Chereads / Tragedi Cinta / Chapter 9 - Bagian 8

Chapter 9 - Bagian 8

Rudolf Richard seketika menghentikan pekerjaan saat anak buahnya datang menemuinya dan menyampaikan hasil pencarian mereka kepada Rudolf. Telepon yang ia terima dari William beberapa saat lalu seketika membuat Rudolf bergegas memerintah anak buahnya mencari adik tirinya. Ucapan William benar-benar membuatnya takut, karena ia tahu betul sahabatnya itu seperti apa.

Ketika mengatakan bahwa dia akan mengurus adik tirinya karena Rudolf dianggap tidak mampu menghadapinya, seketika Rudolf seperti bisa menebak jalan pikiran William. Mengurus seseorang yang membuat masalah dengan William hanya ada dua pilihan. Pertama membunuhnya dan kedua membuatnya patuh memenuhi semua inginan William. Rudolf tak tahu mana di antara kedua itu yang akan terjadi. Tapi, tetap keduanya adalah hal mengerikan. Ketika ia mendengar kabar bahwa adik tirinya dibawa ke rumah William, ia sudah menebak di mana posisi gadis itu.

Debora tidak akan jatuh pada pilihan pertama, karena William tak akan mengotori rumahnya dengan darah. Satu-satunya yang mungkin terjadi adalah pilihan kedua. Tapi, Rudold tak tahu bagaimana William akan membuat adik tirinya patuh. Padahal, ia sendiri tak pernah bisa melakukannya. Rudolf sudah sangat keras terhadap adik tirinya, tapi gadis itu terus membangkang padanya. Ia tak bisa membayangkan cara seperti apa yang akan dilakukan William untuk memaksa Debora patuh. Debora bukan gadis yang patuh. Dia tak akan semudah itu dipaksa menurut.

Sejak lama Rudolf merasa sangat terbebani ketika harus diserahi tanggung jawab mengurus ibu dan adik tirinya sepeninggal sang Ayah. Sebagai anak tunggal, tentu saja bukan hal yang rela ia lakukan. Tapi, permintaan ayahnya benar-benar membuat Rudolf tak berkutik. Ia terpaksa melakukannya meskipun sering kali gadis tak tahu diri itu membuatnya dalam masalah. Dia selalu berbuat semaunya. Terakhir, dia terus mendekati William meski Rudolf sudah sering melarangnya.

Ia tahu alasan adiknya melakukan hal itu. Bukan karena cinta, tapi William memiliki segala yang dia inginkan dan memilikinya sebagai kekasih tentu saja sebuah kebanggaan. Rudolf benar-benar cemas, bagaimana jika yang terjadi adiknya bukan menjadikan William kekasih dan sebaliknya William yang menjadikan adiknya peliharaan. William sering melakukan hal semacam itu untuk melemahkan lawannya ketika dia tak ingin membunuh mereka. Yang terjadi kemudian mereka menjadi semacam peliharaan William dan selalu mematuhinya. Tapi, sekali berkhianat, mereka akan berakhir tragis yang bahkan tubuh mereka tidak akan ditemukan di manapun.

"Kuharap dia masih memiliki sedikit belas kasih untukmu, sehingga ini tidak akan terlalu buruk."

***

Illona sedang berada di lokasi panggung raksasa yang akan menjadi lokasi fashion show bulan depan. Sudah dua minggu ini ia sibuk dengan pekerjaannya, membuat dekorasi panggung yang merupakan keahlian lain Illona selain melukis. Perusahaan tempat ia dikontrak memberinya waktu yang terbilang pendek. Illona harus segera menyelesaikan pekerjaannya, tapi orang-orang terus menganggunya. Illona tak tahu ada apa dengan kakak tertuanya itu, kenapa akhir-akhir ini banyak sekali yang mencarinya.

"Demi Tuhan, apa Oppa buronan? Kenapa banyak sekali yang mencari Oppa?" kata Illona menatap layar ponselnya yang kali ini entah dari siapa lagi. Ia tak menyimpan nomernya.

Semalam ia mendapat telepon dari seseorang. Dia menanyakan kakak tertuanya yang sudah hampir dua minggu tidak pulang. Sebenarnya tidak sulit Illona mencari kakaknya, karena saat tidak pulang ke apartemen, kakaknya pasti sedang berada di rumah besarnya atau di Strasbourg. Di Prancis kakaknya punya tiga tempat tinggal. Pertama, di apartemen yang didiami sang Kakak bersama ibu serta suadara-saudaranya. Lalu, sebuah rumah besar dengan bangunan klasik yang ada di tepi kota dan di Strasbourg yang berbatasan dengan Jerman.

"Kenapa kau marah-marah?" tanya Kenzi yang tiba-tiba muncul.

"Bagaimana aku tidak marah? Sudah hampir dua minggu aku diteror."

"Teror? Siapa yang merormu?" tanya Kenzi. Ekpresinya mendadak khawatir.

"Bukan teror seperti itu."

"Lalu?"

"Mereka mengangguku hanya untuk mencari Oppa William. Sudah hampir dua minggu Oppa tidak pulang"

"Ke mana?"

"Mungkin di rumah besarnya. Entahlah. Aku tidak sempat mencarinya."

"Kau tidak cemas?"

"Aku yakin Oppa sedang membereskan masalahnya dengan wanita itu, karena terakhir bertemu dengannya Oppa mengatakan kalau dia akan menyelesaikan masalahnya dengan baik. Jadi, kupikir karena itu Oppa tidak mau diganggu," kata Illona yang sejak kakaknya tidak pulang ia sama sekali tidak bisa menghubunginya.

Ibu dan kedua kakaknya yang lain juga cemas. Bahkan, Stefan sebelum kembali ke Amerika, sempat mencarinya ke beberapa tempat, tapi tidak pernah menemukannya. Hanya Illona yang tahu kedua rumah kakaknya. Ibu dan kedua kakaknya atau orang terdekat sang Kakak tidak ada yang tahu. Dulu kakaknya memberitahukan rumah besarnya hanya kepada Illona.

Di antara ketiga saudara kakaknya, sang Kakak jauh lebih memercayai Illona. Entah apa sebabnya, tapi seperti itulah dari dulu. Banyak rahasia yang tak diketahui ibu dan kedua saudaranya, tapi Illona justru mengetahuinya. Meski begitu, tetap saja Illona masih merasa cemas. karena saat kakaknya dalam situasi buruk ia tak bisa memberi tahu ibu atau kedua saudaranya hingga hanya bisa mengurusnya sendiri tanpa bantuan mereka. Kakak Illona tidak seperti kebanyakan kakak tertua. Kadang dia bisa sangat rapuh dan menyedihkan. Itulah sebabnya ia sering mencemaskannya. Tapi, belakangan ini keadaan kakaknya cukup baik meski muncul banyak masalah.

"Apa kau tidak mengkhawatirkannya?"

"Aku juga cemas, tapi Oppa sendiri yang memutuskan untuk menyelesaikan masalah ini sendiri. Aku yakin Oppa hanya butuh waktu. Saat semuanya sudah selesai, Oppa akan baik-baik saja."

"Kau yakin?"

"Kalau Oppa tidak baik-baik saja, pasti dia sudah meminta anak buahnya menyeretku ke rumah besar,"

"Rumah besar?"

"Ah, aku tidak seharusnya mengatakannya," kata Illona sudah keceplosan bicara pada Kenzi yang sama sekali tak tahu menahu rumah besar kakaknya dan ia sudah mengatakannya.

"Itu rahasia?"

"Kau janji, ya. Jangan pernah mengatakan pada siapapun, termasuk dengan Oppa William. Kalau dia tahu aku mengatakannya padamu, dia akan merasa tidak ada lagi yang bisa dia percaya."

"Tenanglah. Aku pandai menyimpan rahasia."

Illona benar-benar lega. Sahabatnya adalah orang yang selalu bisa menjaga rahasia hingga ia tak perlu cemas rahasia kakaknya akan tersebar. Kenzi selalu tahu apa yang boleh dan tidak boleh dia katakan pada orang lain, termasuk rahasia. Illona sebenarnya percaya pada Kenzi, tapi tetap saja rahasia adalah rahasia. Bahkan, kepada sahabatnya sekalipun ia tak mau membocorokannya, kecuali seperti yang terjadi. Ia kelepasan bicara.

"Hari ini aku akan pulang malam. Kau tak perlu menemaniku."

"Tidak masalah. Apalagi fashion show ini juga melibatkanku, kurasa aku akan kembali agak terlambat hari ini" kata Kenzi yang untuk pertama kalinya bekerja sama dengan Illona dalam ajang fashion show meski sebatas tata panggung.

"Bagaimana kalau kau membantuku menentukan background panggung? Aku agak binggung. Ada banyak ide berhamburan di kepalaku, tapi tidak satupun bisa kupilih."

"Tentu. Kau ingin membuatnya bagaimana?" tanya Kenzi. Sepanjang hari itu mereka banyak berdiskusi, memilih beberapa barang untuk panggung serta membuat kata-kata untuk dimunculkan dalam background.

Keahlian Kenzi menilai karya seni dengan bakat Illona dalam membuat karya seni benar-benar pas untuk dikawinkan, hingga tidak heran kalau kemudian background tata panggung diserahkan pimpinan proyek kepada mereka. Kombinasi hebat bakat keduanya telah membuat tata panggung yang baru setengah jadi saja sudah demikian keren.

"Nona, Manajer ingin bicara sebentar," seorang pegawai perusahaan menegur Illona yang sedang sibuk mendiskusikan tata panggung dengan Kenzi.

"Keni, aku tinggal sebentar, ya," Illona meninggalkan Kenzi sebentar, menuju tempat manajer proyek berada. Seorang pria paruh baya sedang berbicara dengan beberapa anggota tim sambil membawa sketsa kasar desain tata panggung yang dibuat oleh Illona.

"Maaf, kalau aku harus menganggu pekerjaanmu." Kata pria itu mengalihkan perhatiannya kepada Illona.

"Iya. Tidak masalah."

"Begini… entah bagaimana aku mengatakannya."

"Ada apa? Apa yang terjadi?"

"Seharusnya Debora akan menjadi model utama yang akan kami tampilkan dalam ajang fashion ini. Tapi, masalahnya dia menghilang. Sudah hampir dua minggu."

"Menghilang? Ke mana?" Illona terkejut. Entah bagaimana bisa bersamaan dengan kakak sulungnya yang juga tidak pulang dan tak ada kabar selama hampir dua minggu.

"Tidak ada yang bisa menghubunginya. Bahkan, ibunya juga tidak tahu, tapi…"

"Tapi apa?"

"Manajer Debora mengatakan padaku untuk mencoret nama Debora dari daftar model yang akan kami ikutkan."

"Bagaimana dia melakukan itu? Bukannya dia manajer Debora?"

"Itu atas permintaan kakak tirinya dan karenanya kami butuh bantuanmu."

"Bantuanku?"

"Anak perusahaan kakakmu ada yang bergerak di bidang agensi model bukan? Bisakah kau minta bantuan mereka? Ini sangat mendesak. Kami tidak punya banyak waktu."

Illona tak pernah mengira dia akan berurusan dengan anak perusahaan kakaknya. Padahal, selama ini ia tak sekalipun bersedia bekerja di perusahaan kakaknya. Tapi, kali ini ia tak punya pilihan lain. Mau tak mau Illona harus membantu.

"Baiklah, aku akan meminta bantuan mereka. Anda tenang saja. Mereka pasti bersedia."