani menghentikannya," kedua pelayan itu menangis dan Illona menatap Debora yang sedang duduk memeluk lututnya dengan wajah ketakutan.
Ia hampir tak tahan melihat bagaimana wajah Debora yang sebelumnya begitu ia benci sekarang menjadi demikian menyedihkan. Sekarang untuk pertama kalinya ia merasa dirinyalah yang jahat, bukan Debora, karena sudah melukai seorang wanita yang bahkan sudah dilukai lebih parah sebelumnya oleh kakaknya sendiri. Illona memang sangat menyayangi kakaknya, tapi bukan berarti ia akan menutup mata atas perbuatan seperti ini.
"Apa kalian sadar telah membuat kakakku menjadi seperti apa?"
"Nona, maafkan kami."
"Kalian membuat kakakku menjadi orang jahat! Kalian menciptakan monster!" teriak Illona. Air matanya mengalir deras. Sungguh, mimpi buruk pun ia tak pernah membayangkan kakak yang sangat ia cintai, lindungi, dan hargai kini menjadi pelaku perkosaan terhadap seorang wanita yang entah bagaimana akan melanjutkan hidupnya setelah perbuatan kejam yang dilakukan kakaknya.
"Nona, maafkan saya."
"Sekarang jawab pertanyaanku yang kedua."
"Iya."
"Darah itu, apa?"
"Kami tidak tahu pasti, baru kali ini kami melihatnya"
"Aku akan panggil dokter" kata Illona memutuskan keluar dari kamar kakaknya.
"Illona, kau baik-baik saja?" kata William saat Ilona keluar dari kamarnya dan melihat wajah adiknya itu pucat.
"Aku baik-baik saja, tapi sepertinya wanita itu yang tidak baik."
"Illona."
"Aku akan memanggil Oppa Oliver kemari. Debora harus diperiksa."
William terkejut bukan main. Apa yang ia cemaskan terjadi. Illona akan segera mengetahui semua perbuatannya dan ia tak bisa mengelak lagi.
"Illona, aku bisa jelaskan ini."
"Kita bicara soal ini nanti, setelah aku mendengar hasil pemeriksaannya," kata Illona segera mengeluarkan ponsel dan menghubungi seseorang.
Orang itu adalah Oliver, kakaknya yang juga seorang dokter selain kepala Rumah Sakit. Mau tak mau ia harus membuat Oliver tahu apa yang terjadi, karena menanganinya sendiri bukan solusi. Illona bukan dokter, tapi ia lumayan tahu sedikit masalah psikis. Meski begitu, ia tak mau ambil risiko bertindak sendiri. Ia pun meminta bantuan kakaknya untuk datang kemari, tak peduli meski kakak sulungnya akan menganggap Illona mengkhianatinya.
"Oppa, aku butuh bantuanmu sekarang."
"Ada apa? Kau sakit? Suaramu aneh…"
"Aku akan bicarakan nanti. Sekarang datang saja dulu. Akan kukirimkan alamatnya."