"Eh, bangke! Fans garis keras elo ngeroyok orang!" teriak Rendra. Saat tahu jika Nathan sedang lewat tak jauh dari mereka.
Nathan menghentikan langkahnya, dia menoleh tanpa minat. Sementara Rendra terus melirik ke arah gerombolan itu. Sebenarnya dia hendak pergi, tidak peduli dengan siapa pun yang menjadi bulan-bulanan Sasa, dan Gisel. Tapi lagi-lagi Rendra menyerukan kata-kata sumpah serapahnya. Seolah-olah memancingnya untuk mendekat.
"Apa?" tanyanya. Mendekat ke arah kerumunan itu. Dia melirik sekilas tentang apa yang terjadi. Kemudian, matanya terhenti pada Dinda. Yang sudah pucat pasi dengan tubuh lemasnya.
"Biasa aja sih, kenapa, sih, Nath? Biasanya juga elo nggak peduli. Udah kalian sana deh," kata Sasa yang mulai tersulut emosi karena kedatangan Rendra dan Nathan.
"Elo tahu aturannya, kan?" kata Nathan, cukup tajam sampai membuat Sasa mundur selangkah dari tempatnya berdiri. "Siapa pun yang udah gue tandain, pantang ditandain oleh pilar yang lain. Lo mau nantangin gue atau apa?" katanya, semakin dingin dan mengintimidasi.
"Tapi, dia songong banget ama elo, Nath. Gue... gue hanya—"
"Pergi!"
Sasa, Gisel, dan komplotannya pun langsung pergi. Membuat Nathan dengan sigap menangkap tubuh Dinda yang rupanya telah pingsan. Dia memandang ke arah Rendra sekilas, kemudian tersenyum tipis.
"Thanks."
"Jangan buat gue kehilangan sepuluh juta gue, Berengsek!" setelah mengatakan itu, Rendra langsung pergi. Sementara Nathan langsung membawa Dinda ke UKS.
Dinda perlahan membuka mata, rasa perih di sudut bibirnya terasa menyeruak sangat nyata. Pandangannya samar, yang ia lihat adalah sosok yang kini sedang memiringkan wajahnya. Sosok itu sedang menunduk, sehingga tampak nyata bagaimana rambut jambulnya, bagaimana hidung mancungnya, bagaimana alis hitam tebalnya, dan bagaimana bibir penuhnya itu tertutup rapat.
Dinda menggerakkan tangannya pelan, membuat sosok itu langsung memandang ke arahnya dengan perasan lega.
"Lo udah sadar?" tanyanya. Ya, sosok itu adalah Nathan. Yang Dinda sendiri tak tahu, sejak kapan cowok itu ada di sini.
Dinda hendak mengambil posisi duduk, sebab ia benar-benar merasa risih jika harus tiduran dan ditunggui oleh seorang cowok. Terlebih, cowok itu adalah Nathan.
"Gue di mana?" tanya Dinda pada akhirnya.
Nathan tersenyum simpul, kemudian memandang ke arah salah satu kamar UKS yang lebih seperti kamar VIP sebuah rumah sakit.
"Lo di UKS. Tadi elo pingsan," jelas Nathan.
"Ini jam berapa?" tanya Dinda panik.hari ini adalah jadwalnya memberi les kepada anak-anak komplek.
"Jam empat."
"Hah!" kata Dinda. Langsung duduk tegap seolah ingin segera beranjak dari sana. "Gue mau balik."
"Hujan," kata Nathan cukup jelas hingga membuat Dinda mendesah tanpa sadar. "Mau pulang sekarang?" tanya Nathan. Seolah ingin meminta persetujuan Dinda. "Ada payung satu. Kita bisa pakai berdua."
Dinda kemudian menggeleng, ia memeluk tubuhnya sendiri. "Enggak, lo pulang aja dulu," katanya dengan nada ketus.
Nathan tersenyum dibuatnya. Bahkan, kata terimakasih pun tak keluar dari mulut mungil Dinda.
"Elo yakin di sini sendirian? Bentar lagi petang, dan di belakang sekolah kuburan angker. Sementara tanah yang digunain buat ngebangun sekolah in—"
"Ih, cukup!" jengkel Dinda. Bagaimana bisa Nathan mengatakan hal-hal seram saat posisi hujan sedang lebat, dan ada beberapa petir saling bersambut.
Nathan tertawa mendengar ucapan Nathan. Rupanya, cewek yang dikira tak akan takut apa pun itu nyalinya ciut. "Gue pikir elo nggak takut apa pun. Ternyata ama setan aja lo takut," katanya.
Dinda langsung memalingkan wajahnya pada Nathan, kemudian dia menunduk. Memainkan jemarinya pada selimut yang sekarang tengah menyelimuti sebagian tubuhnya.
"Jadi beneran elo mau gue tinggal sendiri?" Nathan beranjak dari duduknya, mengambil tas ranselnya kemudian mengambil payung. Sementara Dinda masih diam di tempat. "Gue cuma mau ngasih tahu, hujan sederas ini nggak mungkin bakal reda lima menit lagi. Mungkin dua sampai tiga jam baru reda. Dan gue juga lebih yakin elo nggak mungkin di sini sendiri, dan kita berdua sampai nginep sini, kan?" lanjutnya.
Dinda langsung beranjak dari ranjang, berdiri kemudian meraih tas ranselnya. Berjalan mengekori langkah Nathan.
Hujan di luar benar-benar sangat deras. Bahkan, beberapa kali kilatan petir membuat Dinda tanpa sengaja menggenggam erat jaket yang dikenalan oleh Nathan.
Nathan berhenti, melihat Dinda yang membuntutinya dari jauh. Bahkan, cewek itu rambutnya sudah setengah basah.
"Lo pakek jaket ini, dingin," kata Nathan. Melepaskan jaketnya kemudian diberikan kepada Dinda. Tanpa menjawab, Dinda mengenakan jaket itu. Kemudian mengenakannya dalam diam.
Lagi, Nathan menarik tangan Dinda. Sampai cewek itu berada dalam pelukannya. Kemudian Nathan memandang wajah Dinda, meneliti setiap inci wajah cewek yang memandangnya tanpa kedip itu.
"Alis lo cantik, mata lo cantik, hidung lo cantik, bibir lo cantik...," kata Nathan. Mengabsen bagian wajah Dinda dengan tangannya. "Pasti Tuhan nyipain elo sambil senyum," lanjutnya. Memegang dagu Dinda kemudian menariknya perlahan untuk mendekat pada wajahnya.