Hayate Kenzi. Seorang pemuda dengan pekerjaan yang hebat, punya galeri seni, museum seni, bahkan perusahaan lelang sendiri. Semua itu menjadikannya salah satu anak muda dengan penghasilan tinggi, sekalipun ia tidak memiliki bakat sehebat Illona yang apapun yang ditangkap mata gadis itu selalu bisa dijadikannya lukisan. Kenzi hanya bisa menilai sebuah karya seni itu layak diperjualbelikan atau tidak, bukan membuatnya. Tak heran kalau kemudian ia menjadi salah satu pengusaha muda yang bergerak di bidang seni. Perusahaannya menjual berbagai karya seni yang dihasilkan para seniman hebat. Kantong tebalnya selalu berasal dari karya seni bernilai tinggi yang berhasil dijual perusahaan miliknya. Pernah beberapa kali ia bahkan melelang beberapa lukisan indah karya Illona yang laku terjual dengan harga fantastis. Di usianya yang ke-27 tahun ia telah hidup mandiri dengan menempati sebuah gedung apartemen mewah di pusat Kota Paris. Banyak wanita yang tergila-gila padanya, karena selain memiliki setumpuk harta berlimpah, wajah Kenzi juga tak kalah tampan dengan para aktor. Sering ia disamakan dengan oppa-oppa Korea, karena wajahnya lebih mirip orang Korea daripada Jepang, meskipun ia berasal dari Jepang. Sekalipun demikian, tak banyak yang tahu tentang kehidupan Kenzi yang dibesarkan oleh orang Jepang, tapi sebenarnya ia bahkan ragu apa ia benar-benar orang Jepang. Raiden Isamu adalah pria yang membesarkannya dari kecil, tapi dia bukan ayah kandung Kenzi.
Sejak kecil Kenzi tak pernah tahu siapa ayah dan ibu kandungnya. Satu-satunya orang yang bisa ia anggap kerabat hanyalah Isamu. Tapi, pria itu bahkan tak pernah menganggapnya keluarga, karena dia hanya membesarkan Kenzi untuk menambah jumlah anak buahnya yang semakin berkurang, karena sering terlibat perkelahian dengan kelompok mafia lainnya. Beranjak remaja, Kenzi diajarkan berbagai ilmu bela diri, merakit, bahkan menggunakan senjata. Semua itu secara khusus diajarkan oleh Isamu yang selalu dipanggilnya dengan sebutan Isamu-sama yang berarti 'Tuan Isamu'. Jelas bukan panggilan untuk keluarga, tapi untuk bawahan atau pelayan kepada tuannya.
Ketika beranjak remaja, Kenzi pernah dipaksa bekerja sebagai bagian dari Yakuza, membuat berbagai obat bahkan bahan kimia berbahaya yang bisa membunuh orang lain. Tak terhitung berapa banyak nyawa yang hilang saat ia menjadi bagian dari Yakuza. Sedikit pun Kenzi tak memiliki ragu atau takut ketika harus menghabisi sesorang yang dilakukannya dengan ringan, seolah nyawa bukanlah sesuatu yang berharga baginya.
Seiring perjalanan waktu, Kenzi mulai berubah saat pertama kali ia bertemu gadis kecil yang sedang berjalan seorang diri sambil memeluk kucing kesayangannya. Kenzi yang berjalan di belakangnya sama sekali tak disadari keberadaannya sampai belasan tahun kemudian mereka berjumpa lagi di taman kota tempat menara Eiffel berdiri megah.
"Oppa, kita makan ramen, yuk," kata Illona sembari mengandeng tangan Kenzi, membuat beberapa pasang mata memperhatikannya. Tapi, gadis itu tak memedulikannya.
Stefan yang berjalan di samping Kenzi hanya tersenyum. Barangkali ia sedang menertawakan kemalangan Kenzi yang bertahun-tahun berjuang menyatakan cinta, tapi tak pernah dianggap serius. Malah diperlakukan seperti kakak.
"Bersabarlah, dia bukan gadis yang mudah," bisik Stefan menepuk pundak Kenzi.
Mendengarnya, Kenzi hanya bisa melotot kesal. Tak bisa berbuat apa-apa. Semua kosakata yang bermuara cinta sudah habis ia lepaskan pada Illona, tapi sama sekali tak mendapatkan tanggapan dari Illona, kecuali tawa karena menganggapnya sebagai gurauan.
"Oh ya, tadi aku bertemu Emma," celetuk Illona setibanya di dalam mobil sport merah yang dikemudikan Kenzi.
Kenzi seketika menatap Illona yang duduk di sampingnya sambil terus mengoceh panjang lebar tentang kekagumannya pada Emma. Tak dipungkiri, Emma memang gadis yang cantik, memiliki wajah menarik khas Eropa dengan mata biru, rambut pirang, dan tubuh ramping. Dia juga seorang pelukis terkenal di mana ayahnya adalah pemilik galeri seni terbesar di Eropa dan ibunya seorang pemilik Rumah Sakit. Meski begitu, dia seorang seniman dengan jiwa sosial yang tinggi dan sering terlibat dalam berbagai aksi sosial, hingga Illona sangat mengaguminya.
"Lalu?" Kenzi sama sekali tidak antusias, karena di matanya Emma sama sekali tidak menarik sekalipun gadis itu berusaha membuatnya terpikat.
Baginya, Emma sama seperti kebanyakan wanita di sekitarnya yang hanya cantik, tapi tak menarik. Dia tak seperti Illona yang polos, lugu, dan blak-blakan kalau bicara. Sementara Emma, dia terlihat kaku karena setiap kali bicara, gadis itu seperti sedang mengatur kata-katanya dan bagi Kenzi kesannya jadi tidak natural. Terasa bagai bicara dengan kalangan pejabat.
"Katanya dia menyukaimu, tapi kau mengabaikannya."
"Dia bukan tipeku," Kenzi langsung sambil menatap jalan raya.
"Lalu, seperti apa tipemu?"
"Sepertimu," kata Kenzi blak-blakan.
"Tuh kan, kau bercanda lagi."
"Demi Tuhan! Apa orang itu tidak bisa mengemudi dengan benar?" teriak Kenzi kesal saat sebuah sepeda motor tiba-tiba memotong jalannya. Teriakan Kenzi membuat Illona kaget.
"Ada apa denganmu? Kenapa kau marah-marah?"
"Aku paling jengkel dengan orang yang tidak peka," kata Kenzi yang sejujurnya kata-kata itu ditujukan pada Illona yang sama sekali tidak menyadarinya.
Stefan yang duduk di belakangnya justru tertawa keras, seolah ia sedang mengucapkan lelucon. Sungguh, Kenzi benar-benar jengkel. Kalau saja tangannya bisa memanjang ke belakang, ia bersumpah akan menutup mulut Stefan yang lebar itu. Jelas-jelas Stefan tahu bagaimana jengkelnya Kenzi saat ini, tapi dia malah tertawa seolah sedang menertawakannya.
"Sudahlah, abaikan orang itu."
Kenzi menatap Illona sebentar, lalu kembali memandang jalan raya. Jalanan pagi itu begitu terlihat ramai. Berbagai kendaraan lalu lalang. Keramaian berpusat di kawasan pusat kuliner yang berada di seberang menara Eiffel. Kenzi membelokkan mobilnya ke depan sebuah bangunan dua lantai dengan bagian depannya yang tertutup kaca. Bangunan itu adakah restoran Kim Kim Bab, restoran Jepang yang sudah belasan tahun berdiri di kota ini dan memiliki belasan cabang di beberapa kota di Eropa. Restoran ini menjual es krim Bumbum. Es krim lezat dengan krim vanila dan stroberi bertabur butiran coklat serta selai stroberi yang membuat tampilan es krim terlihat imut, hingga Illona sangat menyukainya.
Gadis itu dari dulu memang selalu menyukai apapun yang terlihat imut, kucing dengan ekor panjang, panda, atau berbagai boneka ekspresif dengan pipi merah. Sangat berbanding terbalik dengan Kenzi yang alergi dengan hal-hal semacam itu, terutama kucing. Di matanya, kucing adalah binatang mengerikan dan berprilaku impulsif. Dari kecil hingga dewasa, Kenzi selalu menjadi sasaran hewan berbulu itu yang entah mengapa sering kali menyerangnya tanpa alasan.
Bagi Kenzi yang tak kenal rasa takut, kucing adalah satu-satunya hal menakutkan. Ia yang takkan ragu menghilangkan nyawa manusia, tapi di hadapan seekor kucing ia hampir dibuat tak berdaya, karena selalu berakhir tragis dengan luka bekas cakaran setiap berada terlalu dekat dengan hewan berbulu itu. Kadang ia merasa para kucing itu sentimen terhadapnya, karena pada Illona kucing-kucing selalu bersikap ramah bahkan manja. Ia tak tahu apa yang salah dengannya, kenapa ia selalu menjadi musuh bagi para kucing, padahal dirinya bahkan tak pernah membahayakan mereka.
"Tidakkah ini terlalu pagi untuk makan es krim?" tanya Kenzi saat melihat pesanan diantar. Tampak semangkuk es krim Bumbum di antara pesanan yang dibawa pelayan.
"Aku rindu dengan Bumbum," kata Illona sambil meletakkan kedua tangannya di pipi dan mengedipkan mata.
Kenzi menatapnya dan sungguh membuat jantungnya berdebar kencang. Ia tak mengerti bagaimana gadis itu melakukannya. Dia selalu bisa memperlihatkan ekpresi imut hingga membuat Kenzi sulit untuk menolak permintaannya.
"Aku memang tak pernah bisa menang berdebat denganmu."
***
"Presdir, mohon maafkan saya. Saya akan bertanggung jawab sepenuhnya, tapi tolong jangan bawa masalah ini ke jalur hukum," pria paruh baya itu berlutut di hadapan William Lee yang sedang duduk di sofa bulu berwarna putih di ruangannya. Mata birunya yang tajam menatap pria itu dengan ekpresi datar. Dua orang pegawai yang baru saja memasuki ruangannya tampak bingung, hanya terdiam menyaksikan suasana di ruangan kerja atasannya itu.
"Sebuah kata maaf akan berguna kalau masalah yang kau timbulkan bersifat pribadi. Tapi, ini bukan masalah pribadi."
"Saya tahu, kesalahan saya sangat besar, tapi tolong berbelas kasihlah. Kalau Presdir membawa masalah ini ke jalur hukum, bagaimana nasib putri saya? Saat ini dia sedang menepuh ujian untuk mendapatkan beasiswa dari kampus favoritnya. Kalau sampai saya ditahan, bisa-bisa dia gagal mendapatkan beasiswa itu. Saya mohon kasihani saya."
"Kau sudah menggelapkan dana perusahaan dan itu bukan milikku seorang, tapi milik para investor. Aku tak bisa mengambil keputusan hanya berdasarkan belas kasihan."
William adalah seorang pengusaha sukses yang memimpin sebuah perusahaan besar dengan banyak investor memercayakan uang mereka kepada perusahaannya. Sebagai seorang pengusaha, ia sangat menjaga kepercayaan para investornya, hingga tidak sekalipun ia pernah mengabaikan hal-hal kecil yang akan berdampak pada kerugian besar perusahaan. Sejujurnya ia juga merasa kasihan pada keluarga dari pria paruh baya itu, tapi ia bisa apa. Dana yang digelapkan pria itu tidak sedikit dan merugikan perusahaan dalam jumlah besar, bahkan proyek pembangunan apartemen yang seharusnya selesai tahun ini jadi tertunda karena perbuatan pria itu.
Sebagai presdir, William jarang sekali melakukan audit keuangan perusahaan, karena ia tak ingin membuat para pegawainya merasa tidak dipercaya. Oleh karena itu, ia lebih memilih memercayakan keamanan dana perusahaan melalui orang kepercayaannya yang dari mereka informasi tentang ke mana dana perusahaan mengalir akan diketahuinya. Hingga ketika ada yang aneh dengan laporan keuangan perusahaan, ia akan segera tahu tanpa perlu melakukan audit dan melibatkan banyak karyawannya. Cukup beberapa orang kepercayaannya bisa membuat William tahu jika ada yang melakukan penggelapan dana perusahaan. Itulah sebabnya ia akhirnya mampu menangkap kecurangan yang dilakukan pria paruh baya di hadapannya itu. Setelah bekerja di perusahaannya selama lebih dari sepuluh tahun dan diberi posisi penting yang sangat dekat dengan pengelolaan dana perusahaan, ternyata justru membuat pria itu gelap mata.
Pria itu sudah salah memilih orang untuk ia curangi. William terlalu cerdas untuk bisa ditipu. Sekilas saja melihat laporan keuangan perusahaan, ia sudah bisa menangkap kejanggalan dan lantaran tak pernah mau repot dengan audit yang memakan banyak waktu, ia hanya perlu duduk diam menunggu hasil pekerjaan dari orang kepercayaannya.
Di perusahaan hampir tak seorang pun tahu siapa mata-mata William, hingga mereka yang berbuat curang sering kali merasa aman sampai akhirnya tertangkap basah dan tak bisa lagi mengelak. Kasus penggelapan dana perusahaannya telah menjadi ramai ketika sebuah apartemen mewah yang sedang dibangun tiba-tiba roboh. Padahal, dana yang digunakan untuk proyek itu tidak sedikit, hingga mustahil apartemen dengan dana sebesar itu akan dengan mudahnya roboh. Kejadian itu membuat para investor menuntut pertanggungjawaban William atas seluruh uang yang mereka investasikan. Itu masalah serius dan William tak bisa mengabaikannya. Karena masalah tersebut, reputasinya tercemar bahkan ia nyaris kehilangan kepercayaan para investornya. Tak heran kalau jalan damai tak bisa ia tempuh ketika kerugian yang diakibatkan sudah terlalu banyak dan membuatnya nyaris kehilangan muka di depan para investor.
"Saya akan mengembalikan seluruh dana perusahaan, tapi tolong cabut tuntutan itu."
"Maaf, tuntutan itu bukan atas keputusanku pribadi, tapi para investor. Kalau kau ingin tuntutan itu dicabut, bicaralah pada para investor untuk mencabut tuntutan mereka."
"Presdir…"
"Maaf, ada banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan hari ini."
"Presdir, tolong. Sekali ini saja dengarkan saya."
"Sudah setengah jam lebih aku mendengarkanmu dan kurasa itu cukup. Sekarang pergilah dari ruanganku. Kita akan bertemu lagi di pengadilan."
"Presdir…"
"Selagi aku masih berbaik hati, tolong pergilah. Jangan membuatku harus memanggil sekuriti untuk mengusirmu."
William adalah pribadi yang cukup kaku dan keras dalam hal pendirian. Ia tak pernah main-main dalam urusan kepercayaan. Baginya, kepercayaan adalah hal utama dalam segala hal.
Perbuatan Han Ji Seok, mantan direktur keuangan perusahaannya, benar-benar sudah menciderai kepercayaannya. Padahal, pria itu tahu kejujuran adalah hal utama yang paling dipegang William. Tapi, yang terjadi dia justru mengkhianatinya, padahal dia telah bekerja di perusahaannya sangat lama dan William sangat baik terhadapnya. Anak pertama Han Ji Seok bahkan dibantu William agar diterima di kantor kejaksaan ketika pemuda itu bahkan hampir tak punya peluang diterima di kantor kejaksaan. Sayangnya kebaikan William justru tak dihargai Han Ji Seok yang tanpa memikirkan dampak perbuatannya pada William, tega melakukan penggelapan dana perusahaan, hingga membuat seluruh media membicarakan perusahaan sampai William harus berada di kantor polisi selama berjam-jam untuk menjawab semua pertanyaan penyidik perihal kasus penggelapan dana perusahaan. Meskipun hanya sebagai saksi, tapi cukup membuat stres ibundanya sampai jatuh sakit. Padahal, tanpa masalah tersebut, ibunya sudah sering sakit-sakitan.
"Presdir, ini laporan belanja dari proyek yang sedang kita kerjakan," kata Mirae setelah Han Ji Seok meninggalkan ruangan William dan pembicaraan serius pun kembali berlanjut.
"Sementara tunda dulu proyek ini sampai persidangan selesai," kata William sembari menatap wanita cantik bermata hijau yang duduk di samping Mirae. Dia adalah Caroline, manajer proyek yang juga sempat diperiksa penyidik terkait kasus penggelapan dana perusahaan.
"Saya sudah menghentikan pengerjaan proyek sejak surat dari penyidik saya terima."
"Baguslah. Ini bisa menjadi masalah besar kalau kita tetap melanjutkannya."
"Semua perhitungan yang saya lakukan selalu saya amati dengan sebaik mungkin dan ini berkas laporan saya terkait kualitas bahan yang saya temukan di lapangan. Kualitasnya tidak sesuai dengan anggaran yang kita berikan, jadi saya mencoba membandingkannya dengan proyek lama kita di Moskow."
"Sebentar, biar kubaca," kata William membaca berkas yang diberikan Caroline padanya. Mata tajamnya menjelajahi setiap huruf serta angka dalam lembaran kertas itu.
"Di Moskow proyek kita terbilang sederhana, tapi kualitasnya jauh lebih baik dari proyek kita di Paris," Catrine melanjutkan.
"Kau benar."
"Apa kita akan menggunakan perbandingan data ini sebagai bukti di persidangan?"
"Sebaiknya kau bawa kepada tim pengacara. Biar mereka yang memutuskan."
"Baik, Presdir."
"Hari ini aku akan pulang lebih awal," kata William yang merasa kepalanya sudah sangat berat memikirkan pekerjaan dan semua masalah di perusahaannya. Ia butuh sesuatu yang membuat pikirannya lebih ringan dan itu membuatnya harus meninggalkan kantor lebih awal.
"Baik, Presdir."
"Untuk rapat hari ini, agendakan lagi. Sampaikan pada mereka, rapat ditunda."