Tak lama setelah itu, semua anak masuk. Karena bel masuk sekolah sudah berbunyi. Dan jam pertama hari ini adalah mata pelajaran Biologi, yang diajarkan oleh Pak Wilis. Pak Wilis tipikal guru humoris, Dinda jadi ingat dengan guru Bahasa Indonesianya dulu. Sebab sifat keduanya hampir sama.
"Jadi semuanya sudah memiliki buku paket yang Bapak bilang kemarin? Tugasnya sekarang ada di sana semua," kata Pak Wilis.
Dinda masih tenang meski dia sendiri tak tahu apa yang dimaksud oleh Pak Wilis. Tentu saja, ini hari pertama ia bertemu dengan guru Biologi.
"Satu paket berdua dulu, ya, Sel. Gue belum tahu kalau disuruh beli buku, nih," kata Dinda.
"Sorry, Din. Tapi aturan di sekolah ini adalah, nggak ada kata pinjam meminjam. Semua harus bawa sendiri-sendiri. Kalau enggak dapet sanksi."
Dinda terkejut mendengar penjelasan dari Selly. Sekolah macam apa itu? Kenapa untuk memakai satu buku paket dibuat berdua saja tidak boleh? Apakah hal seperti itu merupakan hal yang buruk?
"Emang buku paketnya yang model gimana sih?" tanya Dinda lagi.
"Yang elo balikin ke Nathan,"
Spontan Dinda langsung memandang ke arah Nathan. Rupanya, cowok itu sudah mengangkat dua buah buku paket sama di kedua tangannya. Tersenyum tipis sambil memainkan alisnya.
"Beneran nggak butuh sekarang?" katanya. Seolah dia telah menang dari Dinda. Dan dia benar-benar senang luar biasa.
Dinda menghela napas panjang. Antara pinjam atau tidak. Harga dirinya yang tinggi melarang keras untuk meminjam pada Nathan. Tapi, kalau dia tidak meminjam, dari mana dia akan mendapatkan materi.
"Gue pinjem bentar," kata Dinda pada akhirnya. Dia menjulurkan tangannya hendak meminta, tapi Nathan seolah enggan.
"Elo pinjemnya ama siapa? Ama Regar? Ama Benny? Atau ama siapa?" katanya lagi menggoda.
"Ama elo."
"Elo siapa?" tanya Nathan lagi. Dia clingak-clinguk, seolah-olah telah mencari sesuatu. "Nggak ada orang bernama elo di sini."
"Nath, gue pinjem buku paket elo sebentar," kata Dinda pada akhirnya.
Tapi, hal yang Nathan lakukan benar-benar di luar dugaan. Dia berdiri dengan tegap sampai membuat seisi kelas memandang ke arahnya.
"Pak Wilis, Bapak tadi denger nggak Dinda ini bicara apa?" tanyanya kepada Pak Wilis.
Guru lencir itu tampak membenahi letak kacamatanya, kemudian ia bersedekap. "Memangnya Dinda bicara apa, Nathan?" tanyanya, yang rupanya ikut kebingungan juga.
"Elo denger kan, kalau Pak Wilis aja nggak denger tentang apa yang elo katain ke gue, jadi bicara sekarang, Din."
Merasa malu, Dinda menundukkan wajahnya. Bahkan, mulutnya tak bersuara sepatah kapan pun.
"Din, kamu mau bicara apa sama Nathan, silakan. Bapak tidak keberatan," Pak Wilis pun akhirnya bersuara.
Mau tak mau Dinda akhirnya berdiri, memandang sekilas ke arah cowok yang saat ini tersenyum dengan lebar. Kemudian ia memandang ke arah gurunya.
"Maaf, Pak, saya tidak membawa buku paket. Bolehkah saya keluar kelas saja?"
Nathan langsung terdiam mendengar ucapan dari Dinda. Cewek itu sama sekali tidak melakukan apa yang dia bayangkan. Dinda memilih tidak mengikuti pelajaran Biologi. Sambil membawa buku dia pun pamit keluar.
Lagi, Nathan merasa kalah karena Dinda. Dia benar-benar tak bisa menebak jalan pikiran cewek itu. Cewek pertama yang tidak bisa ia kendalikan sama sekali.
*****
"Heh, cewek sok kecakepan!" kata Sasa dengan nada tinggi.
Dinda yang awalnya berjalan di koridor pun terhenti, saat dicegat oleh gerombolan Sasa, dan Gisel.
Kemudian, Gisel menarik kerah belakang seragam Dinda. Sampai cewek itu mundur menabrak tembok dengan kasar.
Sasa, dan Gisel melempar kartu kuning kepada Dinda. Sambil menjambak rambut dinda dengan kasar. Padahal ini di koridor sekolah, padahal banyak anak yang melihat, padahal banyak guru yang melihat. Tapi mereka... mengabaikannya.
"Elo pikir, di sini itu sama ama di sekolah kumuh lo yang dulu? Enggak. Siapa yang berkuasa di sini itu tiga pilar utama. Sekali lo bikin gara-gara ama salah satu di antara mereka, maka selamanya hidup lo akan kita bikin kayak di neraka. Ngerti lo!" kata Gisel dengan nada tinggi. Menempeleng kepala Dinda beberapa kali.
Dinda berontak. Tapi, bagaimana bisa. Kedua tangannya sudah ditahan oleh komplotan Gisel dan Sasa.
"Kalian kenapa sih? Gue nggak ada urusan ya, ama kalian."
"Jelas ada!" bentak Sasa. "Elo bikin tingkah mulu ama Nathan, nggak usah sok kecakepan deh! Elo pikir, cuma elo cewek yang diperlakuin kayak gitu ama Nathan? Nggak usah GR deh lo! Elo itu nggak beda ama cewek-cewek sampah lainnya tau nggak. Yang akan jadi barang mainannya Nathan kemudian dimuntahin kayak barang rongsokan."
"Sama kayak elo, dong," sindir Dinda pada akhirnya.
Sasa melotot saat Dinda berani berkata itu. Dan amarahnya semakin membuncah karena Dinda telah melukai perasaannya.
"Beberapa waktu yang lalu gue liat elo ciuman ama Nathan di toko buku, kemudian ciuman lagi ama elo...," kata Dinda sambil menujuk arah Sasa, dan Gisel bergantian. "Jadi, kalian itu lagi berbagi pacar atau jadi sampah kayak yang elo katakan ke gue tadi?"
PLAK!!!
Gisel langsung menampar pipi Dinda. Hatinya benar-benar meradang saat ada cewek kurang ajar berkata itu kepadanya. Selama ini tidak ada satu orang pun yang berani mengatakan itu. Dan, cewek ini telah lancang.
Dinda menyeringai. Dia bahkan tak merasa sakit sedikit pun meski ujung bibirnya telah berdarah. "Kenapa lo marah, Gis? Apa yang gue bilang itu bener?"
"Elo—"
"Kalian mikirnya bangga punya cowok kayak Nathan, cowok tajir, cakep, dan digilai banyak cewek. Tapi, kalian rupanya udah lupa dengan mengabaikan perasaan kalian. Buat apa kalian punya cowok cakep dan jadi idola, kalau kalian nggak bisa milikin dia seutuhnya? Buat apa kalian pacaran ama cowok yang digilai, kalau kalian nggak bisa ngerasain bahagia yang sebenernya? Dan apa bener kalian nggak sakit hati kalau emang Nathan pacaran ama cewek lain? Godain cewek lain? Dan... ciuman ama cewek lain? Apa bener yang kalian rasain itu bangga, dan bahagia yang sebenernya?"
PLAK!!!
Kini giliran Sasa yang menampar Dinda. Dinda langsung tesungkur, sebab pukulan Sasa jauh lebih kuat dari Gisel. Bahkan, mata Dinda dibuat berkunang-kunang.
"Nggak usah sok ceramah deh lo. Bacot aja lo!"
"Woy, Anjing! Apa yang kalian lakuin!?"
Rendra yang melihat kejadian itu langsung berlari, mendekat ke arah Gisel, Sasa dan komplotannya. Sementara Dinda sudah tak berdaya di tengah-tengah mereka.
"Kenapa sih, Ren? Biasanya juga elo nggak peduli ama yang kami lakuin,"
"Ya enggak gitu juga kali, Sa. Gue hanya penasaran, di tempat kayak gini kalian ngeroyok anak orang. Sadis kalian," kata Rendra. Melirik sekilas siapa gerangan yang tengah menjadi bulan-bulanan dua cewek itu. Rendra kemudian mengangguk-angguk, meski matanya tak lepas dari Dinda.