Pagi ini, Dinda sudah kembali seperti biasanya, tersenyum, dan semangat untuk sekolah sama seperti biasanya. Sementara Nadya, hanya meneliti Dinda dalam diam, setelah membawanya ke kamar, Nadya benar-benar bungkam. Dia tak menyanyakan sepatah kata pun kepada Dinda, dan membiarkan cewek itu tenang dengan sendirinya. Untuk kemudian Dinda tertidur sampai pagi.
Dinda melirik Nadya yang sudah sibuk dengan seragamnya, kemudian ia memasukkan beberapa buku pelajaran di dalam tas. Sebenarnya, ada rasa sungkan yang teramat kepada Nadya, karena telah melihat sisi lain darinya. Sisi paling buruk yang pernah Dinda punya, dan sisi paling hancur yang pernah Dinda punya. Bahkan, sampai detik ini Dinda tak menyapa Nadya. Dia benar-benar sedang bingung. Dia benar-benar sedang takut jika nanti Nadya akan menanyainya macam-macam. Dan, rasa trauma di masa lalunya akan bangkit menggerogoti otaknya.
"Btw, Nad, gue mau terimakasih ama elo karena kemarin," kata Dinda hati-hati. Sambil melihat ujung kakinya yang belum mengenakan sepatu.
Nadya melirik Dinda sekilas, kemudian ikut duduk di ranjang. Dia memandang Dinda lagi, lalu menghela napas panjang.
"Nggak apa-apa, kok, santai aja lagi ama gue...," katanya. "Menurut gue sih, mending elo coba konsultasi ke psikolog deh," kata Nadya, saat melihat ekspresi Dinda berubah ia langsung mengibaskan tangannya. "Bukan, bukan gitu. Psikolog kan nggak harus karena orang itu kena gangguan jiwa. Ya, siapa tahu kalau lo ke sana, dan konsultasi, apa yang menjadi beban elo bisa sedikit ringan, Din."
"Nggak kok, nggak usah. Nggak perlu," jawab Dinda. Nadya hanya bisa tersenyum hambar, jika sarannya dimentahkan. Dia tidak tahu saja, jika sedari lama Dinda juga ingin. Hanya saja, untuk datang ke sana dan berkonsultasi Dinda memerlukan biaya. Dan, Dinda tak punya hal itu. "Ohya, Nad, ada ekspedisi pengiriman nggak deket sini?" tanya Dinda lagi. Yang sudah siap dengan tasnya, dan keluar.
Nadya yang mengekorinya pun juga ikut keluar, mereka berjalan beriringan menuju gerbang kos-kosan.
"Ada sih, tapi udah di luar kompleks ini," jawab Nadya. Berhenti tepat di gerbang kos-kosan kemudian menunjuk arah timur. "Tepat di luar kompleks ini kan ada jalan raya, tuh, nah di seberang jalan raya itu ekspedisinya. Lumayan deket sih, paling lima menitan kalau jalan kaki. Mau gue temenin?" tawarnya.
Dinda menepuk bahu Nadya, ia pun menggeleng dengan senyum jenakanya. "Enggak usah, Nad, gue ke sana sendiri aja. Entar kalau elo nyampek sekolah dulu, tolong liatin, ya, Selly udah dateng apa belum."
"Oke, deh, hati-hati. Di jalan itu soalnya rawan,"
"Rawan apa?" tanya Dinda bingung.
"Rawan tempat tawurannya anak-anak. Karena jalannya lumayan sepi, jadi kalau mereka tawuran suka ke situ."
"Oh, oke...."
Dinda berjalan menuju bibir kompleksnya untuk keluar, terlihat dengan jelas ada beberapa ruko, dan kafe di sana. Pantas saja jika kompleks ini terbilang elit, sebab apa pun yang dibutuhkan ada di sini. Bahkan, ada sebuah supermarket juga. Sementara di seberang tempat kos-kosan Dinda ada satu kompleks perumahan yang tak kalah elit juga, di sanalah ia mengajar les anak-anak orang kaya. Kompleks perumahan itu terbilang cukup luas, bahkan kata salah satu ibu yang anaknya diajar Dinda, kompleks perumahan itu sampai tembus di belakang sekolahnya. Dan di ujung sana kata ibu itu, ada sebuah bangunan bak istana. Tepatnya di belakang sekolah itu, pemiliknya adalah seorang pengusaha dengan berbagai bisnis di mana-mana, salah satunya pemilik kompleks perumahan itu.
Dinda tak habis pikir dengan orang-orang di sekililingnya. Apa pekerjaan mereka sehingga menjadi kaya-kaya, jika ingin Dinda ingin belajar untuk jadi kaya juga. Agar tidak ada orang kaya yang akan menginjak-injak harga dirinya.
"Woy, mau ke mana lo, Anjing!"
"Serbuuuu!"
Dinda langsung menghentikan langkahnya dengan spontan. Saat ada anak-anak berseragam SMA saling kejar-kejaran di tengah jalan.
Segerombolan anak memakai seragam kotak-kotak sama sepertinya sambil membawa senjata tajam dan beberapa besi berlarian, mengejar anak-anak dari sekolah lain yang berlari tunggang langgang.
Dina berdiri di antara mereka, Dinda berdiri tepat di depan mereka. Dan dia hanya berdiri mematung, sebab dia sendiri tak tahu harus berbuat apa.
"Nggak usah dipedulikan," bisiknya pada dirinya sendiri.
Ia menggenggam tali tas ranselnya erat-erat, mengabaikan riuh tawuran yang ada di depan matanya. Mengabaikan suara gaduh bercampur teriakan dari beberapa warga, Dinda benar-benar pura-pura kalau di sana ia tidak melihat apa-apa. Dia menoleh kekanan-kiri untuk memastikan jalan yang ada di depannya sepi, kemudian menyeberang dengan tenang begitu saja.
"Woy, cewek SMA Airlangga!" teriak seseorang yang berhasil membuat bulu kudu Dinda meremang seketika.
Ia mempercepat langkahnya, ekspedisi sudah di depan mata dan tinggal beberapa langkah lagi ia sudah sampai. Tapi, tiba-tiba langkahnya terhenti saat tangannya ditarik dengan kasar oleh seseorang.
Dinda menoleh orang itu, seorang cowok SMA bermata hitam legam memakai seragam cokelat muda. Dia menyeringai, seolah-olah telah mendapatkan mangsa empuk untuk memukul mundur barisan SMA Airlangga yang sudah mulai berkuasa.
"Lo makan empuk gue," kata cowok itu.
Dinda hanya diam, sesekali ia menelan ludahnya yang terasa kering. Keringat dingin sudah membanjiri tubuhnya.
Apakah dia akan segera mati? Ataukah dia akan diperkosa kemudian dimutilasi dan dibuang seperti di berita-berita karena permusuhan antar SMA?
Lagi, Dinda menelan ludahnya. Sebelum sisi tangannya yang lain ditarik lebih keras sampai tubuhnya berada di dekapan sosok yang menariknya. Aroma tubuhnya sangat wangi, meski keringat terus berkucur pada lengannya, dadanya bidang, dan otot-ototnya sangat kuat.
Dinda mendongakkan wajahnya, matanya menatap sosok yang sudah memelototinya. Untuk kemudian, Dinda mendorong tubuh itu, kemudian menjauhkan diri darinya.
"Dia cewek gue, berani lo sentuh dia gue bunuh lo sekarang juga, Anjing!" bentak cowok itu.
Dia hendak menarik Dinda lagi untuk segera pergi dari sana dan menyelamatkan Dinda. Tapi, cewek itu malah berontak, menolak mentah-mentah ajakannya kemudian memeluk dirinya sendiri.
"Woy, elo maunya apa!" bentak Rendra.
"Gue nggak mau! Gue nggak mau ama elo!" teriak Dinda kesetanan.
Rendra benar-benar tak habis pikir dengan makhluk yang namanya cewek. Terlebih, cewek aneh yang kini sudah heboh sendiri di depannya ini. Itulah kenapa, Rendra tak suka dengan cewek, dengan segala keribetannya.
"Eh, sinting. Elo bilang nggak mau nggak mau kayak ulet digoreng di wajan, tapi tubuh elo gemeteran. Sebenernya, pengen elo itu apa, bangke!" marah Rendra tak sabaran. "Sini nggak!" kata Rendra sambil melambaikan tangannya ke arah Dinda, sementara tangan yang lain berkacak pinggang.
"Nggak mau!" jawab Dinda yang berhasil membuat Rendra semakin melotot.
"Sini nggak!" kata Rendra yang sudah seperti bentakan.
"Enggak mau ya nggak mau!" ngotot Dinda dengan suara yang sama tingginya.
Merasa kesal, Rendra langsung mendekati Dinda. Membopong tubuh cewek itu. Tak peduli seberapa kuat cewek itu meronta dan menolak, kemudian ia masukkan Dinda ke dalam mobilnya. Dengan cepat Rendra memutari mobilnya, duduk di balik stir mobil dan mengunci pintu mobil. Membuat Dinda semakin kelabakan dibuatnya.