Redita bercermin di meja riasnya. Luka di leher itu kini sudah tertutup dengan plester berwarna nude senada dengan kulitnya. Rasa sakit sudah mereda namun ia sangat takut jika Elena dan Merlin mengetahui ada luka di salah satu anggota bagian tubuh putrinya. Tiba-tiba Redita teringat Antony yang saat ini masih berada di kantor polisi kota Little Heaven dan belum juga pulang ke mansion.
"Hah .... Antony kapan pulang? Dia bilang kalau dia hanya sebentar ikut para petugas kepolisian itu," gumamnya bertanya kepada dirinya sendiri.
Wanita itu pun bangkit dari duduknya lalu merebahkan tubuhnya di atas kasur. Mencoba memejamkan matanya yang belum juga mengantuk tapi ia paksa untuk bisa terpejam.
Detik demi detik berlalu. Redita tidak sadar sudah berapa lama ia menggeliat dan menggulingkan tubuhnya ke kanan dan kiri. Rasanya sudah lama sekali ia berada di sana tapi matanya tidak juga bisa dipejamkan.
Malam ini masalah begitu banyak mampir dalam benaknya. Elena dan Merlin juga membuatnya tidak tenang hingga ia pikir mungkin saja dia akan segera mati karena nyawanya memang sedang diincar oleh sekelompok orang yang tidak suka dengan ayahnya atau organisasi mafia milik ayahnya.
Jantungnya terus berdebar dengan kencang memikirkan andai tiba-tiba saja dia diungsikan ke tempat asing yang ia pun tidak tahu di mana tempat itu. Wanita itu segera menarik tubuhnya duduk di atas tempat tidur. Suara bising mobil yang masuk ke dalam gerbang mansion mengagetkannya.
Redita beranjak dari duduknya berjalan menuju balkon kamar. Matanya melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul dua pagi. Mobil sedan hitam milik keluarga Merlin masuk ke dalam halaman mansion. Dua orang pria bertubuh tegap turun dari mobil. Aron dan Antony.
Sontak wanita itu memanggil Antony dengan suara setengah berteriak. Antony mendongak ke arah balkon kamar Redita. Wanita cantik dengan rambut berwarna kadru tergerai berdiri di sana menunjukkan senyuman kecil kepadanya seraya melambaikan tangan.
Antony membalas wanita itu dengan senyuman tipis dan ikut melambai pelan. Aron ikut mendongak dan melambaikan tangannya. Dia tidak ingin menyia-nyiakan lambaian tangan wanita cantik yang dikagumi oleh seluruh anggota organisasi mafia Merlin. Senyum Aron mengembang, memperlihatkan gigi serinya yang putih bersih. Dia melirik Antony yang hanya memandang wanita cantik itu tanpa ekspresi selain senyum senilai tiga detik di bibirnya yang berwarna alami merah muda.
Redita menurunkan lambaian tangannya saat melihat sang Ayah berjalan menghampiri Aron dan Antony masih mengenakan piyama kimono. Kepala Merlin ikut mendongak ke arah balkon kamar Redita. Tampak penasaran apa yang sedang kedua anak buahnya lambaikan di balkon tersebut. Namun, dia tidak menemukan siapa-siapa di sana. Redita telah menghilang secepat kilat dari balkon kamar itu. Masuk kembali ke dalam kamar dengan langkah secepat kilat.
Degup jantungnya berdebar kencang tidak karuan. Seperti seorang anak yang takut akan kemarahan sang Ayah, begitupun Merlin juga pasti akan memarahinya, jika ia tahu putrinya itu belum juga tidur sudah lewat tengah malam.
"Untung saja Ayah tidak melihatku," ucapnya dengan napas tidak teratur.
Segera, ia merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Mau tidak mau, dia harus tidur saat itu juga. Antony pun sudah pulang ke mansion dengan selamat hingga membuat dirinya lebih tenang dan tidak memikirkan keselamatan Antony lagi.
***
Merlin memandang wajah kedua anak buahnya dengan tatapan heran. Tidak ada orang di atas balkon kamar putrinya dan mereka malah melambai-lambaikan tangannya ke arah sana.
"Kalian sedang melambaikan tangan kepada siapa?" tanyanya dengan tegas.
"Ti-tidak ada, Tuan Merlin. Hanya sedang olahraga menggerakkan tangan saja," jawab Aron asal sambil menaikturunkan kedua tangannya bergantian. Terlihat seperti seseorang yang sedang berolahraga.
Merlin tidak langsung percaya begitu saja. Dia menoleh ke arah Antony. Menatap anak buah satunya itu sambil mengangkat sebelah alisnya. Berharap mendapatkan jawaban yang sebenarnya.
"Saya tadi melihat Redita keluar kamar dan melambai ke arah kami. Jadi kami membalasnya," jawab Antony. Dia tidak pernah berbohong akan hal apa pun.
Mulut Merlin mengerucut. Menganggukkan kepalanya mengerti. Sontak, pria tua itu menoleh tajam ke arah Aron.
"Gajimu saya potong dua puluh persen karena kamu telah membohongi saya, Aron," ucap Merlin.
Bola mata Aron membulat, begitu terkejut mendengar perkataan Merlin. Aron mendengkus kesal karena Antony tidak membelanya dan malah berkata jujur kepada Merlin.
"Bukan teman. Huh!" gumamnya sangat lirih.
Telinga Merlin tidak bisa dibohongi. Masih bisa mendengar suara lirih Aron walau sangat pelan terdengar. "Kalian jangan coba-coba membohongi saya," kata Merlin lagi.
"Ya, Tuan," sahut mereka berbarengan.
Antony menjadi tidak enak terhadap temannya. Dia pun mencoba membela Aron dan meminta keringanan hukuman dengan berani. "Tuan Merlin, apa tidak berlebihan memotong gaji Aron?"
Merlin menunjukkan setengah senyumnya. Menatap Antony dan Aron secara bergantian. "Antony, kamu tidak perlu membela Aron karena telah berbohong kepada saya. Berbohong tetaplah berbohong, dan hal itu sudah melanggar kode etik menjadi seorang mafia."
Mereka pun terdiam karena menyadari kesalahan mereka. Berbohong memang merupakan sebuah pelanggaran bersikap dalam kode etik organisasi mafia Merlin. Sanksi yang paling ringan dikenakan adalah pemotongan gaji sebanyak dua puluh persen. Mafia tetaplah mafia. Konsekuensinya juga ikut aturan mafia.
"Ya, Tuan. Maafkan saya." Aron membungkuk hormat.
"Saya juga telah bersalah membiarkan Nona Redita terluka malam tadi di acara reuni," sahut Antony.
"Terluka? Bagaimana bisa?" Mata Merlin sedikit menajam menatap Antony.
"Saya telah salah membiarkan leher Redita terkena sayatan pisau dari salah satu penjahat teror itu," ucap Antony menunduk merasa bersalah.
Bugh!
Tiba-tiba sebuah tonjokan mendarat di wajah Antony. Merlin menonjok pria itu dengan sekali pukulan. Membuat Antony terjajar setengah meter tapi dia tidak membalas Merlin. Aron yang melihatnya hanya bisa diam mematung. Dia sangat paham bila Merlin sedang sangat marah dan Aron tidak berani membela temannya. Jika tidak, mungkin saja dia yang akan menjadi sasaran Merlin.
Merlin menarik kerah baju Antony dan memelototinya dengan mata yang menyala dengan amarah. Jarak wajah mereka kini sangat dekat, hanya sekitar lima belas sentimeter. "Kamu sudah saya didik dengan baik, Antony. Mengapa kamu biarkan orang itu berhasil merobek kulit mulus putri saya?!" serunya.
Antony tidak menjawab. Dia sangat mengenal Ayah Redita itu. Saat ini Merlin tidak butuh jawaban. Dia hanya ingin melampiaskan kemarahannya.
"Jawab!" tegas Merlin.
"Saya salah," sahut Antony menelan ludahnya.
"Mengapa kamu berani keluar dari kantor polisi, kalau kamu sendiri tidak bisa melindungi Redita?!" seru Merlin lagi.
Antony tidak menjawab lagi. Dia menatap Merlin dengan tatapan penuh penyesalan. Napas hangat dari hidung Merlin mulai terasa sangat cepat terasa tidak beraturan.
"Tuan Judy yang menjamin Antony di kantor polisi, Tuan," sela Aron sambil menelan ludahnya. Dia tidak tega melihat Antony yang mungkin akan menjadi korban dari pukulan dan tendangan Merlin selanjutnya. Seketika Merlin pun melemaskan cengkeraman kerah baju Antony dan menurunkan tangannya.
"Judy Wira Smith," desisnya gemas menahan kesal.