Chereads / Tragedi Cinta / Chapter 8 - Bagian 7

Chapter 8 - Bagian 7

Debora baru saja selesai pemotretan ketika Shim Hae Rim mendatanginya di ruang pemotretan. Debora terkejut melihatnya. Tidak biasanya temannya itu datang ke lokasi pemotretan siang hari pula. Tapi, Debora senang melihatnya. Apalagi setelah kejadian malam itu, Shim Hae Rim terlihat ketakutan. Dia takut kalau perbuatannya akan membuatnya kehilangan pekerjaan. Debora benar-benar ceroboh membawa William ke hotel yang areanya masih di tengah kota. Harusnya saat itu ia membawanya pergi ke hotel yang berada di pinggir kota, pasti tidak akan mudah ditemukan.

"Kau punya waktu?" tanya Shim Hae Rim saat Debora menghampirinya.

"Punya. Aku juga baru selesai pemotretan."

"Temanku. Dia mau berkenalan denganmu. Apa kau mau?"

"Siapa?"

"Katanya dia sudah lama menyukaimu."

"Oh, ya? Tampan tidak? Kaya tidak?"

"Sangat tampan, kaya, dan mungkin kau akan kehabisan kata-kata kalau sudah bertemu dengannya."

Debora sangat menyukai pria tampan dan kaya, karena ketampanan juga kekayaan akan memberinya banyak hal yang tak bisa ia dapatkan hanya dengan menjadi seorang model. Ini kesempatan yang tak boleh dilewatkannya dan mungkin ia harus mulai melupakan keinginannya mendekati William. Pria itu terlalu berisiko untuk ia dekati. Apalagi semalam kakak tirinya memperingatkan kalau William bukan pria yang bisa diajak kompromi jika dia sudah menunjukkan kemarahannya.

Sebenarnya sudah lama sekali kakak tirinya melarang Debora mendekati William yang kecantikan tak akan pernah membuat seorang William bertekuk lutut. Apalagi kalau William tidak pernah menunjukkan sedikit pun ketertarikan pada Debora. Tapi, ia tak pernah menghiraukannya, karena sejujurnya bukan cinta yang ia kejar dari pria itu, melainkan popularitas. Karena, jika dia bisa sedikit terlibat dengan gosip dengannya, pasti pamornya akan naik. Debora akan mulai dipandang, karena bisa menjadi bagian dari gosip percintaan William Lee. Terlepas benar atau tidak, ia tak pernah peduli. Tapi, kejadian malam itu membuat kedua temannya jera, hingga membuat Debora tak lagi mau mengejarnya dan ajakan Shim Hae Rim membuatnya memiliki rencana untuk memikat pria lain yang lebih mudah didapatkannya daripada William yang membuatnya lelah.

"Sejauh apa rumah temanmu? Kita sudah jauh dari pusat kota," kata Debora saat mobil yang dikendarai Shim Hae Rim semakin jauh membawanya keluar dari pusat kota.

"Dia tidak suka keramaian, karena itu dia tinggal jauh dari pusat kota."

"Benarkah? Apa profesinya?"

"Seorang pengusaha," kata Shim Hae Rim yang entah mengapa melihat ekpresi wajahnya siang itu ia merasa aneh. Shim Hae Rim terlihat tegang dan tampak seperti orang takut. Entah apa yang terjadi padanya.

"Hae Rim, kau baik-baik saja, kan? Apa ada hal buruk terjadi padamu?" tanya Debora menatap Shim Hae Rim yang meski tersenyum tapi tidak nampak benar-benar tersenyum.

Debora sungguh tak mengerti ada apa sebenarnya. Sebelum ia mendapatkan jawaban, mobil yang ditumpanginya sudah berhenti di depan gerbang sebuah rumah mewah. Bangunan rumah itu terlihat sangat kuno dengan ciri khas Eropa klasik dan ada air mancur di tengah taman.

"Kau duluan saja. Aku akan menyusul."

"Hei, dia kan temanmu."

"Tidak apa-apa. Lagipula dia juga menunggumu."

"Benarkah?"

"Iya, aku masih harus menggambil sesuatu di mobilku," kata Shim Hae Rim dan seperti permintaannya, Debora berjalan lebih dulu memasuki rumah besar itu.

Seorang pelayan menyabutnya dengan ramah dan entah siapa pemilik rumah besar itu. Tapi, sepertinya dari lukisan serta barang-barang antik di dalamnya, dia pasti seorang pengusaha sukses. Sofa, meja, dan almarinya terbuat dari bahan-bahan mahal. Debora yakin sofanya pasti dari kulit asli.

"Silakan tunggu di dalam," kata pelayan itu mempersilahkan Debora masuk ke salah satu ruangan di antara ruang-ruang dengan pintu besar itu.

Ia berjalan masuk ke dalam ruangan itu. Terlihat sangat luas dengan jendela berukuran besar, gorden berwarna emas, dan dinding ruangan berwarna putih yang berjajar almari berisi buku-buku berbahasa asing. Di sisi baratnya ada sebuah pintu dan entah pikiran gila apa yang merasukinya hingga tanpa pikir panjang ia memasuki ruangan dengan pintu emas itu. Di balik pintu itu sebuah kamar dengan almari besar dan pakaian tersusun rapi. Tampak seperti pakaian pria, karena ada dasi, belasan jam tangan pria, dan beberapa cincin dengan ragam ukiran. Debora mengamati barang-barang yang terlihat familiar di matanya. Apalagi deretan jas yang tergantung di almari itu tampak sangat akrab dalam benaknya.

"Kelihatannya kau benar-benar menyukaiku sampai pakaianku pun kau pandangi seperti itu"

Debora seketika membalikkan badannya tatkala ia mendengar suara akrab yang sedang bicara padanya. Sosok William berdiri menghadapnya sambil bersandar pada pintu besar di belakangnya seraya memutar kunci pintu bergaya kuno itu. Debora terkejut melihatnya. Sama sekali tak mengira akan melihatnya di sini. Pria itu tampak begitu elegan dengan setelan jas berwarna biru muda yang ia kenakan. Langkah kakinya yang tenang berjalan ke dekat sofa sambil melepaskan jas serta jam tangan dan cincinnya. Debora menatap jam tangan dan cincin yang diletakkan William di atas meja yang harusnya sudah ia sadari dari tadi kalau semua desain dari jam tangan serta cincin di almari itu seragam dengan milik William. Tapi, ia terlambat untuk menyadarinya dan kini saat ia sadar William sudah berada di hadapannya. Pria itu pasti sedang merencanakan sesuatu untuk membalasnya, karena kejadian kemarin malam ia yakin tak akan begitu mudah dilupakan William.

"Kenapa berdiri situ? Kemarilah. Kita minum bersama seperti kemarin malam."

"Apa yang kau rencanakan?"

"Merencanakan apa? Bukannya kau yang berencana menjebakku?" balas William yang seperti dugaan Debora, pria itu masih mengingatnya meski ia tak tahu bagaimana William ingat. Padahal, saat ia membawanya ke hotel, dia bahkan sudah tak sadarkan diri.

"Kau ingin balas dendam?"

"Balas dendam sepertinya itu agak berlebihan. Bagaimana kalau kita sebut saja melanjutkan permainan. Bukannya kau sudah membuat permainannya?"

"Melanjutkan permainan? Apa maksudmu?" kata Debora menatap William yang masih memasang wajah ramah, tapi sorot matanya benar-benar berbeda.

Tatapan mata itu terlihat sangat mengerikan dan Debora yakin dia merencanakan sesuatu yang mengerikan, karena selama ini belum pernah sekalipun ia melihat sorot mata menakutkan sepert itu dari sepasang mata indah William.

"Kau sudah mengundangku dalam permainanmu. Jadi, kenapa berhenti? Bukannya akan menjadi hal seru kalau kita lanjutkan?" kata William menghampiri Debora dengan langkah kakinya yang tetap tenang.

Tapi, Debora sudah ketakutan bukan main. Apalagi saat pria itu berhasil mencapainya dan mendekatkan wajahnya seolah dia hendak mencium Debora. Melihat sikap William yang tiba-tiba agresif, Debora benar-benar ketakutan. Ia pun berlari menghindari pria itu ke sisi lain ruangan dan ternyata malah menempatkannya di sudut ruangan paling tidak menguntungkan. Debora tersudut di antara ranjang, dinding, dan almari besar yang membuatnya akan sulit bergerak dari tempat itu, kecuali ia punya sepasang sayap untuk bisa menerbangkannya agar terbebas dari William yang sepertinya sedang tidak waras.

"Ketika sudah membuat permainan, harusnya kau mengenali dulu siapa yang kau ajak bermain. Itu akan menentukan di mana posisimu. Tapi, sepertinya kau tidak secerdas itu."

***

Adrian Clark hanya bisa menarik napas saat ia mendengar suara teriakan wanita dari dalam kamar William. Wanita itu berteriak kencang, terdengar putus asa, dan bahkan ia mendengar suara isak tangisnya. Adrian baru sekali ini mendengar hal demikian menyedihkan terjadi di mansion William yang bahkan tak pernah sekalipun didatangi wanita, kecuali adik perempuan William. Tapi, wanita yang datang itu bukan adiknya. Dia adalah wanita yang telah memprovokasi William.

Adrian tak perlu bertanya apa yang terjadi pada wanita itu, karena mendengar berisiknya suasana di kamar William ia sudah bisa menduga hal brutal sedang terjadi di sana. Entah William sedang memukuli wanita itu atau bahkah lebih buruk dari dugaannya.

Saat mendapat telepon dari anak buahnya, Adrian bergegas kemari. Berharap ia bisa mencegah yang akan terjadi tapi terlambat. Wanita itu sudah ada di kamar William dan tentu saja ia tak akan berbuat apapun ketika mangsa sudah berada di kandang hewan buas. Ia hanya berharap William tidak akan membuangnya setelah puas, karena hidup wanita itu tak seperti kebanyakan orang. Dia tak akan memiliki apapun lagi jika William membuangnya. Akan jauh lebih baik kalau William membunuh wanita itu. Setidaknya dia tak perlu menderita.

"Tuan Adrian," Benito Bonaparte menghampiri Adrian yang sedang berdiri tepat di depan kamar William dan mendengar bagaimana suara wanita itu mulai terdengar lirih setelah beberapa saat lalu ia berteriak histeris.

"Katakan padaku, apa yang dilakukan wanita itu hingga William terprovokasi?"

"Dia berusaha menjebak Tuan William dengan membuat foto kemesraannya dengan Tuan William dan Nona Illona telah memberi tahu semua itu pada Tuan William."

"Nona Illona?"

"Iya, semalam Nona Illona yang menyelamatkan Tuan Willliam."

"Gadis itu tidak tahu apa-apa. Dia tidak tahu seperti apa kakaknya."

Benito hanya diam mendengar Adrian yang benar-benar shock mendengarnya. Sejak kecil Illona hidup dalam asuhan Margareth, bahkan cukup dekat dengan William, tapi dia sama sekali tak tahu sifat asli William ketika sedang menunjukkan kemarahan. Menghancurkan hidup seseorang bukan hal mustahil bagi William, bahkan hidup wanita itu sekalipun. "Sepertinya permainan ini tak akan cukup berlangsung satu malam."