Redita Anjani Laura nama perempuan itu. Dia sedang duduk di sebuah bangku taman. Memandang ke arah taman bunga mawar di belakang halaman rumahnya yang luas.
Netra beningnya memancarkan kekaguman akan ciptaan Tuhan yang satu itu. Ya, dia sangat menyukai bunga mawar. Begitu indah dipandang mata tapi harus ada pengorbanan untuk mendapatkannya. Batangnya yang berduri melindungi kumpulan kelopak bunga itu dari tangan-tangan jahil yang berusaha meraihnya.
Seorang pria tua dengan topi koboy memegang sebuah gunting tanaman dan memetiknya dengan hati-hati. Beberapa bunga yang sudah matang dan sangat cantik berhasil dikumpulkan dan ditaruhnya di sebuah keranjang rotan yang dia pegang.
Redita bangkit berdiri menghampiri pria itu. Sebuah senyuman manis diperlihatkannya kepada Billy–nama sang penjaga taman.
"Pak Billy, boleh aku bantu memetik mawar ini?" tanyanya.
Billy menoleh ke arah Redita. Memandang ke arah anak majikannya itu. "Tidak. Nanti Tuan Besar akan memarahiku jika anda memaksa melakukan pekerjaan ini, Nona," tolaknya halus.
"Hei, ini pekerjaan yang mudah. Aku tahu bagaimana mawar itu sudah siap dipetik. Lagipula aku sering membantu Mama merangkai bunga-bunga itu. Pak Billy tidak usah khawatir," sahut Redita memaksa.
Wanita berusia 27 tahun itu meraih gunting taman dan mulai memotong batang mawar satu persatu. Disentuhnya salah satu batang berduri itu dengan jemari lentiknya yang tidak sengaja melukai jari telunjuknya secara tiba-tiba.
"Aaww!" Redita memekik kencang.
Tet-tet-tet!
Alarm sontak berbunyi. Kamera pengintai mulai mengarah kepada dua orang itu. Tidak lama kemudian tiga orang berpakaian jas serba hitam datang ke halaman belakang dengan tergesa-gesa.
"Apa yang terjadi?" tanya salah satu laki-laki yang dikenal sebagai pimpinan organisasi milik sang Ayah.
Redita menoleh ke arah pria itu. Menyengir sedikit lalu berkata, "Tidak apa-apa, Antony. Aku hanya terkena duri mawar."
"Tidak apa-apa bagaimana? Setitik luka Nona akan menjadi tanggung jawab saya." Antony mengangkat kepalanya angkuh seraya mengeluarkan sebuah senjata dari balik jasnya.
Redita mendorong tangan Antony. Meminta pria itu memasukkan senjatanya kembali ke balik jasnya. "Lupakan! Pak Billy tidak bersalah. Aku yang tidak berhati-hati."
Antony pun mengalah. Dia hanya mengangguk patuh dan mengancam, "Jika Nona Dita terluka akibat duri mawar kembali, aku tidak akan segan-segan menghukummu, Pak Billy!"
Billy menunduk takut akan ancaman Antony. Redita melotot ke arah Antony. "Hei, kau tidak boleh mengancam Pak Billy atau akan aku adukan pada Ayah!" Wanita itu balas mengancam.
Antony terdiam kemudian mendengkus kesal membalik badannya bersama kedua rekannya. Pria kepercayaan Merlin Darmawan–Ayah Redita itu memperlihatkan wajah gusarnya seraya pergi meningggalkan taman bungan mawar itu.
Drrt-drrt-drrt!
Ponsel Dita bergetar. Tertera nama Silvia memanggilnya. Gadis itu segera menjawab telepon dari salah satu sahabatnya itu.
"Ya, Sil. Ada apa?" tanyanya.
"Hari minggu kamu ikut 'kan, Dit?"
"Ikut apa, Sil?"
"Reuni. Reuni SMA. Masa kamu tidak ingat?"
"Ehm .... Tidak tahu. Pasti Ayah tidak akan mengizinkanku untuk pergi. Akhir-akhir ini musuhnya bertambah."
"Bawa saja pengawalmu. Jangan ribet!" sahut Silvia.
"Nanti akan kukabari lagi, Sil."
"Aku tunggu kabar baiknya."
Silvia kemudian menutup teleponnya. Redita melirik jari telunjuknya yang mengeluarkan setitik darah segar di sana. Tanpa ragu mengisap darah itu hingga menghilang dari pandangan matanya.
"Nona muda tidak apa-apa?" tanya Billy cemas.
Redita merentangkan telapak tangannya meminta Billy agar tidak perlu khawatir. Dia kemudian berbalik arah masuk ke dalam rumah.
Langkahnya terhenti ketika Redita bertemu dengan Elena–ibu kandungnya yang menatapnya sedikit tajam. Sebelah tangan sang Ibu dengan sigap meraih tangan sang putri dan memeriksa semua jemarinya. Sementara tangan yang satunya memegang kipas besar yang merupakan senjata andalannya.
"Cari apa sih, Ma?" tanya Redita mengerucutkan mulutnya.
"Mana? Mana yang luka? Kamu terkena duri mawar, 'kan?!" tanyanya panik.
"Sedikit," jawab Redita ragu-ragu.
"Syukurlah. Jika kamu terluka sedikit saja, Pak Billy tidak hanya Mama pecat dari pekerjaannya, tapi juga Mama kirim ke dalam penjara bawah tanah kita seumur hidup!" serunya berapi-api.
"Santai Mam, santai! Aku tidak apa-apa," sahut wanita itu tersenyum. Redita berjalan ke arah dapur mengambil segelas air putih lalu melangkah masuk ke kamar.
Elena yang melihat putrinya tidak terlihat sibuk sontak menoleh dan bertanya setengah berteriak, "Hei, kamu tidak bekerja hari ini, Sayang?"
"Tidak, Ma. Mahasiswa sedang libur semester dan aku sedang cuti di kantor!" ucapnya dari balik pintu.
Redita adalah dosen di sebuah universitas yang juga merangkap bekerja sebagai konsultan keuangan di perusahaan ayahnya. Wanita itu sangat sibuk sehingga tidak ada waktu untuk memiliki seorang kekasih.
Elena memanyunkan bibir bawahnya bersamaan dengan dahinya yang mengerut tidak berkomentar. Membuka kipas besar yang dipegangnya dan mengayunkannya dengan gerakan lambat. padahal hawa di ruangan itu begitu dingin dengan AC sentral yang dipasang sang suami. Wanita paruh baya itu lalu berjalan masuk ke dalam ruang tengah mengerjakan hobinya yang tertunda yaitu merangkai berbagai macam bunga hingga menjadi satu padu dan dipajang di setiap sudut ruangan. Billy memang baru saja memberikan beberapa tangkai bunga mawar yang baru ia petik bersamaan dengan bunga lavender dan lili juga ada beberapa bunga kecil sebagai pemanis rangkaiannya.
Lima belas menit berlalu. Tiba-tiba saja Redita keluar dari kamar sudah berpakaian rapi dan wangi. Wanita itu membawa tas selempang kecil di bahunya. Kaki jenjangnya memakai high heels yang membuatnya bertambah tinggi sekitar lima sentimeter.
Redita berjalan melewati ruang tengah tempat Elena sedang sibuk merangkai bunga. Kepalanya menoleh dan mengintip di depan pintu. Sebuah senyuman tersungging di bibirnya yang tipis.
"Mam, aku pergi dulu!"
Elena sontak menghentikan pekerjaannya sejenak. Menoleh ke arah putri kesayangannya itu. "Kamu mau ke mana, Dita?"
"Shopping dengan Silvia. Baru saja dia mengajakku, Ma. Boleh, ya?" Wajah itu meminta dengan sangat. Membujuk sang Mama dengan penuh harapan.
Akhir-akhir ini, dia memang tidak bisa pergi dengan bebas. Bisnis Merlin Darmawan–Papanya sedang tidak bagus. Merlin mempunyai beberapa bisnis legal di negara Legiland dan beberapa malah ada yang bekerja sama dengan pemerintahan. Tangan dinginnya membuat ia mampu mengelola kekayaan dan sumber daya manusia. Akibatnya, banyak yang mengincar anggota keluarganya untuk sekedar melukai mereka sebagai langkah protes tidak menyukai Merlin. Sayangnya, mereka tidak tahu bahwa Merlin juga adalah seorang pemimpin dari suatu organisasi mafia di negara itu sehingga dia mempunyai pelindung tersendiri atas keselamatan jiwa dirinya dan keluarganya. Mereka adalah anak buah Merlin. Para mafia senior dan junior yang tinggal di lingkungan mansion Merlin.
"Antony akan mengawalmu, Dita!" tegas Elena lalu meraih ponselnya dan memerintahkan Antony untuk ikut pergi bersama dengan putri satu-satunya itu.
Redita mendengkus kesal. Kesenangan pribadinya kembali terusik akan kehadiran anak buah kesayangan papanya lagi. Seorang Antony yang menjadi bodyguard baginya beberapa bulan ini. Hatinya menjerit ingin lepas dari bayang-bayang pengawalan putri seorang mafia.