"Elo!" geram Dinda.
"Apa?!" sewot Rendra.
Keduanya tampak memasang sinyal jengkel mereka, kemudian keduanya saling memalingkan wajah. Menghadap depan lurus-lurus tanpa mengatakan apa pun.
"Elo tahu posisi lo tadi?" kata Rendra pada akhirnya, menunjuk kerumunan siswa yang sudah baku hantam tanpa peduli jika nyawa mereka akan melayang saat ini juga. Ada satu mahasiswa dikeroyok, dipukuli, bahkan diinjak-injak siswa lainnya, dan keganasan-keganasan lainnya yang membuat Dinda merinding dibuatnya. "Kalau gue nggak nolongin elo. Lo bisa mati di sana dengan sangat konyol sekali. Pura-pura nggak ada apa-apa menyeberang jalan di tengah tawuran? Elo gila?" kata Rendra lagi.
Dinda tak membalas ucapan Rendra. Ia hanya diam kemudian bersedekap. Dia benar-benar tidak tahu apa yang akan terjadi kepada dirinya. Sebab ia rasa, dia tak salah, ia tak ada sangkut pautnya sama mereka.
"Elo bagian dari Airlangga, meski lo ngerasa lo nggak salah. Tapi elo adalah bagian dari kami. Ngerti lo!"
"Enggak," jawab Dinda enteng.
Rendra benar-benar hilang akal. Dia gemas bukan main dengan cewek yang ada di sampingnya ini. Ingin sekali ia pukuli, tonjoki, atau apa pun itu agar ia merasa puas. Tapi lagi-lagi, dia lelaki yang tak sudi menyakiti cewek dengan cara seperti itu.
"Gue di Airlangga hanya untuk belajar, sekolah yang bener terus lulus. Bukan untuk masuk dalam bagian dari tawuran nggak berfaedah, bukan untuk ditandain dari tiga pilar bodoh yang nggak berguna. Gue cuma mau sekolah seperti anak-anak lainnya," jelas Dinda.
Sejenak Rendra terdiam mendengar ucapan itu. Ditandai oleh si merah, tentu bukan keinginan Dinda. Dan yang harus disalahkan karenanya adalah dirinya.
Rendra kemudian diam, rasa jengkel yang membuncah karena Dinda berangsur hilang. Kemudian, ia melaju mobilnya masuk ke dalam kompleks sekolahan. Segera masuk sekolah sebelum jam masuk datang. Sebelumnya, ia mewanti-wanti anak buahnya. Untuk merebut bendera dari sekolah lawan, dan menyatakan jika sekolah lawan tunduk di bawah kakinya, sekolah lawan sudah bisa ia takhlukkan pagi itu juga.
Setelah mendengar jika SMA lawan telah berhasil ia takhlukkan, dan tak lama setelah itu rombongan motor saling berderu masuk ke halaman sekolah sambil mengibarkan bendera geng SMA Airlangga yang berwarna merah menyala dan berlambangkan burung elang di sana, anak yang lainnya juga mengibarkan bendera SMA lawan. Bendera berwarna abu-abu dengan lambang kalajengking.
Arak-arakan motor itu memutari mobil milik Rendra, yang berhasil membuat Dinda yang melihat semakin pusing dibuatnya. Rendra keluar dari dalam mobilnya, kemudian seorang bertubuh subur, dengan rambut cepak itu turun. Melipat bendera SMA musuh kemudian diberikan kepada Rendra. Setelah itu, cowok bertubuh gemuk itu hormat. Seolah-olah, itu adalah prosesi serah terima dari anak buah ke komandannya.
"Lapor, SMA Bhakti Nusa, berhasil kamu lumpuhkan!"
Dinda tertawa mendengar ucapan itu, seperti komandan yang lapor kepada pimpinan upacara saat upacara bendera di hari sinin. Tapi, tawa Dinda langsung reda tatkala semua mata cowok yang ada di sana melotot ke arahnya, termasuk... Rendra.
"Bendera telah kuterima, untuk selanjutnya akan kuberikan kepada sang raja," jawab Rendra mantab. Memasukkan bendera itu ke dalam tas punggungnya. "Btw, kalian nggak apa-apa kan? Nggak ada yang terluka parah kan?" tanyanya lagi. Memastikan jika semua anak buahnya baik-baik saja.
Setelah serah—terima yang sangat resmi, mereka langsung saling rangkul. Tertawa bersama seolah mereka puas dengan hasil kerja mereka.
"Traktir nih, Nyet! Gue laper, aus, sumpah!" dengus cowok gendut tadi.
Rendra lantas merangkul cowok itu, "Hari ini, kalian gue traktir!" katanya, dan disambut sorak sorai oleh anak buahnya.
Tak sadar Dinda tersenyum melihat itu, sampai pada akhirnya ada sebuah tangan besar lain yang menarik tangannya, membuat tubuhnya terhuyung ke belakang. Dinda menoleh melihat siapa cowok itu, jenis cowok wangi dengan seragam yang tampak lebih rapi dari Rendra, dibalut oleh jaket warna cokelatnya.
"Ngapain lo ama gebetan gue?" tanya Nathan. Matanya memandang Rendra dengan tatapan tak suka.
"Dia berada di tengah-tengah anak tawuran, jadi gue bawa ke sini," jelas Rendra.
Tanpa menjawab Nathan langsung menarik tangan Dinda. Tanpa memedulikan jika di sana semua mata melihat ke arahnya. Menyusuri koridor sekolah, dan halaman tengah sekolah. Bisik-bisik itu tak bisa dihindari, tapi nyatanya yang tak nyaman hanyalah Dinda. Buktinya, Nathan tampak biasa saja.
Setelah sampai di kelas, Nathan mendudukkan Dinda di bangkunya. Sedikit membungkuk, ia mengunci tubuh Dinda. Mata abu-abunya memandang Dinda dengan tajam, semua rasa gemas, dan kesal tampak nyata di sana.
"Elo milik gue, dan nggak ada yang boleh nyentuh lo selain gue, ngerti?!" kata Nathan. Sedikit berbisik namun intonasinya sangat tajam. Setelah mengatakan itu, Nathan pergi, duduk manis di bangkunya sesekali bersin-bersin.
"Woy, Nath! Kita menang lagi dari sekolah sebelah!" teriak Regar. Dia langsung duduk di bangku depan dengan senyuman mengembang. Terlihat jelas dari pelipis Regar tampak memar. Itu berarti jika cowok itu tadi ikut tawuran.
"Elo sakit?" tanya Regar lagi, melihat hidung mancung Nathan memerah, bersamaan dengan bersin-bersin sedari tadi. "Jangan-jangan elo kena ujan, ya?" tebaknya. Nathan mengangguk. "Eh, Nyet, elo tahu sendiri lo nggak kuat ama ujan, ngapain lo ujan-ujanan?" tanya Regar lagi. Tapi, Nathan enggan menjawab.
Dinda baru tahu kalau tubuh Nathan tak kuat dengan air hujan, dan akan langsung sakit jika terkena hujan. Lalu, untuk apa Nathan kemarin repot-repot mengantarnya pulang hujan-junanan?
"Heh, Tan, gue tadi ditanyain ama satpam sekolah, mobil lo, elo tinggal di sini kemarin?" tanya Benny.
Dinda langsung menoleh ke arah Nathan, sementara Nathan masih anteng di tempat duduknya.
"Lupa," Nathan jawab. Seolah semuanya itu adalah hal biasa.
Jadi, kamarin Nathan bawa mobil? Lalu, untuk apa dia hujan-hujanan segala? Bukankah dia bisa naik mobil kemudian pulang? Lagi, Dinda tak mengerti dengan arah pikiran Nathan.
Jam pertam kelas Dinda adalah olahraga, dan di jam olahraga ini kebetulan gurunya tidak bisa hadir. Alhasil, amanat dari guru olahraga adalah, mereka olahraga secara mandiri, namun demikian olahraga tersebut masih bersangkutan dengan tema sesuai dengan apa yang akan diajarkan. Minggu depan ada tes lari dengan jarak 500 meter untuk putri, dan lari 1km untuk putra, dan sekarang anak-anak disuruh untuk pemanasan itu. Setiap anak yang sudah latihan lari akan didata oleh Benny, selaku ketua kelas. Untuk setelahnya, mereka bisa bermain dengan bebas. Tentu, dengan tema olahraga juga tentunya.
Anak-anak sudah berganti seragam olahraga, mereka langsung menuju lapangan basket outdoor yang ada di kanan gedung sekolah, lapangan basket itu cukup luas, setelah dikelilingi pagar besi, di luarnya ada tempat untuk olahraga lari. Tentu, di lapangan sepak bola juga ada. Tapi anak-anak memilih untuk berlatih di lapangan basket. Selain lebih kecil tentunya mereka sekalian bermain basket bersama-sama.