Kling!
Bunyi pesan WA masuk ke dalam ponsel Redita. Wanita itu mengerjapkan matanya sambil mencari-cari ponsel yang ia letakkan di dekat nakas di samping tempat tidurnya. Tangannya menggapai-gapai mencari benda canggih pipih itu. Akhirnya dia meraih benda itu setelah benar-benar membuka matanya. Pesan dari Radit.
Radit : Pagi, Dita.
Membaca pesan itu membuat jantungnya sontak berdegup kencang. Bagai terkena serangan jantung pagi hari yang harus diobati, cepat-cepat ia membalas pesan itu sebagai obat penawar serangan.
Redita : Pagi, Radit ....
Redita menghentikan ketikannya. Dia ingin bertanya tentang jawaban atas pertanyaannya semalam tapi seketika meragu. Bagaimana jika Radit merasa dia adalah wanita gampangan yang mudah dikencani hanya dengan beberapa kali pertemuan? Oh .... Redita tidak bisa membayangkannya. Mau taruh di mana mukanya? Redita tetap harus menjadi wanita terhormat di hadapan para lelaki. Tapi ... bagaimana dengan ciuman itu? Apa maksud Radit mencium pipinya semalam? Apa hanya sebuah ungkapan selamat malam semata? Bagaimana ini? Redita tidak bisa menyimpulkannya sama sekali. Perasaan pria itu begitu misterius.
Redita pun menyentuh lambang panah untuk mengirim pesan balasan dan langsung terbaca oleh sang empu ponsel. Tidak lama, Radit mengetikkan balasannya dan langsung masuk ke WA Redita.
Radit : Aku ingin bertemu denganmu saat jam makan siang. Bisa?
Redita mengetuk-ngetukkan punggung jemarinya yang tergenggam di atas kasur. Terlihat salah tingkah. Mulutnya menganga dengan senyum bahagia yang terpancar. Namun, segera ditahannya perasaan menggebu itu. Redita pun membalas pesan itu dengan gayanya yang sok cool.
Redita : Bisa, Dit.
Terkirim!
Dan Radit hanya membaca pesan itu. Redita mengerucutkan mulutnya kesal. Pria itu tidak membalas dan memberi tahu di mana mereka akan bertemu siang nanti. Wanita itu segera bangkit dari tempat duduknya berjalan ke kamar mandi.
Redita memandang wajahnya di cermin. Hari ini adalah hari Senin. Dia bersiap berangkat ke kantor dengan semangat yang menggebu setelah Radit mengiriminya pesan itu. Beberapa pakaian telah diacak-acak olehnya di walk in closet miliknya. Dia terlalu bersemangat akan bertemu dengan sang pujaaan hati hingga bingung akan mengenakan pakaian apa. Sampai akhirnya pilihannya jatuh ke sebuah dress berwarna putih susu sepanjang lutut dengan aksesoris sebuah ikat pinggang.
Wajahnya kemudian dihiasi oleh berbagai macam make up yang ia tempelkan dan lipstik berwarna merah muda natural. Dia menyentuh plester luka di lehernya lalu mengaduh sakit seketika. Luka itu ternyata belum sembuh.
Redita mengambil sebuah syal berwarna coklat dari balik lemarinya dan melilitkannya di leher. Dia pun segera berjalan keluar sambil membawa tas kerjanya. Langkahnya terhenti tiba-tiba ketika melihat Antony berada di depan Redita. Sorot matanya yang tajam memandang wanita itu dan menunduk hormat kepada sang Nona Muda.
"Pagi, Nona," sapa Antony.
"Pagi, Antony." Wanita berambut kadru dengan kuncir kuda itu tersenyum hangat kepada Antony tapi hal itu hanya terjadi selama tiga detik. Redita menarik dagunya terkejut, memerhatikan sudut bibir kanan Antony yang samar-samar membiru. "Apa yang terjadi pada wajahmu, Antony? Apa para polisi itu memukul wajahmu?"
"Bukan luka serius, Nona. Akan sembuh dalam sehari," jawab Antony. Dia tidak ingin memberitahu wanita itu kalau yang memukul wajahnya itu adalah Merlin–Ayahnya.
"Baiklah. Bagaimana tidurmu semalam?"
"Nyenyak, Nona," jawabnya berbohong karena dia memang belum tidur sejak semalam. "Bagaimana lukamu, Nona?"
Redita menyentuh lukanya yang tertutup syal coklat seketika, lalu menjawab, "Sudah lebih baik." Mata lentiknya memandang wajah Antony yang terlihat berbeda. "Aku seperti sedang berbicara dengan Antony dari masa lalu. Kamu lebih tampan dari biasanya. Cambang itu sudah hilang dari wajahmu." Seperti biasa Redita selalu menggoda pengawal pribadinya.
"Saya hanya mencukurnya. Menyambut hari baru yang lebih baik dengan wajah yang sedikit berbeda," jawab Antony datar.
"Okay," sahut Redita singkat. Dia pun kembali meneruskan langkahnya menuju ruang makan diikuti oleh Antony dari belakang.
Merlin dan Elena sedang duduk menunggu Redita dan Antony di ruang makan. Redita menarik kursi dan duduk menghadap kedua orang tuanya. Sebuah troli berisi menu makan pagi ini sudah berada di sana dengan beberapa koki yang berdiri di sampingnya.
Antony melangkah mendekati troli tersebut dan mulai mencicipi satu demi satu menu makanan yang telah tersedia. Setelah merasa cukup aman, dia baru memperbolehkan para koki itu untuk menghilangkannya di atas meja. Begitulah kegiatan Antony setiap harinya. Memastikan keluarga Merlin Darmawan bebas dari berbagai ancaman yang akan menyerangnya walau hal itu berasal dari orang-orang di dalam mansionnya sendiri.
"Semuanya aman, Tuan," katanya kepada Merlin.
Merlin mengangguk. Segera memerintahkan para koki untuk menghidangkan semua menu yang ada. Antony berdiri di dekat meja makan, menjaga situasi tetap tenang dan kondusif.
Sebagai salah satu anggota mafia, dia sudah makan terlebih dahulu. Seperti biasa setiap pagi-pagi sekali koki mansion sudah memberi makan pagi terlebih dahulu dibandingkan keluarga Merlin sendiri. Tentu saja dengan menu yang berbeda. Itu pun sarapan bersama para anggota mafia lainnya di sebuah ruang makan khusus untuk mereka, yaitu sekitar lima puluh orang mafia junior dan tiga orang mafia senior seperti Antony, Aron, dan Martin.
Merlin melirik ke arah Redita dengan setengah senyuman, berkata, "Dita, kamu sudah pandai menyembunyikan sesuatu dari Ayah, ya?"
Sontak Dita menoleh ke arah Merlin dengan bola mata melebar. "Maksud Ayah?"
"Buka syalmu!" perintah Merlin.
Dita memegang syalnya seketika lalu mengerlingkan matanya kepada Antony berharap pria itu membantunya berbohong tapi hal itu tidak mungkin terjadi. Redita pun membuka syalnya dan memperlihatkan luka di lehernya itu.
"Astaga! Lehermu kenapa, Dita?" tanya Elena terkejut. Elena segera bangkit dari duduknya menghampiri sang putri.
"Tidak sengaja tergores saat melawan para teroris itu, Mam," jawab Redita pelan.
Elena mengarahkan pandangannya kepada Antony dengan wajah marah. Ia sontak mengibaskan kipasnya di depan Antony, bersiap untuk memberikan pria itu pelajaran tapi Merlin langsung mencegahnya dan berkata, "Istriku, aku sudah menghajar Antony semalam. Jangan kamu marahi dia lagi karena dia sudah mengaku salah."
Elena menurunkan tangannya. Memerhatikan sudut bibir kanan pria itu. "Sepertinya suamiku sudah cukup keras memberikan pelajaran kepadamu, Antony."
"Maafkan saya, Nyonya." Antony membungkuk meminta maaf.
Redita sontak menengok ke arah Antony. Mengigit bibir bawahnya, cemas. Dia baru saja menyadari alasan Antony tidak memberitahu tentang luka lebamnya yang diakibatkan oleh pukulan Merlin.
"Lain kali aku sendiri yang akan mengirimmu ke penjara bawah tanah jika terjadi sesuatu kepada putriku lagi!" ancam Elena.
Antony hanya membungkuk sekali lagi. Mengiyakan apa pun yang dikatakan Elena. Pandangan mata itu lurus ke depan menatap mata Elena yang menyala. Dia sama sekali tidak melirik ke arah Redita yang mencemaskannya.
"Mam, sudahlah jangan membesar-besarkan masalah ini. Ini hanya kecelakaan kecil yang tidak disengaja. Antony juga sudah menolongku dari penjahat itu," belas Redita.
Elena pun terdiam tidak menanggapi perkataan putrinya. Ia lalu kembali duduk ke meja makan. Merlin hanya menggeleng pelan melihat sikap Elena yang kadang lebih menyeramkan dibandingkan dengannya jika menyangkut hal negatif yang berhubungan dengan anak-anak mereka. Ritual makan pagi pun berlanjut dengan tenang setelahnya.