Diinjak kaki Nathan oleh Dinda agar menyapa balik Mbak Ambar membuat Nathan melirik ke arah Dinda. Lirikannya tampak tajam, jenis lirikan yang seolah dia tak suka jika ada orang asing yang mengganggunya.
"Apa?" tanyanya sewot.
"Ditanyain Bu Ambar, tuh," kata Dinda.
"Oh, Iya, Mbak," jawab Nathan sekenanya.
"Lho, kehujanan? Nggak bawa ganti ya, Dik?" tanya Mbak Ambar lagi. Nathan hanya menggeleng. "Di rumah ada pakaian Adik cowokku yang beberapa belum terpakai, barangkali Dik Nathan mau untuk dibuat ganti?" tawar Mbak Ambar.
Mendengar itu wajah Nathan langsung berseri, dengan cepat ia pun mengangguk. "Wah boleh, Mbak, boleh," jawabnya semangat.
Lagi, melihat ekspresi Nathan yang berubah cepat itu benar-benar membuat Dinda memutar bola matanya.
"Dasar bermuka dua," celetuknya. Nathan hanya memandangnya sekilas, tapi dia tak menghiraukan ucapan Dinda kepadanya.
Setelah itu Mbak Ambar pergi ke rumahnya, kemudian kembali membawakan satu stel pakaian yang masih dibungkus plastik, beserta dua cangkir teh hangat yang diletakkan di atas meja.
"Silakan, Dik, diminum...," kata Mbak Ambar kepada Nathan, kemudian ia menoleh kepada Dinda. "Dik, pacarnya disuruh minum, ya, jangan sungkan-sungkan, anggap rumah sendiri."
"Nggak pacar kok, Bu!" ralat Dinda dengan cepat.
Pacar? Untuk apa dia harus punya pacar seperti Nathan? Kurang kerjaan sekali. Bahkan sampai kapan pun Dinda tidak mau punya pacar seperti Nathan.
"Oh, bukan ya. Ya sudah, temannya urusin, ya."
"Nggak teman juga, Buk."
Mbak Ambar tampak bingung, tapi dia tak ingin bertanya lebih jauh lagi. Sementara Nathan memandangnya dengan tatapan dongkol.
"Ya sudah, aku kembali dulu, ya, Dik," akhirnya, itulah kata yang keluar dari Mbak Ambar, dari pada harus terperangkap pada dua anak yang masih ABG itu.
"Jadi tuan rumah gini kek, dibuatin teh anget. Lo malah diem aja kek patung," sindir Nathan. Dinda hanya mencibir.
Nathan langsung kembali masuk ke dalam kamar mandi, kemudian keluar lagi dengan penampilan barunya. Kaus lengan panjang berwarna merah, dengan celana pendek berwarna abu-abu, rambut pirangnya yang basah diacak beberapa kali, sambil membawa handuk, ia pun duduk manis di sofa berbentuk L di sudut ruangan, menikmati teh hangatnya sambil membaca buku dan mendengar berita yang ada di TV depannya.
Berita sore ini tak begitu menarik bagi keduanya, berita-berita seputar penipuan yang terjadi di suatu wilayah di Jawa Barat. Yang seolah menambah rasa jenuh teramat bagi Dinda.
Dinda duduk bersandar di kursi seberang kursi yang diduduki Nathan, sesekali ia melirik ke arah cowok yang sudah sibuk dengan bukunya itu. Itu adalah salah satu buku yang Dinda tahu buku materi kelas dua belas.
Dinda melipat kedua tangannya di dada, rintik hujan lantas membuat panca inderanya tenang. Terlebih, detuman kecil yang terus mengenai genting-genting kos-kosan ini, ritmenya tak berubah, dengan rasa merdu yang ada di dalamnya. Kemudian, membuat kesadaran Dinda perlahan hilang entah ke mana.
"Kenapa lo benci ama gue, Din?" tanya Nathan. Yang tak memandang ke arah Dinda yang sudah terlelap. "Gue beneran heran. Kenapa elo sebenci itu ama gue? Gue hanya ingin deket ama elo, apa salahnya, Din?" Nathan pun menoleh, matanya menyipit melihat Dinda yang sudah memejamkan mata.
Pelan-pelan Nathan mendekat ke arah Dinda, memandang sosok yang tengah tidur pulas itu dalam-dalam.
"Ye, ngorok nih bocah," gumamnya. Bibirnya tersungging seulas senyum, mencermati tiap inci wajah Dinda.
Bahkan, dia tak pernah tahu, sejak kapan dia sudi mencermati detil-detil terkecil dari wajah seorang cewek? Bagaimana dia bisa mencermati hidung mancung Dinda yang ujungnya kemerahan saat hawa dingin datang, bagaimana ia mencermati bulu mata panjang Dinda yang tampak nyata ketika ia tidur, bagaimana ia mencermati alis hitam Dinda yang tampak rapi dan bagus, dan bagaimana bisa ia mencermati bibir mungil milik Dinda?
Nathan mengelus pipi mulus Dinda, dia tak pernah membayangkan, jika pipi seorang cewek yang bahkan ia tahu tak menggunakan kosmetik mahal apa sampai bisa semulus ini. Pelan, Nathan mendekatkan wajahnya. Dia sangat penasaran dengan bibir mungil Dinda. Namun, saat bibirnya hendak menyentuh bibir Dinda. Dia menarik tubuhnya untuk menjauh.
Lagi, Nathan tersenyum, setelah ia menyelimuti Dinda dengan handuk yang ia kenakan tadi, dia pun kembali sibuk dengan bukunya. Meski duduknya kini, tepat di sebelah Dinda tidur.
"Enggak, jangan!" teriak Dinda yang berhasil membuat Nathan nyaris melompat.
Keringat dingin tiba-tiba membanjiri tubuh Dinda, cewek itu menangis sesugukan, dengan mata yang masih tertutup rapat-rapat. Kedua tangannya dingin, sementara menggenggam tangan Nathan kuat-kuat.
"Jangan, tolonng, aku mohon!" teriaknya lagi untuk kesekian kali.
Nathan tak bisa melakukan apa pun, dia cukup terkejut dengan apa yang terjadi. Seperti ketakutan yang membuat Dinda trauma, dan ketakutan yang benar-benar membuat Nathan penasaran.
"Din, bangun, Din... bangun."
"Enggak!" teriak Dinda lagi. Sebelum akhirnya, mata kecilnya itu terbelalak, air mata itu tampak nyata keluar dari mata indahnya.
Dinda langsung memeluk tubuhnya sendiri, seolah begitu ketakutan dengan keberadaan Nathan. Nathan hendak menyentuh Dinda, tapi cewek itu semakin histeris dan berangsut mundur.
Nathan menelan ludahnya, dia benar-benar tak tahu kejadian apa ini? Yang ia bisa lakukan hanyalah, mundur teratur untuk membuat Dinda tenang.
"Tenang, Din, tenang... ini gue, Nathan. Gue bukan orang jahat," kata Nathan.
Kesadaran Dinda yang mulai terkumpul pun menyeruak, untuk kemudian ia menyembunyikan wajahnya, sambil menangis sejadi-jadinya.
Nathan pelan-pelan mendekat, ia hendak mengelus punggung Dinda yang bergetar. Tapi cewek itu rupanya tahu apa yang hendak dilakukan Nathan.
"Jangan sentuh gue! Gue benci ama elo!" bentak Dinda. Dengan intonasi yang sangat tinggi, dan kasar.
Nathan terdiam untuk sesaat, matanya memandang kondisi aneh Dinda bahkan tanpa kedip. Semuanya seolah berputar-putar di otaknya, membuat Nathan benar-benar telah kehilangan akal sehatnya. Dia sendiri tidak pernah tahu, jika akan diperlakukan kasar seperti ini oleh Dinda. Tapi yang Nathan yakin, bentakan Dinda itu bukan karena alasan. Ada yang aneh di sini, dan Nathan harus mengetahui apa yang telah terjadi sebenarnya.
Lagi Nathan melangkah mundur, ia tahu situasi apa sekarang. Dinda sedang tak butuh dirinya, yang Dinda butuhkan hanyalah teman perempuan.
"Tunggu di sini, gue panggil Nadya dulu."
Setelah mengatakan itu, Nathan pun pergi, menuju kamar kos milik Dinda dan memanggil Nadya untuk mengajak Dinda masuk ke dalam kamar agar tenang. Dengan sabar, Nadya merangkul Dinda, menuntun cewek itu untuk kembali ke dalam kamar. Nadya sama sekali tak berkata-kata, bahkan dia menuntun Dinda dalam diam. Sebab baginya, kejadian ini, mungkin adalah rangkaian dari kejadian di setiap malam yang Nadya saksikan, saat Dinda menangis secara tiba-tiba dan histeris di tengah tidurnya. Dinda, benar-benar sedang butuh bantuan.