Chereads / Menikahi Putri Mafia / Chapter 9 - Tempat Pengasingan?

Chapter 9 - Tempat Pengasingan?

"Redita Anjani Laura!" panggil Elena.

Langkah gemulai itu terhenti selaras dengan suara ketukan high heels yang juga ikut terhenti.Redita menengok ke belakang. Matanya membulat sempurna, menyadari kedua orang tuanya sedang duduk seraya melipat kedua tangan mereka begitu kompaknya. Elena dan Merlin memadang wajahnya serius. Senyum pasta gigi ia lukiskan di wajahnya yang cantik. Takut jika Merlin dan Elena marah akibat ketidakacuhannya.

"He-em. Ada Ayah dan Mama di sini rupanya!" Kedua alis itu terangkat menampakkan rasa terkejut.

"Kelihatannya kamu sedang sangat bergembira, Anakku. Ada apakah gerangan?" tanya Merlin penasaran. Tidak biasanya Redita tampak bergembira seperti itu.

"Tidak apa, Ayah," jawab Redita datar.

"Loh, Antony di mana, Sayang?" tanya Merlin seraya menolehkan lehernya mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan mencari Antony.

Redita tidak menjawab. Bibir itu terkatup ragu memberitahu Merlin mengenai keberadaan Antony. Elena hanya diam mengamati pembicaraan Ayah dan anak itu.

"Redita ...." Merlin memanggil putrinya sekali lagi. Memaksa Redita untuk berbicara.

Redita menelan ludahnya kemudian menjawab pertanyaan Merlin dengan raut wajah datar, "Antony ditangkap petugas kepolisian, Yah. Dia dianggap sebagai salah satu anggota aksi teror di acara reuniku dan dia telah membunuh salah satu penjahat aksi teror tersebut untuk melindungiku."

Merlin menggeleng pelan lalu nenghela napas berat. Sebelumnya, ia sudah memerintahkan Antony untuk cepat-cepat meninggalkan acara itu bersama Redita. Sesaat sebelum aksi teror itu terjadi, ia terlebih dahulu sudah mendapatkan informasi dari Aron–intel mafia sekaligus anggota pengawalan keluarganya. Aron mengatakan akan terjadi teror dan kekacauan di acara reuni sekolah dengan target utama Redita–putrinya. Namun sepertinya terlambat, Antony tidak membawa Redita kembali ke mansion dan malah terlanjur mengeluarkan revolvernya untuk membunuh karena berusaha mencelakai Redita.

"Kamu tidak menunjukkan rasa simpatimu kepada Antony sama sekali padahal ia sudah sering menyelamatkan nyawamu, Dita," tanggap Elena tidak suka dengan air muka Redita yang tampak biasa saja.

"Tidak, Ma. Tentu saja aku sangat menyesalinya, tapi Antony meyakinkanku kalau ia akan segera pulang, bebas dari para petugas kepolisian," sanggah Redita.

Merlin terdiam kemudian mengambil cerutunya dari balik kantung jaket kulit yang ia kenakan. Pria berusia lima puluh tahunan itu mulai menyalakan cerutunya dibantu oleh Elena, menggunakan pemantik kecil yang ia ambil dari laci meja kecil di sampingnya.

"Terima kasih, Sayang," ucap Merlin tersenyum.

"Dengan senang hati, Sayangku." Elena balas menyunggingkan senyuman manis.

Cerutu itu mulai nyala oleh bara api. Merlin mengisapnya pelan, lalu mengembuskannya hingga membentuk gumpalan asap tebal. Ia tidak peduli dengan AC sentral di ruangan yang tentu saja akan mengedarkan udara hasil pembakaran tembakau dari cerutunya.

"Dita, Ayah rasa sudah saatnya kami mengasingkanmu ke suatu tempat. Posisimu di kota Little Heaven ini sudah mulai tidak aman. Dengan adanya bukti percobaan pembunuhan yang terjadi tadi di Hotel Lovely."

"Mengasingkan? Maksud Ayah apa?" tanya Redita dengan mata membelalak terkejut.

Merlin menoleh wajah cantik Elena, memintanya untuk ikut berbicara. Elena pun mengangguk pelan, begitu tampak yakin. Sang Mama menatap Redita dengan tatapan yang tidak seperti biasa.

"Apa yang dikatakan Ayahmu benar, Dita. Mengingat musuh Ayahmu begitu banyak, sebaiknya kami mengasingkanmu untuk hidup di suatu tempat sementara waktu hingga kondisi di kota ini aman dan kamu bisa kembali lagi ke sini pada akhirnya," jawab Elena.

Redita menarik napas dalam-dalam dan membuangnya kasar penuh kekesalan. Tanpa menjawab, wanita itu meneruskan langkahnya masuk ke dalam kamar dihiasi dengan hentakan high heels yang begitu kuat terdengar.

"Dita! Redita!" Elena memanggil putri bungsunya tapi ia tidak menghiraukannya. Wanita itu tetap berlalu pergi.

Merlin mengatupkan mulutnya tidak berkomentar. Dahinya yang menua itu tampak berkerut. Dia kembali mengisap cerutunya santai.

"Merlin, kamu akan diam saja melihat tingkah putrimu seperti itu?" Elena menoleh ke arah sang suami.

Merlin melepas cerutu dari bibirnya dan mengembuskan asap tebal di wajah sang istri sambil terkekeh. Sosok suami itu tampak ingin bermain-main dengan istrinya. Elena mengibaskan tangannya berkali-kali, mengusir asap untuk pergi ke segala arah.

"Aku sedang serius dan kau malah bercanda, Merlin. Sial! Tidak sayangkah kau dengan putrimu?!" umpatnya kesal.

Merlin terdiam sejenak lalu berkata, "Sayangku, biarkan saja Redita seperti itu sementara. Sebenarnya aku juga mengkhawatirkan putriku. Namun, saat ini aku harus mengurus kebebasan Antony. Jika ia sudah bebas, kita akan segera mencari tempat yang bagus untuk mereka pergi mengasingkan diri dari Legiland."

"Antony? Kau bercanda, Merlin! Anak kita sudah dewasa dan kau menaruh perhatian besar kepada pengawalnya. Bukannya aku tidak setuju Antony mengikuti Redita ke mana pun ia pergi tapi jika mereka pergi hanya berdua, tidakkah kau pikir suatu saat akan timbul rasa cinta di antara keduanya? Tidak ... tidak .... Aku tidak bisa membayangkan itu semua terjadi. Sosok Radit yang belum lama dekat dengan putri kita tampaknya lebih pantas mendampingi Redita. Lebih baik kita menikahkan ia dengan Radit secepatnya agar ia bisa melindungi Redita." Elena mulai mendebat sang suami.

"Aku belum memikirkan tentang pernikahan Redita dengan siapa pun, Sayang. Bagiku dia masih balita yang harus dijaga kesuciannya sampai ada yang berani melawanku untuk mengambil hati dan tubuhnya," sahut Merlin sambil mengangkat kedua sudut bibirnya. "Aku akan menugaskan Aron untuk ikut bersama mereka di tempat pengasingan. Dengan begitu, tidak akan ada tumbuh perasaan lain di antara Antony dan Redita. Perasaan mereka hanya sebatas pengawal dan nona. Begitupun caraku mendidik Antony sedari kecil. Dia tidak akan berani melakukan hal macam-macam terhadap putri kita."

"Baiklah. Tapi kau harus ingat, usianya sudah matang untuk menikah, Sayang," sanggah Elena sedikit merajuk gemas pada sang suami. Bibirnya mencibir tampak seperti anak kecil yang minta dibelikan permen olehnya.

Merlin menaruh cerutunya di atas sebuah asbak. Dia lalu mendekatkan wajah tampannya yang sudah menua kepada Elena dan mulai mencium penuh kehangatan pada bibir istrinya yang seksi. Bibir tipis dengan lipstik merah menggoda. Elena memang masih cantik walau usianya sudah menginjak empat puluh delapan tahun.

Elena membalas ciuman Merlin tidak kalah hangatnya. Mengulumnya penuh kelembutan. Ya, permen yang manis memang berada di sana. Rasanya tidak benar-benar seperti permen. Namun, mampu mencairkan rasa pahit di hatinya yang begitu mencemaskan Redita, putri mereka. Tidak lama kemudian, ciuman mereka pun usai. Merlin memandang penuh cinta kepada Elena.

"Yang terpenting saat ini, ia pergi dari Legiland dan aku akan membereskan musuh-musuhku di sini terlebih dahulu. Martin nanti akan membantuku tentunya. Kita terlalu sulit membedakan yang mana domba dan yang mana serigala, sedangkan mereka berada di sekitar kita, Sayang," jelas Merlin tegas.

"Aku percaya padamu dengan segenap hatiku, Merlin," sahut Elena kemudian mencium bibir Merlin sekali lagi.

Mereka bangkit dari atas sofa tanpa melepaskan ciuman mereka. Merlin meraih pinggang Elena dan mengajaknya beranjak pergi ke kamar meneruskan romantisme di antara keduanya. Usia boleh menua, tapi cinta mereka tidak akan pernah luntur sedikit pun.