Antony sontak bangkit hendak mengejar orang itu. Dia tidak menghiraukan rasa sakit akibat peluru yang menyenggol lengannya. Tembakan yang berasal dari senapan revolver itu hanya membuatnya sedikit cedera. Peluru terjatuh ke lantai menimbulkan bunyi yang lumayan keras sehingga mata semua orang mengarah pada meja mereka.
"Antony, kau mau ke mana?!" Redita berteriak bertanya kepada bodyguard-nya. Namun Antony tidak menjawab, malah berlari mengejar orang itu.
Redita bernapas panjang. Matanya menukik ke lantai. Peluru itu terjatuh di dekat meja pengunjung restoran lainnya. Silvia yang melihat kejadian itu hanya terdiam seribu bahasa. Dia begitu terkejut menyaksikan kejadian itu di depan matanya.
"Pasti dia akan mengejarnya sampai dapat," keluh Redita.
Silvia menoleh menatap wanita itu. "Dit, kita pulang saja sekarang. Aku takut akan ada tembakan lain yang menyasar," ajak Silvia.
Redita balas menatap sahabatnya tapi dia bergeming tidak mengacuhkan perkataan Silvia.
"Dit!" Silvia memanggil Redita kembali.
"Tunggu sebentar lagi, Sil. Antony akan kembali. Aku khawatir terjadi sesuatu padanya," balas Redita.
Wanita itu mengambil ponselnya dari dalam tas dan menghubungi seseorang. "Yah, Antony kena tembak," lapornya yang ternyata adalah Merlin–ayahnya.
"Kamu di mana, Sayang?" tanya Merlin.
"Di mall X, Yah."
"Oke. Ayah akan menyuruh Aron untuk mengawalmu dan menyuruh Martin mencari Antony untuk membantunya menghajar orang itu!" Merlin lalu memutuskan panggilan.
Redita berdecak kesal. Ayahnya itu memang sangat menyebalkan. Dia lalu menghubungi Ayahnya kembali. Telepon itu tidak diangkat. Wanita itu lalu menulis pesan whatsapp kepada Ayahnya.
Redita : Ayah tidak usah menyuruh Aron menyusulku ke mall. Aku bisa jaga diri dengan kemampuan bela diriku yang mumpuni. Bahkan aku membawa pistol di dalam tasku.
Sent!
Tidak lama pesan dari Merlin datang.
Ayah Merlin : Katakan hal itu jika kamu bukan putri seorang mafia paling berkuasa di negara ini!
Redita menarik napas dalam-dalam dan membuangnya kasar. Amarahnya menggebu. Dua puluh tujuh tahun hidup sebagai anak mafia yang mendapat pengawalan begitu ketat membuatnya tidak bisa bebas melangkah ke mana-mana. Bahkan untuk sekedar mengenal lawan jenis dan berpacaran. Hatinya menjadi sepi karena tidak ada yang mengisi. Sungguh malang nasibnya. Seorang jomblo sejati.
"Kamu kenapa, Dit?" Silvia memegang pundak Redita sehingga membuyarkan sedikit lamunan kemarahannya.
"Sil, kita pulang!" tegasnya.
"Ayo! Dari tadi aku mengajakmu pulang tapi kamu tidak mau," sahut Silvia mengangkat kedua sudut bibirnya terkekeh.
"Ayo! Sekarang aku mau!" Redita bangkit duduknya disusul Silvia yang juga bangkit berdiri.
Mereka berjalan ke arah area parkir mobil dan berpisah ke masing-masing mobil di sana. Kedua wanita itu saling berpelukan dan mencium pipi kanan dan kiri tanda perpisahan.
"Jangan kapok ke mall denganku, Sil," ucap Redita berbisik.
"Iya. Jangan lupa reuni. Aku akan menjemputmu mau atau tidak mau nantinya. Pokoknya kamu harus ikut!" Silvia mengingatkan sahabatnya kembali.
"Okay." Jawaban singkat yang keluar dari mulut Redita membuat senyum mengembang di wajah Silvia. Akhirnya wanita itu mau ikut ke acara reuni bersamanya.
"Tapi kamu jangan membawa Antony, Dit."
Redita mengernyit bingung. Kenapa dia dilarang untuk membawa pengawalnya itu. "Kenapa?"
"Karena aku tidak rela orang-orang akan menganggap dia sebagai kekasihmu."
"Haish .... Pikiranmu picik sekali." Redita tertawa. "Aku akan menyembunyikannya nanti di bawah ketiak," katanya lagi seraya tertawa.
Silvia pun ikut tertawa. Mereka kemudian berpisah berjalan menuju mobilnya masing-masing.
Redita membuka tas kecil dan merogoh mencari kunci mobilnya. Kepalanya menunduk mencari dengan seksama tapi tidak ada kunci itu sama sekali. Dia tiba-tiba teringat kalau kunci itu ada bersama Antony. Pria itu memasukkan kunci itu ke dalam saku celananya.
"Menyusahkan saja!" Kepala Redita mendongak dan melihat mobilnya sudah tidak ada. Dia menggeleng pelan. "Pasti Antony yang membawanya untuk mengejar penjahat itu."
Wanita itu menengok kanan dan kirinya, berharap Silvia belum keluar dari parkiran. Namun, mobil sedan merahnya sudah tidak terlihat. Ya, dia sudah pergi lebih dulu.
Redita membalik badannya. Melangkah panjang hendak kembali ke lobi mall dan memesan taksi di sana. Sebuah mobil MPV berhenti di depannya. Kaca jendela mobil itu terbuka. Seorang pria memakai topi putih di kepalanya memandang wajah cantik Redita. Wajah tampan itu menoleh pada Redita lalu tersenyum.
"Dita!" panggilnya.
Redita melirik kanan dan kirinya. Setelah memastikan tidak ada orang di sana, dia memandang lurus ke depan dan menunjuk dirinya sendiri.
"Saya?" tanya Dita memastikan.
"Iya. Menurutmu siapa lagi?" Pria itu balik bertanya.
"Anda siapa?" Kening Dita mengernyit. Alisnya hampir bertautan.
"Astaga! Kamu tidak mengenalku?" Bola mata pria itu melebar.
"Siapa?" Redita bertanya kembali tampak ragu. Ia teringat akan pesan Ayahnya yang tidak boleh mempercayai orang asing begitu saja.
Pria itu lalu keluar dari mobil dan membuka topinya. Dia mengulurkan tangan dan berkata, "Aku Radit. Radit Alex Syailendra Masa kamu lupa?"
Redita menelan ludah. Memandang pria itu. Pikirannya menerawang jauh mengingat betapa ia sangat dekat dengan Radit dan kedekatan mereka harus berakhir saat Radit tiba-tiba menghilang tanpa kata-kata setelah kelulusan sekolah menengah atas.
Redita menatap sosok itu dari ujung kepala sampai ujung kaki. Memastikan jika yang ia lihat itu memang seorang Radit yang dikenalnya.
Radit menunjukkan sebuah tahi lalat kecil di atas dagunya yang memang menjadi ciri khas yang langsung membuat wanita itu teringat akan sosok Radit sesungguhnya.
"Radit ...," panggilnya.
Radit melengkungkan bibirnya ke atas tanda tersenyum. Segera meraih paksa tangan Redita dan menariknya masuk ke dalam mobil MPV-nya.
Pria itu memutar setirnya lalu berjalan ke luar area mall. Memandang fokus ke depannya. Sedangkan Redita terdiam membisu. Dia bingung harus membicarakan apa di dalam mobil. Wajar saja, sepuluh tahun baru bertemu kembali.
"Apa kabar, Dit?" Suara berat pria itu membuyarkan lamunan Redita.
Redita sontak menoleh menatap pelipis kiri wajah tampan Radit.
"A-apa?" Redita balas bertanya.
"Aku tanya, kamu apa kabar?"
"Aku baik-baik saja, Rad. Kamu bagaimana?" Redita memberanikan dirinya bertanya.
"Ehm ... ya beginilah. Seperti yang kamu lihat. Aku sehat," jawabnya tersenyum kecil.
"Syukurlah. Aku pikir kamu akan menghindar selamanya dariku karena aku anak seorang mafia."
"Ha-ha-ha. Lalu?"
"Yeah .... Aku pikir kamu akan selamanya pergi dari kehidupanku. Pergi tanpa kabar setelah kelulusan sekolah. Aku mencarimu ke mana-mana tapi tidak ada yang tahu ke mana dirimu pergi, Rad."
"Ceritanya panjang. Kapan-kapan aku akan menceritakan mengenai hal itu. Sekarang apa kesibukanmu?"
"Mengajar dan menjadi konsultan keuangan di perusahaan Ayah."
"Kamu jadi guru sekaligus pekerja kantoran? Ckckck .... Hebat!"
"Lebih tepatnya dosen dan kadang Ayah memintaku membantu mengelola keuangan perusahaan. Lalu kamu?"
"Ehm .... Haruskah aku katakan?" Radit balas bertanya.
"Tentu saja."
"Rahasia!" Radit tertawa. Redita merentangkan tangannya, tanpa malu-malu mencubit lengan Radit yang kekar.