Redita menatap Antony tidak percaya. Pria itu baru saja membunuh seorang pria dengan senjatanya di depan mata kepalanya sendiri. Sorot mata dingin itu menatap lurus ke depan masih dengan revolver dalam genggamannya. Semua tamu reuni yang hadir memandang ke arahnya dengan pandangan mata penuh ketakutan.
"Antony …," gumam Redita mengucap namanya lirih.
Antony mengerling ke arah Redita. Menurunkan tangannya sembari mengedarkan pandangan. Silvia membelalak menatap pria di depannya tidak percaya. Antony seperti manusia berdarah dingin tidak mempunyai ampun atas siapapun yang berusaha mencelakai nona mudanya.
Praang!
Tiba-tiba terdengar suara pecahan suatu benda. Lampu sorot yang menyoroti tubuh Redita selama acara berdansa tiba-tiba saja pecah. Sebuah timah panas menembus lampu itu hingga membuatnya hancur berkeping-keping. Suasana ballroom berubah mencekam. Tidak ada yang berani bergerak setelah bunyi tembakan ke dua. Gelapnya ruangan menjadi ketakutan tersendiri jikalau ada peluru lain yang menyasar di ruangan itu. Sudah ada dua korban mati akibat senjata yang sengaja ditembakkan.
Seorang petugas hotel mencoba menyalakan lampu utama tapi sayangnya listrik yang mengalir di seluruh bangunan hotel sudah terputus seperti ada yang sengaja ingin mematikannya. Seluruh bangunan itu kini menjadi gelap gulita. Seluruh pasangan yang hadir tampaknya saling memberi pelukan dan kekuatan untuk pasangannya masing-masing.
Sesosok pria berjas hitam dengan topi fedora berbalik arah berlari dengan cepat. Sontak mengayunkan tinjunya memukul wajah Radit spontan. Radit terjajar hingga dua meter ke belakang. Tubuhnya hampir terjatuh. Tautan tangan mereka pun terpisah. Pria itu lalu memegang luka di sudut bibirnya yang mulai berhias oleh bercak darah.
"Radit!" pekik Redita membelalakkan mata melihat Radit yang terluka.
Pekikan Redita terdengar begitu kencang terdengar hingga ke seluruh sudut ruangan. Radit bangkit berdiri sempurna, berhadapan dengan seorang pria dengan pakaian hitam dan masker yang menutup mulutnya.
Radit melangkah maju, membalas pukulan yang ia terima. Kepalan tangannya mengayun menuju wajah sang pria misterius. Sayangnya, pukulan itu meleset. Pria itu berhasil menghindar dengan satu gerakan menangkis dan membalas pukulan Radit tepat mengenai pipi kanannya. Radit tidak tinggal diam, dia balas menonjok hingga mengenai hidung lawannya. Kemudian ia menarik jas hitam pria itu dan menatap dengan geram. Kepalan tangan itu kembali mendarat di pipinya hingga giginya terpental keluar. Lutut Radit menekuk menghantam perut lawannya berkali-kali dan menendang penjahat itu hingga ia terjajar sejauh beberapa meter dan membentur tembok ballroom hotel.
Redita melangkah mendekat hendak membantu Radit. Baru selangkah maju, tiba-tiba saja sebuah lengan kekar memeluk lehernya dari belakang. Wanita itu sontak tertegun dengan bibir yang terkatup. Tangan pria itu mengenggam pisau kecil yang sangat tajam, mengarah langsung ke leher jenjang Redita. Dia membelalak menyadari sebuah ancaman untuk hidupnya. Mata lentiknya melirik ke samping. Hanya udara hangat yang ia rasakan berembus dari napas sang pria misterius lain yang juga memakai sebuah masker di wajahnya.
"Jangan bergerak atau pisau ini akan merobek lehermu!" ancam pria itu berbisik. Suara beratnya terdengar mengerikan. Redita menggigit bibir bawahnya. Perasaan takut tiba-tiba menggelayutinya padahal ia sudah diajari untuk bisa mengendalikan diri dalam situasi apapun berdasarkan teori yang terdapat dalam buku menjadi seorang mafia.
Antony sontak berlari sesaat setelah mendengar pekikan Redita. Mata elangnya sudah terlatih berlari di dalam suasana gelap. Matanya menatap lurus ke arah sosok sang Nona Muda yang berada dalam ancaman.
Radit melangkah mendekati pria bertopi fedora itu. Memastikan pria itu sudah tidak sadar. Wajah pria itu hampir habis tidak bersisa akibat pukulan yang ia terima. Tubuh kekar lawannya pun sudah terduduk lemas tidak berdaya di atas lantai. Mata Radit menyala menatap geram. Dia lalu menendangnya berkali-kali, menyerang tubuhnya tanpa ampun hingga tubuh itu terkapar tidak berdaya dan tidak bergerak.
Mata Radit menoleh ke arah Redita. Pelan-pelan pria misterius lain melangkah menuju pintu ballroom membawa Redita secara paksa. Sesekali pisau itu diarahkannya pada orang-orang yang mencoba mendekat. Dia bersiap pergi sambil terus memeluk leher Redita.
Tiba-tiba Antony muncul dari belakang pria itu. Dia menyentak kerah jas belakangnya hingga tubuhnya ikut tertarik ke belakang. Pisau kecil itu tidak sengaja berhasil menggores kulit terluar leher jenjang Redita. Lukanya menganga dengan darah segar yang mulai mengalir keluar dari sana. Redita membulatkan matanya, menyadari lehernya yang terluka. Dia langsung menyentuh lehernya lalu menemukan cairan berwarna merah di sana.
Antony yang melihat luka itu sontak melotot penuh amarah kepada pria itu. Antony meraih tangannya dan memelintirnya ke belakang. Pisau itu lalu terjatuh. Antony menendang pisau itu jauh-jauh dari sana. Dia memukul bahu pria itu dengan kuat hingga pria itu hampir tersungkur. Pria itu membalik badannya. Bola mata Antony melebar. Pria itu kembali meraih revolver dari balik jasnya dan mengarahkan langsung ke kepala lawannya. Antony hendak menarik pelatuknya tapi tiba-tiba teriakan Redita menghentikan tindakan Antony.
"Tidak! Jangan Antony! Jangan kamu bunuh lagi mereka!"
Antony tidak menjawab. Matanya menyala penuh amarah melihat luka di leher Redita yang berhiaskan darah segar itu. Telunjuknya hendak menarik pelatuk itu kembali. Redita menyadari perkataannya sia-sia saja. Sontak mengangkat kaki jenjangnya, menendang tangan kanan Antony dengan high heels yang masih menempel di sana. Revolver itu pun terlepas dari tangan kekar Antony. Terpental jauh hingga beberapa meter.
Antony menarik tangannya kesakitan akibat tendangan Redita. Pria misterius lawannya itu pun membalik badannya hendak kabur tapi Radit berhasil menghalaunya dengan kaki hingga tersungkur dan terjatuh dengan wajah menghantam lantai terlebih dahulu.
Antony melangkah mendekati pria itu. Melipat kakinya. Tangan kekar itu terulur menjambak kuat rambut lawannya. Otot rahangnya masih mengeras menatap tajam wajah penjahat itu. Bertanya dengan suara baritonnya, "Siapa orang yang menyuruhmu?"
Pria itu bergeming terdiam. Wajahnya terlihat santai tanpa rasa takut. Hanya senyuman seringai yang terlukis di sana. Antony melepaskan cengkeraman tangannya dari rambut berpotongan certain cut itu hingga wajah itu menghantam lantai kembali.
Antony bangkit berdiri. Mengangkat kakinya dan menendang perut samping lawannya tanpa ampun lalu menaruh kakinya di atas kepala pria itu. Menekannya hingga ia berteriak, "Aaarrggh!"
"Katakan! Atau aku akan menghancurkan kepalamu dengan fantofelku!" serunya geram.
Wajah Redita mengernyit melihat sikap Antony. Tampak rasa iba di sana. Dia pun hendak melangkah menghampiri sang bodyguard sambil memegang lehernya yang terluka terkena sayatan pisau. Namun Radit menarik tangan wanita itu, mencegah langkahnya menuju sosok Antony dan penjahat itu. Sontak Redita menengok ke belakang menatap bingung wajah Radit yang tiba-tiba menggelengkan kepala meminta ia tidak ikut campur urusan mereka.
"Tidak, Radit! Antony sudah keterlaluan," tolaknya seraya mendengkus lalu menepis lengan Radit dan meneruskan langkah tanpa memedulikan sekitar, sampai-sampai ia tidak menyadari Silvia yang berjalan menghampiri mereka dengan wajah yang memucat.
"Hentikan, Antony! Dia manusia dan kamu sudah keterlaluan. Bawa saja ia dan interogasi di penjara bawah tanah!" perintahnya.