Antony dan Redita masuk ke dalam mobil. Pengawal Ayahnya itu mengambil alih kemudi mobil. Seperti apa kata Elena, dia ditugaskan untuk mengawal sang putri. Pria berusia tiga puluh lima tahun itu meraih setirnya dan mulai melaju dengan kecepatan sedang meninggalkan mansion Merlin.
Redita yang duduk di jok belakang mobil melirik tajam Antony terlihat tidak suka. Bibir mungilnya mengerucut. Merajuk. Antony yang menyadari Nona mudanya merajuk dari kaca spion tengah hanya bisa menunjukkan setengah senyuman. Wanita cantik itu sudah terbiasa melakukan hal itu di depannya.
"Sampai kapan bibirmu itu akan mengerucut, Nona?" tanyanya.
"Sampai kau turun dan meninggalkanku sendiri. Aku tidak suka dikawal, Antony," jawab Redita.
"Sayangnya itu hanyalah mimpi. Musuh Ayah anda sangat banyak. Kami tidak akan memberikan celah sekecil apa pun untuk menyakiti Nona," jelas Antony mantap.
"Terserah! Aku tidak peduli dengan aturan Ayah. Lagi pula aku sudah diajari beladiri sejak kecil tapi dia tidak pernah percaya padaku. Hei, Antony! Apa kau juga tidak percaya pada kemampuan beladiriku?" tanya Redita melirik Antony sekali lagi.
Antony terdiam tidak menjawab. Pria itu hanya menaikkan sebelah alisnya. Kemudian melirik Nona mudanya kembali. "Percaya."
Jawaban singkat Antony membuat Redita bernapas panjang. "Kau selalu seperti itu. Selalu menjawab sekenanya. Dasar Antony sialan! Kalau memang kau percaya akan kemampuan beladiriku, seharusnya kau melepaskanku pergi sendiri."
"Ha-ha-ha." Anthony hanya tertawa.
"Cih, aku benci responmu yang seperti itu." Redita melipat kedua tangannya di atas dada.
"Nona, jika memang itu adalah perintah dari Nyonya besar, bisakah saya menolaknya?" sahut Antony balik bertanya.
Gantian Redita yang terdiam. Perkataan Antony tidak salah. Dia memang bekerja untuk keluarganya. Keluarga seorang mafia.
Setengah jam kemudian, mobil sedan berwarna hitam itu berhenti di lobi sebuah mall. Redita keluar dari pintu mobil lalu melangkah masuk ke dalam lobi. Sedangkan Antony terus melaju ke area parkir dan menyusul Redita setelahnya.
"Dit!" Suara seorang wanita terdengar di telinga Redita. Dia segera menoleh dan mendapati Silvia sudah berdiri di hadapan wanita cantik itu.
"Hei, Sil!" balas Redita.
"Antony mana, Dit?" tanya Silvia.
"Parkir dulu." Kening Redita mengerut. Tidak biasanya Silvia menanyakan keberadaan Antony.
"Kenapa?" sahut Redita tersenyum meledek.
"Ganteng." Mata Silvia tampak berbinar membicarakan Antony.
"Ck ...." Redita berdecak kesal. "Ayo!" Tangan Redita meraih tangan Silvia mengajak berjalan ke arah departement store.
Ponsel Redita berbunyi, Antony meneleponnya. Wanita itu segera mengangkat panggilannya.
"Di mana?" tanya Antony singkat.
"Di hatimu," seloroh Redita terkekeh.
"Saya serius, Nona."
"Aku pun serius. Bukankah aku selalu ada di hatimu? Ke mana pun aku pergi, kau selalu mengekorku, Antony. Lacaklah GPS-mu dan kau akau menemukanku," jelas Redita terkekeh. Wanita itu segera memutus panggilannya.
"Sampai rambutnya rontok dan botak, dia tidak akan bisa melacakku dengan GPS-nya karena sudah kumatikan sejak turun dari mobil," katanya dalam hati sambil tersenyum penuh arti.
Silvia yang melihatnya hanya menggeleng. Terkadang sahabatnya itu memang suka tersenyum-senyum sendiri entah memikirkan apa.
Langkah kedua wanita itu terhenti pada barisan pakaian yang digantung di dekatnya. Pakaian santai dengan warna yang mencolok begitu memikat hati. Memang, musim panas masih lama datangnya karena sekarang Legiland sedang berada pada musim gugur. Namun apa salahnya membeli pakaian musim panas di musim gugur?Para wanita bahkan tidak keberatan untuk memborong barang-barang yang mereka sukai. Begitupun Redita, dia akan senang hati mengenakan pakaian itu saat berlibur ke pantai di musim yang tepat.
"Wah, ini bagus sekali!" pekiknya tersenyum mengembang.
"Iya. Pakaian musim panas itu sangat cocok untukmu. Tapi sekarang 'kan musim gugur, ya?" Silvia mengingatkan Redita.
"Tidak apalah. Aku bisa mengenakannya nanti saat musim panas," jawabnya tersenyum.
"Terserah kamu, Dit," sahut Silvia.
Redita meraih salah satu pakaian model dress feminin tanpa lengan dengan panjang mengatung sampai dengan lutut berwarna kuning mencolok. Dia pun segera masuk ke kamar pas dan memantaskan dirinya di depan cermin. Sambil tersenyum cantik menikmati indahnya ukiran Tuhan di pantulan itu.
Sejurus kemudian, dia keluar dari kamar pas hendak bertanya kepada Silvia apakah pakaian itu cocok untuknya.
"Sil, aku co–" Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, matanya berpapasan dengan sorot tajam mata lelaki yang tadi meneleponnya. Sedangkan Silvia berdiri di samping Antony dengan segaris senyum paksa.
Dengan cepat, Redita segera menutup kamar pas itu kembali. Mulutnya mengerucut kesal. Antony ternyata dapat menemukannya hanya dalam waktu beberapa menit. Sosok itu sudah terlalu mengenal dirinya. Lelaki dingin yang sering membuatnya kesal setengah mati.
Antony memang pengawal sekaligus mafia senior di dalam keluarga Ayahnya. Sebenarnya garis keturunan mereka masih ada ikatan saudara tapi merupakan saudara jauh. Merlin mengangkatnya menjadi anak asuh saat tidak ada lagi sanak saudara yang bisa mengurus anak lelaki sebatang kara berumur lima tahun saat itu. Dia melatihnya dan menjadikan ia sebagai anggota mafia terbaiknya dan mengawal Redita selama tujuh tahun belakangan ini.
Tok-tok-tok!
Ketukan pintu kamar pas itu terdengar. Redita segera mengganti pakaiannya dan keluar dengan wajah bersungut-sungut kesal.
Antony meraih tangan Redita dan membawanya masuk ke dalam kamar ganti, hanya berdua. Dia menatap geram wajah wanita itu. Redita sering sekali mempermainkannya.
"Nona sudah membuat saya kesal. Anda seharusnya tidak mempermainkan saya! Saya seperti ini karena perintah dan balas budi saya kepada Tuan Merlin. Harap digarisbawahi, jika Nona mempermainkan saya lagi, saya tidak akan segan-segan melapor pada Tuan Merlin. Dan Nona akan tahu akibatnya!" ancam Antony bersungguh-sungguh.
"Laporkan saja jika kau berani!" Redita menantang bodyguard-nya itu.
Wajah mereka sangat dekat hingga berjarak hanya lima sentimeter. Antony melengos tidak ingin menatap Nona mudanya.
"Kau tidak akan berani melapor pada Ayahku, bukan?" Mata lentik itu terus memandang wajah tampan Antony.
Tangan pria itu segera memegang bahu Redita. Menjauhkan dirinya dari wanita itu.
"Saya tidak suka anda mendekat lagi seperti tadi," katanya dingin.
"Okay. Aku pegang kata-katamu." Redita segera membuka pintu kamar pas dan keluar seraya memeluk pakaian yang ingin dibelinya.
Antony bernapas panjang melihat Redita dan Silvia. Pria itu pun mengekor mereka dari belakang.
Jika mengikuti wanita berbelanja, maka kau akan tahu limit kekuatan wanita itu. Begitupun dengan Antony yang mengikuti aktivitas mereka di dalam mall. Redita dan Silvia mengajak sang bodyguard menonton dan makan malam bersama.
Sesekali sorot mata elang Antony beredar mengintai ke segala penjuru. Dia tidak akan membiarkan Redita disentuh sedikit pun.
"Makan saja, Antony! Tidak ada seorang pun yang akan menyakitiku malam ini. Kau tenang saja," ucap Redita menenangkan. Namun Antony tidak mengindahkannya.
Tanpa aba-aba, Redita meraih sepotong daging tipis yang baru saja matang setelah ia panggang dengan sumpitnya lalu memasukkannya ke dalam mulut Antony secara tiba-tiba. Sontak Antony meringis kepanasan. Dia meraih segelas air putih untuk meredakan panas di lidahnya.
Redita dan Silvia sontak tertawa melihat tingkah Antony. Redita memang sengaja mengerjainya. Antony berdecak kesal. Menatap wajah dua orang wanita yang sedang tertawa itu dengan geram.
"Cih!"
Tiba-tiba saja ....
Dor!
Suara tembakan terdengar hebat menembus kulit lengan Antony dengan mulusnya. Antony sontak memegang lengannya kesakitan. Matanya melihat sekeliling. Seorang pria mencurigakan berbalik arah pergi berlari entah ke mana.